Share

Bab 6 Mantra Penunduk

Bab 6 Status Vulgar Adik Ipar

Mantra Penunduk Istri

Aku tidur dengan gelisah, berulang kali mata kupejamkan tapi tak dapat terlelap. Hingga aku merasakan gerakan halus Mas Raka, dia berhenti sejenak sebelum melangkah.

Sempat ku intip dia mengendap- ngendap membuka pintu, mau kemana dia?

Apa benar dia akan menuju kamar Widya?

"Kamu mau kemana Mas?" tanyaku yang membuat Mas Raka sukses terkejut, pundaknya berjengkit, mulutnya melongo sesaat aat menatapku. Sesaat kemudian dia mengusap tengkuk dan menggaruk kepalanya.

Entahlah mungkin kepalanya ada ketombenya.

"Eh, mm, kamu belum tidur Sayang?" tanya Mas Raka. Dari gelagatnya tampak salah tingkah.

"Belum Mas, kamu mau kemana kok keluar, mau ke kamar Widya ya?" 

Mas Raka tampak kaget dengan pertanyaanku.

"Eh, ya, ya enggak dong Sayang. Mau ngapain juga malam- malam ini ke kamar Widya, mm aku mau, mau ke toilet Sayang," ujar Mas Raka.

"Mas," ujarku yang membuat Mas Raka berhenti melangkah dan berbalik menatapku kembali.

"Ya Sayang." 

"Toilet di sana Mas," ujarku sambil menunjuk arah toilet. 

"Eh , mm iya Sayang, aku lupa." 

Aku tersenyum melihat tingkah aneh Mas 

Raka yang terlihat lucu, aku juga lega ternyata Mas Raka bangun tengah malam bukan ingin ke kamar Widya. Namun, hanya ingin ke toilet.

***

Prang

"Astaga Widya, kamu kenapa sih, bikin jantungan aja," ujarku saat kesekian kalinya Widya memukul meja tanpa sebab.

Saat ini kami sedang sarapan pagi bersama.

"Mas ambilin lauk ya," kata Mas Raka bernada membujuk. Entahlah tapi aku merasa sepertinya Widya sedang marah dengan Mas Raka. Namun aku sendiri tak tahu apa sebabnya.

"Gak perlu! Urus saja istri kamu!" ketusnya.

"Widya! Kamu makin lama makin ngelunjak ya! Memang kenapa kalau Mas Raka lebih mementingkan mengurusku di banding kamu, aku ini istrinya dan kamu, kamu tu bukan siapa- siapa di rumah ini. Sadar dong! Sudah tua kelakuan masih aja bocah, sok nyari perhatian aja!" ujarku ketus. Entah kenapa emosiku tiba- tiba meluap-luap melihat tingkah Widya yang alay itu.

Aku lihat Mas Raka tampak kaget, mulutnya sedikit terbuka lalu kemudian mereka saling berpandangan sepertinya mereka heran dengan sikapku barusan.

"Aku duluan," ujar Widya berdiri dan menarik tas dengan cepat hingga menumpahkan minuman di atas meja.

"Lihat! Kelakuan adik kamu, gak ada adab," omelku. Kesel dan muak rasanya aku melihat wajah Widya itu.

"Harusnya kamu tu gak sekasar itu sama Widya," kata Mas Raka. Namun, segera kubantah.

"Aku ini istrimu Mas, harusnya kamu belain aku, bukan dia yang jelas- jelas bukan siapa- siapa kamu, lagian ya kalau bukan dia yang mulai ngehina aku, aku juga gak akan sekasar itu." ketusku.

"Kok kamu gitu Sayang, kan dia adikku," ujar Raka.

"Adik ketemu gede," ketusku. "Bukannya aku gak ngerti Mas, Widya itu anak bawaan papa pas mau nikah sama Mama kamu dan kamu anak bawaan Mama jadi jelas kan kalian itu sebenarnya orang lain," ujarku.

Mas Raka terdiam," aku pergi dulu," ujarnya kemudian melangkah pergi.

Setelah kepergian Mas Raka aku segera membereskan meja makan dan melakukan kerja rumahku. Ku kutipin semua baju-baju kotor dan ku bawa ke ruangan loundri untuk ku masukkan ke mesin cuci. Aktivitasku terhenti saat ponselku yang aku letak di meja tak jauh dari tempatku melakukan aktivitas berbunyi.

