Share

Kematian Sahabat Kecil

Sementara itu, kembali pada Aletta yang berdiri di depan pintu bercat biru. Sendari tadi tangannya terus memutar gagang pintu, berusaha untuk membukanya.

Akan tetapi, malang nian nasib gadis bergaun putih itu, niat hati ingin mencari Erna dan teman-temannya yang lain, ia malah harus terjebak di sebuah kamar dengan Kyler di dalammya.

Semua berawal dari Aletta yang tak sengaja berpapasan dengan Kyler. Pria berpangkat Osis yang tadi memaksanya untuk memanggil nama asli itu menawarkan diri untuk membantunya mencari yang lain. Namun, ketika tengah berkeliling di sebuah kamar bernuansa biru laut, mereka dikagetkan dengan suara benda jatuh entah dari mana.

Bunyinya yang nyaring membuat Aletta yang berdiri di dekat pintu, membanting kuat hingga pintu tertutup rapat dan mereka pun terjebak berdua di dalam sana, tanpa ada orang yang mendengar teriakannya.

Sadar dengan kebodohan yang telah Aletta lakukan, ia tergesa berusaha meraih gagang pintu untuk membukanya. Gadis berambut hitam sebahu itu tak mau terkunci di dalam kamar bersama seorang pria, terlebih itu adalah Kyler.

Namun, entah karena engsel yang lepas atau apa, pintu berwarna biru itu konslet, macet tak bisa dibuka, seolah-olah terkunci dari luar.

Sudah lebih dari setengah jam Aletta terjebak bersama Kyler. Pemuda yang memakai kostum Jack O'Lantern itu sudah membantunya mendobrak pintu 20 menit yang lalu. Namun, pintu kamar itu tak bisa di buka. Kyler akhirnya menyerah, memilih untuk merebahkan diri di kasur.

Mungkin, Kyler mengantuk, bagaimanapun sekarang sudah hampir tengah malam. Aletta melirik jam dinding yang jarum pendeknya berhenti di angka 11, sedangkan jarum panjang berhenti di angka 6. Jika melihat dari jam ponsel, waktu menunjukan pukul 23,30 atau jam setengah dua belas.

"Hoi, Aletta!" panggil Kyler berteriak keras. "Mau sampai kapan kamu berdiri di situ? Memang kamu tidak merasa lelah apa? Aku saja yang melihatmu sendari tadi sibuk sendori merasa bosan?" keluh Kyler memecah keheningan.

Pemuda tampan yang merupakan Anak kepala sekolah itu menumpu kepalanya dengan kedua tangan sebagai bantal. Tak ada niat untuk duduk apalagi berdiri menghampiri Indira. Gadis bergaun putih panjang yang masik asik memutar gagang pintu.

Aletta menoleh hanya untuk mendapati Kyler bersikap sangat santai seolah tidak resah dengan situasi saat ini. Jujur saja melihat hal itu membuat Aletta kesal sendiri pada sikap Kyler yang baru ini, namun SekretarIs Osis tetap bersikap baik sesuai imagenya.

"Kita harus keluar drai sini. Memang Ketua tidak takut jika terus terjebak di sini? Bagaimana dengan tigas membersihkan rumah dan teman-teman kita yang menghilang?" keluh Aletta panjang lebar, lelah juga berjuang sendirian.

Kyler mendengkus. "Lah ketua lagi. Kenapa kamu betah sekali memanggilku begitu, sih?" protes Kyler salah pokus membuat Aletta bergumam maaf. Gadis itu memilih kembali memutar gagang pintu. Tangan kirinya sibuk memukul-mukul pintu kayu yang sangat keras.

Kyler menghela napas melihat kelakukan Aletta yang pantang menyerah, sejujurnya sikap terlalu rajin seperti itulah yang dibencinya. Namun, Kyler tetap menyempatkan diri untuk memberi komentar.

"Duh, Aletta tadikan kamu sudah melihat sendiri aku sudah berusaha mendobrak, tapi pintunya macet, tetap tidak terbuka. Hanya buang tenaga percuma."

Kyler mengoceh hingga membuat Aletta kembali menoleh kearahnya. Apalagi saat Kyler bangkit dan berjalan mendekat. Kini mereka berdua kembali berhadapan dan saling menatap satu sama lain.

Kyler tersenyum tipis menatap wajah cantik Aletta. "Kenapa tidak kita nikmati saja situasi berduaan ini? Nanti juga ada yang akan membukakan pintu," pungkasnya memegang pundak Aletta dengan senyum mencurigakan.

Aletta menggeleng sambil menepis tangan Kyler dan sedikit menjaga jarak. "Tidak, Ketua. Saya ingin segera keluar dari sini dan bertemu teman-teman yang lain."

Mendengar keteguhan jawaban Aletta, Kyler menghela napas. "Kenapa? Kenapa kamu terlihat tidak nyaman berdua denganku? Apa kamu tidak menyukaiku atau mungkin malah membenciku?"

Kyler bertanya tak terima dengan penolakan Aletta. Ketua Osis pun mendekatkan wajahnya dengan wajah Indira yang sontak langsung mundur dengan cepat. Meski wajah Kyler tertutup topeng, namun entah kenapa membuat Aletta tetap salah tingkah dibuatnya. Degup jantungnya berdebar kencang.

Menyadari hal itu Kyler tersenyum. Mungkin rencananya kini akan berhasil untuk mendapatkan Aletta, pikirnya puas.

"Kenapa diam? Apa benar kamu tidak menyukaiku?" tanya Kyler lagi mengambil tangan Aletta, lalu mengecupnya singkat.

Aletta tertegun, tak habis pikir dengan Kyler yang bersikap berbeda dari biasanya. Sungguh, meskipun selama ini mereka tidak dekat, tetapi ia sangat mengenal betul sikap Kyler, pemuda itu tidak mungkin mau berdekatan dengannya.

Bahkan Kyler kerap kali menatap tajam saat tidak sengaja berpapasan. Sang Ketua Osis tak mungkin mau memegang tangannya terlebih mengecupnya seperti tadi. Sebenarnya apa yang terjadi?

Siapa Kyler di depannya ini? Kenapa sikapnya begitu berbeda?

Bergegas Aletta menarik tangannya dengan tatapan tak suka, "Maaf, Ketua. Tapi kita harus keluar. Saya tidak nyaman berduaan di sini dengan Anda."

Kyler mendengkus tak suka melihat Aletta yang berbicara sangat formal, kemudian kembali sibuk memutar gagang pintu. Gadis itu bahkan kini menabrak-nabrakan tubuhnya sendiri mengenai pintu.

Melihat tindakan sembrono itu, Kyler menggeram, meraih bahu Aletta dan membaliknya hingga mata mereka kembali bertatapan.

"Tidak akan ada yang tau jugakan kita melakukan apa dalam sini?"

Kyler masih berusaha membujuk Aletta, sedangkan gadis yang dibujuk mengernyit tak mengerti dengan apa yang diucapkan Kyler.

Memang apa yang akan mereka lakukan di kamar ini? Aletta benar-benar tak mengerti dengan arah pembicaraan Kyler yang terasa ambigu ini.

"Tidak usah muna, deh. Kamu sukakan padaku?" kecam Kyler mencengkram bahu Aletta kuat dan bersikap sangat kasar.

Gadis berkostum Kuntilanak itu meringis pelan akan tindakan kejam Kyler, padahal sebelumnya meski bersikap sinis pun, Ketua OSIS tidak pernah main tangan.

"Tolong, jangan seperti ini. Lepas!" pinta Aletta memegang tangan Kyler dan menjauhkannya hingga cengkraman itu terlepas.

"Alaaahhh tidak usah sok jualan mahal padaku, manusia rendahan sepertimu pasti senang jika berduaan denganku di kamar kosong ini. Kita jadi bebas melakukan apa saja yang kita mau di sini."