Segera aku mendekat dan meraihnya, pesan dari Tary.

[Gimana sudah kamu selidiki?] 

[Sudah dan memang benar katamu, di tengah malam dia keluar, alasannya mau ke toilet, padahal toilet ada di dalam.] 

[ Pas Raka mau keluar kamu melek?] 

[Iya, terus Gue tanya dan dia jawab mau ke toilet] 

[ His aturan Lo diam aja pura- pura tidur, ikutin Raka, jadi kamu bisa tahu semua] 

[ Kok Gue gak kepikiran ya] 

[Dasar Lo saja oonnya kebangetan, heran Gue, jangan- jangan Lo di mantrain sama Raka, makanya Lo oon dan nunduk kek gini sama dia]

Aku terdiam, sejenak teringat akan kata-kata berani yang aku katakan tadi siang. Pada awal- awal Widya di ajak ke rumah ini, aku memang tak menyukainya bahkan aku sadar waktu itu sikap Widya ke Mas Raka bukan lagi sikap seorang adik ke Abangnya.

"Mau kemana kamu Mas?" tanyaku saat melihat Mas Raka sudah rapi padahal hari libur.

"Widya minta di anterin renang," jawab Mas Raka.

"Memang harus banget ya Mas yang antar, teman Widya kan banyak Mas," ketusku. Bukan aku cemburu tapi aku merasa sikap Widya ini keterlaluan, kemanapun mesti di antar Mas Raka, alasannya gak ada teman dan anehnnya aku selalu gak boleh ikut.

"Ya kan gak papa sih minta di antar Abang sendiri." 

"Ya tapi kalau begini namanya sudah keterlaluan Mas, jangan- jangan kalian berdua memang ada hubungan," ketusku.

"Bicara apa sih kamu!" ujar Mas Raka dengan nada membentak.

Saat sejak saat itu pertengkaran- pertengkaran kecil sering terjadi apalagi jika waktunya nerima jatah bulanan.

"Loh kok cuma segini Mas, gaji kamu kan banyak," protesku yang hanya menerima beberapa lembar ratusan ribu, bahkan tak ada sepertiga dari gaji Mas Raka.

"Gajiku sebagian aku kasih Widya." 

Mataku membulat tajam menatap Mas Raka ," istrimu aku Mas, bukan dia. Pokoknya aku gak mau tahu, kamu ambil uang itu atau aku akan keluar dari rumah ini dan orang- orang akan aku kasih tahu tentang keanehan kalian. Mana ada adik kakak seperti itu, apalagi kalian bukan adik kandung," ujarku sengit.

Namun, sejak hari itu aku merasa ada yang berubah pada diriku, aku hampir tak bisa membantah sedikitpun setiap kata- kata yang di ucapkan oleh Mas Raka meskipun kadang hati kecilku menolak.

***

Sore harinya aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku dan mandi. Aku agak terkejut saat melihat Mas Raka dan Widya sudah bicara serius di teras. 

Segera ku dekati mereka. Namun, langkahku berhenti saat mendengar pembicaraan mereka.

"Sepertinya Mantra yang di kasih Ki Joko sudah gak mempan, Hani mulai menentangku," ujar Mas Raka.

Hah, mantra, mantra apa?

"Mas lupa ritualnya gak?" tanya Widya. 

"Gak kok, aku selalu baca tiap hari." jawab Mas Raka.

"Kalau gitu kapan- kapan kita harus ke sana lagi, gawat kalau istrimu itu sadar, bisa rusak semua rencana kita Bang," ujar Widya.

"Iya, jangan sampai. Mungkin kita cari saja dukun yang lebih sakti, yang memiliki mantra penunduk lebih ampuh dari Ki Joko." 

Apa ini, dukun, mantra penunduk, rencana?

.

Notice: Ini sering terjadi di jawa ya kususnya di kampung, istri pakai mantra untuk menundukkan suami atau sebaliknya dan mereka akan bertekuk lutut. Kadang mereka sadar tapi nanti akan kembali tunduk pada pasanganya.

Bab 9 Pusaka ( Twiter) Menghilang 

Pov Raka

"Wajahmu kenapa Bang?" tanya Widya saat kami berpapasan di dapur. Gadis kesayanganku itu membelai pipiku yang mungkin sudah lebam dan membiru akibat dipukuli secara brutal oleh Hani tadi malam, bahkan twiterkupun masih terasa sakit akibat kena tendangan si Hani, untung aku gak pingsan. 

"Shsh, haduh sakit," ujarku agak berteriak menahan nyeri.

"Eh maaf, sakit ya Bang?" ujar Widya. "memang itu kenapa sih Bang, kok wajahmu jadi hancur gitu."

"Itu istri Abang yang gak cantik itu pakai ngelindur segala, Abang di sangka maling terus di gebukin, mana twiter Abang juga di tendangnya," ujar sedikit memelas.

"Aduh, sakit dong," ujar Widya sambil meringis. 

"Terus si twiter apa kabar Bang, masih sehat kan?" 

"Hiis, dasar mentel, bukannya Abang yang di tanyain kabar malah twiter," sewotku.

"Kan twiter juga penting sih Bang," jawab Widya. 

Aku sama Adik Tiriku ini sebenarnya sudah lama berhubungan, bahkan sejak pertama kali Widya di bawa Papa ke rumah ini. Namun, ketika Papa dan Mama tahu hubungan kami, mereka sangat marah dan meminta hubungan kami putus. 

Waktu itu kami hanya bilang iya demi menjaga kesehatan Mamaku yang punya sakit jantung, Namun tentu saja itu hanya sandiwara karena kami masih tetap berhubungan di belakang mereka.

Setelah Mamaku meninggal aku dan Widya makin berani karena kami pikir setelah Mama tiada, Papa akan menyetujui hubungan kami. Namun, Papa murka saat mengetahui aku dan Widya masih berhubungan.

"Raka, Widya! Berapa kali Papa bilang putuskan hubungan kalian! Apa tak ada manusia lain di dunia ini sampai- sampai saudara sendiri kamu embat," ujar Papa tiriku dengan nada serius dengan tangan bertolak di pinggang.

"Kami saling mencintai Pa, lagipula kami juga gak ada hubungan darah, apa salahnya kami berpacaran?" 

"Dengar ya! Kalau kalian tetap ngotot berhubungan dan kamu Raka gak secepatnya menikah, jangan harap kalian dapat warisan, semua harta peninggalan Papa dan Mama akan Papa sumbangkan ke Panti Asuhan termasuk rumah ini," ujar Papa bernada serius.

Aku yang takut dengan ancaman Papa akhirnya mencari jodoh lewat aplikasi mencari jodoh online , dari situlah aku kenal Hani, wanita yatim piatu yang di besarkan di panti asuhan. Tak masalah dia siapa yang penting aku dapat warisan.

"Awas ya Mas, kamu gak boleh jatuh cinta sama istrimu, begitu orang tua itu koit kita nikah," ujar Widya saat aku akan pergi ke penghulu.

Setelah menikah Papa membelikan aku rumah secara kredit, tapi meskipun kita gak serumah lagi aku masih tetap berhubungan dengan Widya.

 Suatu hari aku terkejut saat Hani memberikan sebuah amplop tebal padaku.

"Mas ini uang tabunganku hasil kerjaku dulu, kamu pakai saja buat lunasin rumah ini," ujar Hani memberikan segepok uang yang membuat aku melongo.

Dari mana dia dapat uang sebanyak ini?

Kerja apa dia dulu sampai punya tabungan sebanyak ini, berapa gajinya?

 Suatu hari saat kami sedang bercinta di rumah Papa, tiba -tiba Papa memergoki kami sedang melakukan hubungan terlarang itu. Papa begitu marah hingga darah tinggginya kumat dan Papa meninggal setelah kami bawa Ke Rumah Sakit

"Ceraikan saja istrimu Bang!" ujar Widya. Namun, selalu aku tolak karena aku merasa Hani menyembunyikan sesuatu dariku, dia sepertinya anak orang kaya, hanya saja tak mau ngaku. 

"Kita masih perlu dia untuk masak dan mengurus rumah ini," jawabku beralasan.

"Tapi gimana kalau dia tahu kita ada hubungan dan menyebar aib kita Bang, malu kan aku. Apalagi folower I* sekarang ini makin banyak."

"Kamu tenang saja, Abang sudah dapat mantra penunduk istri biar si Hani itu nurut sama kita," ujarku.

Widya tersenyum mendengar ucapanku.