Kembali Kyler menggoda Aletta. Tangan kanannya mengelus pipi sang gadis lembut. Sedangkan gadis bergaun putih itu tercengang dengan apa yang diucapkan Kyler.

Aletta sudah mengerti maksud pemuda itu. Dengan penuh amarah juga kecewa, ia menampar pipi Kyler hingga topengnya sedikit bergeser, kemudian mendorong pemuda itu menjauh.

"Memang tidak akan ada yang melihat. Tapi Tuhan bisa melihat semua perbuatan buruk kita, Ketua. Dan saya tidak berminat dengan Anda," nasehat Aletta kembali meraih gagang pintu dan memutarnya sekuat tenaga. Berharap ia bisa pergi jauh dari Kyler yang bersikap aneh ini.

Krek .... dan usahanya membuahkan hasil memuaskan. Pintu berwarna biru itu terbuka. Aletta mengukir senyum tipis setelah menghela napas lega. Akhirnya ia bisa keluar dari kamar kosong ini dan menjauh dari Ketua OSIS.

Akan tetapi, sebelum itu Aletta menyempatkan diri menatap Kyler yang sejak tadi terdiam. Entah apa yang ada dipikiran pemuda itu, Aletta tak dapat menebak ekspresinya yang tertutup topeng.

"Apa pun yang ketua katakan. Saya tidak akan menurutinya," putus Aletta lalu berlari meninggalkan Kyler dalam diam.

Aletta terus berlari. Memacu kaki jenjangnya untuk melangkah lebih cepat. Bukan maksudnya pergi meninggalkan Kyler. Namun, sikap kurang ajar Kyler membuatnya muak, tak nyaman.

Jujur saja, Aletta takut dengan Kyler yang sekarang, ia lebih senang ditatap tajam Kyler, ketimbang ditatap penuh nafsu oleh pemuda yang diam-diam disukainya.

Aletta menghentikan laju larinya kemudian membungkuk sambil memegangi kedua lututnya, lalu menarik nafas yang tersengal-sengal.

Aletta yakin sekali ia sudah berlari cukup jauh meninggalkan Kyler. Kini, ia benar-benar sendirian di rumah besar yang sejak awal mengeluarkan aura mistik yang pekat. Gedung bangunan yang membuat perasaannya tak menentu.

Puk ... Aletta sontak menoleh ketika ada seseorang yang menepuk bahunya pelan. Kemudian berbalik menghadap seorang pemuda yang tadi dihindarinya. Kyler berdiri tegap, alisnya bertaut melihat keterkejutan di wajah gadis yang disukai.

"Aletta ...." panggil Kyler terheran-heran melihat Aletta memasang wajah takut menatapnya.

"Ada apa?" tanya Ketua Osis lagi.

Dan Aletta hanya mampu terdiam.

***

Ben terus menghantamkan hiasan patung yang ia ambil di meja. Iris mata Wakil Ketua Osis yang biasanya menyorot teduh dengan senyum jenaka, kini hilang tak berbekas. Tergantikan dengan sorot dingin penuh kebenciannya. Kelereng hitamnya berkilat penuh nafsu membunuh.

Ben menghantamkan benda di tangannya pada wajah seorang pemuda berpakaian hitam di bawahnya.

"Hahh...cu...cukup...B...Ben...apakah kamu serius mau membunuhku?"

Dengan sisa tenaganya, Valen mendorong tubuh Ben yang tadi mendudukinya. Wajahnya yang biasa cerah penuh kebahagiaan, kini dipenuhi memar-memar merah dengan darah di sana-sini.

Kulit pipinya terkoyak dan berdarah. Valen tidak mengrti apa yang terjadi pada Ben. Dalam ingatannya, ia melihat Sang Wakil Ketua OSIS yang tiba-tiba menjerit, lalu ambruk sambil memegangi buku usang di tangannya.

Setelah itu pemuda yang menjadi sahabat kecilnya itu tampak kesakitan. Kedua tangan meremas rambutnya dengan kuat sambil merancau kalimat yang tidak dimengerti Giano.