"Loh, kalian di sini?" Aku hampir lompat saat tiba- tiba terdengar suara Hani, entah dari mana datangnya.

"Is, bisa gak sih jangan bikin jantungan orang, nylonong saja tanpa permisi," ketus Widya.

"Loh ini kan dapur, tempat umum, masa iya harus permisi dulu. Lagian aku mau masak kok," ujar Hani sambil meletakkan kresek besar di atas meja, mungkin berisi belanjaan.

"Mau masak apa Sayang?" tanyaku kemudian mendekat ke Hani.

"Mas mau aku masakin apa?" tanya Hani lembut. Mantra itu masih berfungsi rupanya, nyatanya Hani masih kelihatan tuduh dan patuh padaku.

"Pingin makan nasi goreng seafood Sayang," jawabku.

"Ok Sayangku," kata Hani sambil menyentuh pipiku dengan kedua telapak taganya.

"Aww, sakit Sayang," ujarku.

"Eh, maaf Mas," ujar Hani menurunkan tangannya.

"Drama melulu," ujar Hani sewot. Namun, lirih.

"Widya, kamu mau makan apa?" tanya Hani tersenyum pada Widya.

"Apa aja," jawab Widya ketus. 

Untung mantra itu masih berfungsi jadi Hani diam saja di apa- apain sama Widya bahkan kami bodoh- bodohin juga diam. Memang sungguh hebat Mantra yang di berikan dukun langganan temanku itu. 

_____

Kami makan dengan lahap karena masakan Hani memang luar biasa nikmat, aku lihat Widya juga memakan tak tersisa nasinya.

"Wah pada pinterni makanannya pada habis?" ujar Hani sambil tersenyum.

"Iya, habis enak sih Sayang," jawabku.

"Ouh, enak ya Mas. Maksasih pujiannnya." 

"Jangan GR deh, karena lapar saja makananmu aku habisin tak bersisa, aslinya rasanya juga biasa," ketus Widya.

Ku elus tangan Hani, kasian juga melihat ekspresi sedihhya, " enak kok Sayang, jangan dengarin dia," ujarku berbisik membuat Widya menghentakkan kakinya dan melangkah pergi.

"Kenapa dia Mas?" 

"Gak papa, lagi PMS mungkin," jawabku.

***

Malam harinya seperti biasa aku membuatkan susu untuk Hani plus bumbu cinta yang akan membuatnya terlena sepanjang malam karena hari ini jadwalku mengunjungi Widya di kamarnya.

"Mas," tiba-tiba saja Widya sudah seperti hantu di bekangku, tangannya di lingkarkan di leherku dari belakang.

"Kenapa Sayang?" tanyaku lembut.

"Aku sudah tak tahan ni, kangen." 

"Sabar ya Sayang, aku buat Hani terlena dulu." 

"Ah Mas, kelamaan. Biarin ajalah ketahuan," ujar Widya. Entah kenapa dia begitu berna**u malam ini. 

"Iya Sayang sabar dong, nanti kalau Hani belum tidur, terus dia rekam kita terus di viralin, kamu mau mau?" 

"Ah istri Mas itu kan bod*h," ketus Widya.

"Sudah ah, lepasin dulu. Aku janji cuma seperempat jam," bujukku agar Widya mau melepaskan peluk*nnya.

Walaupun dengan setengah ngambek dan memanyunkan bibirnya tapi akhirnya kekasih hatiku itu melepaskan juga dekap*nnya.

"Sayang ini susunya," ujarku dengan senyum semanis- manisnya.

"Iya Sayang." 

Aku tersenyum bahagia melihat Hani menegak habis susu yang telah aku buatkan tadi.

Beberapa saat kemudian aku mendengar suara dengkuran halus napas Hani yang menandakan dia sudah tertidur. Dengan pelan aku keluar kamar dan menuju kamar Widya.

Begitu pintu kamar kubuka, Widya langsung menubrukku dan menci*umiku seperti orang kesetanan. Entah apa yang salah hingga Widya jadi brutal seperti ini.

Beberapa saat kemudian.

"Aww Mas," jerit Widya menutup wajahnya saat melihat si twiter milikku membuatku bingung.

"Ada apa sih Yang?" tanyaku bingung.

"Itu Mas," ujar Widya menunjuk ke arah twiterku.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Coba lihat Mas! Kok jadi mengkeret gitu twiter kamu Mas," ujar Widya panik.

"Hah! Jangan bercanda ah!" ujarku sambil melihat ke arah si twiter milikku.

" Aww, tidak kok jadi begini." 

Aku berteriak ketika melihat si twiter mengekeret dan mengecil hingga hampir tak terlihat.

Ada apa ini, kenapa jadi begini?

Bab 6 Status Vulgar Adik Ipar

Mantra Penunduk Istri

Aku tidur dengan gelisah, berulang kali mata kupejamkan tapi tak dapat terlelap. Hingga aku merasakan gerakan halus Mas Raka, dia berhenti sejenak sebelum melangkah.

Sempat ku intip dia mengendap- ngendap membuka pintu, mau kemana dia?

Apa benar dia akan menuju kamar Widya?

"Kamu mau kemana Mas?" tanyaku yang membuat Mas Raka sukses terkejut, pundaknya berjengkit, mulutnya melongo sesaat aat menatapku. Sesaat kemudian dia mengusap tengkuk dan menggaruk kepalanya.

Entahlah mungkin kepalanya ada ketombenya.

"Eh, mm, kamu belum tidur Sayang?" tanya Mas Raka. Dari gelagatnya tampak salah tingkah.

"Belum Mas, kamu mau kemana kok keluar, mau ke kamar Widya ya?" 

Mas Raka tampak kaget dengan pertanyaanku.

"Eh, ya, ya enggak dong Sayang. Mau ngapain juga malam- malam ini ke kamar Widya, mm aku mau, mau ke toilet Sayang," ujar Mas Raka.

"Mas," ujarku yang membuat Mas Raka berhenti melangkah dan berbalik menatapku kembali.

"Ya Sayang." 

"Toilet di sana Mas," ujarku sambil menunjuk arah toilet. 

"Eh , mm iya Sayang, aku lupa." 

Aku tersenyum melihat tingkah aneh Mas 

Raka yang terlihat lucu, aku juga lega ternyata Mas Raka bangun tengah malam bukan ingin ke kamar Widya. Namun, hanya ingin ke toilet.

***

Prang

"Astaga Widya, kamu kenapa sih, bikin jantungan aja," ujarku saat kesekian kalinya Widya memukul meja tanpa sebab.

Saat ini kami sedang sarapan pagi bersama.

"Mas ambilin lauk ya," kata Mas Raka bernada membujuk. Entahlah tapi aku merasa sepertinya Widya sedang marah dengan Mas Raka. Namun aku sendiri tak tahu apa sebabnya.

"Gak perlu! Urus saja istri kamu!" ketusnya.

"Widya! Kamu makin lama makin ngelunjak ya! Memang kenapa kalau Mas Raka lebih mementingkan mengurusku di banding kamu, aku ini istrinya dan kamu, kamu tu bukan siapa- siapa di rumah ini. Sadar dong! Sudah tua kelakuan masih aja bocah, sok nyari perhatian aja!" ujarku ketus. Entah kenapa emosiku tiba- tiba meluap-luap melihat tingkah Widya yang alay itu.

Aku lihat Mas Raka tampak kaget, mulutnya sedikit terbuka lalu kemudian mereka saling berpandangan sepertinya mereka heran dengan sikapku barusan.

"Aku duluan," ujar Widya berdiri dan menarik tas dengan cepat hingga menumpahkan minuman di atas meja.

"Lihat! Kelakuan adik kamu, gak ada adab," omelku. Kesel dan muak rasanya aku melihat wajah Widya itu.

"Harusnya kamu tu gak sekasar itu sama Widya," kata Mas Raka. Namun, segera kubantah.

"Aku ini istrimu Mas, harusnya kamu belain aku, bukan dia yang jelas- jelas bukan siapa- siapa kamu, lagian ya kalau bukan dia yang mulai ngehina aku, aku juga gak akan sekasar itu." ketusku.

"Kok kamu gitu Sayang, kan dia adikku," ujar Raka.

"Adik ketemu gede," ketusku. "Bukannya aku gak ngerti Mas, Widya itu anak bawaan papa pas mau nikah sama Mama kamu dan kamu anak bawaan Mama jadi jelas kan kalian itu sebenarnya orang lain," ujarku.

Mas Raka terdiam," aku pergi dulu," ujarnya kemudian melangkah pergi.