Hingga Ben akhirnya tenang. Diam mematung di tempatnya.

Valen pikir Ben telah sadar. Namun, dugaannya salah besar, pemuda berambut pendek itu malah menyerangnya dan meninju membabi buta, benar-benar menghajar tanpa ampun.

Valen berusaha membela diri. Namun, perbedaan kekuatan yang terlalu besar membuatnya kalah. Terlebih tatapan intimidasi mata merah Ben yang membuatnya tak berkutik. Takut setengah mati.

Mungkinkah Ben kerasukan? Seingat Valen, sebelumnya Ben tampak baik-baik saja. Bahkan pemuda itu sempat segera mencari alat kebersihan untuk menyelesaikan tugas mereka.

Namun, kenapa Ben tiba-tiba jadi seperti ini? Sebenarnya apa yang sedang mereka hadapi? Sejak masuk ke rumah kuno ini selalu saja ada hal aneh yang terjadi.

Ben sendiri yang tak terima dengan dorongan Valen segera kembali menerjang dan menyerang bertubi-tubi tanpa memberi Valen kesempatan untuk balas serangan.

Hati nurani Ben seolah mati, terpadam lalu menguap layaknya buih di lautan. Tak ada lagi rasa iba di sorot matanya, melihat rekannya sendiri bermandikan darah, padahal sebelumnya Ben merasa bersalah pernah membiarkan Valen mengurus kisah persahabatan mereka dan Kyler yang merenggang.

"Hey, Ben. Sadarlah ini aku Valen. Sahabat kecilmu, apakah kamu melupakanku?" tanya Valen menangkis tendangan Ben dan berusaha keras menyadarkan Wakil Ketua OSIS yang kerasukan aura jahat.

"Persembahan untuk Satan!"

Bukannya sadar, Ben kembali merancau tak jelas. Valen pun menautkan alis bingung. Siapa itu Satan? Kenapa Ben menyebut namanya?

Prang ... tak memedulikan ringisan dan jeritan Valen. Ben kembali meraih benda di atas meja. Kini sebuah patung keramik cukup besar.

Valen membola melihat benda tajam di tangan Ben. Dirinya bisa mati jika Ben menghantamkan keramik itu pada wajahnya.

"Ben, kumohon sadarlah. Aku takut. Apa kamu memang berniat membunuhku? Aku sahabatmu, ayo ingat aku. Kamu sekarang sedang kerasukan," rancau Valen bergetar panik.

Ben sendiri tertawa setan. Perasaan takut dari pemuda di bawahnya membuat dirinya senang bukan main. Kekalutan dari sang target menjadi sumber kekuatan utamanya. Dia sangat menyukai melihat mahluk rendahan bernama manusia itu menderita.

"Satan terimalah persembahan ini!"

Prang ... terlambat.

Ben menghantamkan patung keramik di tangannya pada wajah Valen dengan sangat keras. Benturan keramik dengan tulang wajah pemuda Slenderman itu menghasilkan darah yang terus mengalir deras dari luka yang tergores pecahan keramik.

Valen menutup kedua matanya perlahan dan mulai meresapi kesakitan luar biasa yang menghantam tubuhnya. Inikah rasanya sakratul maut?

Dari awal memang Valen sudah pasrah dengan hidupnya. Mati di tangan sahabat kecilnya sendiri. Setidaknya ia tidak mati di tangan Kyler, yang sudah ia anggap saudara sendiri. Meski mungkin Kyler tak pernah menganggapnya demikian. Hanya satu yang disesali Valen, ia terlambat menebak gadis berselendang pink, pujaan hatinya.

Ben menyeringai senang. Ketika tahu korbannya diam, tak lagi berkutik. Detik berikutnya senyum di wajah Ben luntur. Kepalanya kembali sakit, Ben meremas rambutnya kuat. Selanjutnya Ben tercengang melihat tangannya penuh darah dengan sosok mayat Valen di bawahnya.

"V---val? Apa yang terjadi?" tanya Ben bergetar hebat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status