Setelah kepergian Mas Raka aku segera membereskan meja makan dan melakukan kerja rumahku. Ku kutipin semua baju-baju kotor dan ku bawa ke ruangan loundri untuk ku masukkan ke mesin cuci. Aktivitasku terhenti saat ponselku yang aku letak di meja tak jauh dari tempatku melakukan aktivitas berbunyi.

Segera aku mendekat dan meraihnya, pesan dari Tary.

[Gimana sudah kamu selidiki?] 

[Sudah dan memang benar katamu, di tengah malam dia keluar, alasannya mau ke toilet, padahal toilet ada di dalam.] 

[ Pas Raka mau keluar kamu melek?] 

[Iya, terus Gue tanya dan dia jawab mau ke toilet] 

[ His aturan Lo diam aja pura- pura tidur, ikutin Raka, jadi kamu bisa tahu semua] 

[ Kok Gue gak kepikiran ya] 

[Dasar Lo saja oonnya kebangetan, heran Gue, jangan- jangan Lo di mantrain sama Raka, makanya Lo oon dan nunduk kek gini sama dia]

Aku terdiam, sejenak teringat akan kata-kata berani yang aku katakan tadi siang. Pada awal- awal Widya di ajak ke rumah ini, aku memang tak menyukainya bahkan aku sadar waktu itu sikap Widya ke Mas Raka bukan lagi sikap seorang adik ke Abangnya.

"Mau kemana kamu Mas?" tanyaku saat melihat Mas Raka sudah rapi padahal hari libur.

"Widya minta di anterin renang," jawab Mas Raka.

"Memang harus banget ya Mas yang antar, teman Widya kan banyak Mas," ketusku. Bukan aku cemburu tapi aku merasa sikap Widya ini keterlaluan, kemanapun mesti di antar Mas Raka, alasannya gak ada teman dan anehnnya aku selalu gak boleh ikut.

"Ya kan gak papa sih minta di antar Abang sendiri." 

"Ya tapi kalau begini namanya sudah keterlaluan Mas, jangan- jangan kalian berdua memang ada hubungan," ketusku.

"Bicara apa sih kamu!" ujar Mas Raka dengan nada membentak.

Saat sejak saat itu pertengkaran- pertengkaran kecil sering terjadi apalagi jika waktunya nerima jatah bulanan.

"Loh kok cuma segini Mas, gaji kamu kan banyak," protesku yang hanya menerima beberapa lembar ratusan ribu, bahkan tak ada sepertiga dari gaji Mas Raka.

"Gajiku sebagian aku kasih Widya." 

Mataku membulat tajam menatap Mas Raka ," istrimu aku Mas, bukan dia. Pokoknya aku gak mau tahu, kamu ambil uang itu atau aku akan keluar dari rumah ini dan orang- orang akan aku kasih tahu tentang keanehan kalian. Mana ada adik kakak seperti itu, apalagi kalian bukan adik kandung," ujarku sengit.

Namun, sejak hari itu aku merasa ada yang berubah pada diriku, aku hampir tak bisa membantah sedikitpun setiap kata- kata yang di ucapkan oleh Mas Raka meskipun kadang hati kecilku menolak.

***

Sore harinya aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku dan mandi. Aku agak terkejut saat melihat Mas Raka dan Widya sudah bicara serius di teras. 

Segera ku dekati mereka. Namun, langkahku berhenti saat mendengar pembicaraan mereka.

"Sepertinya Mantra yang di kasih Ki Joko sudah gak mempan, Hani mulai menentangku," ujar Mas Raka.

Hah, mantra, mantra apa?

"Mas lupa ritualnya gak?" tanya Widya. 

"Gak kok, aku selalu baca tiap hari." jawab Mas Raka.

"Kalau gitu kapan- kapan kita harus ke sana lagi, gawat kalau istrimu itu sadar, bisa rusak semua rencana kita Bang," ujar Widya.

"Iya, jangan sampai. Mungkin kita cari saja dukun yang lebih sakti, yang memiliki mantra penunduk lebih ampuh dari Ki Joko." 

Apa ini, dukun, mantra penunduk, rencana?

.

Notice: Ini sering terjadi di jawa ya kususnya di kampung, istri pakai mantra untuk menundukkan suami atau sebaliknya dan mereka akan bertekuk lutut. Kadang mereka sadar tapi nanti akan kembali tunduk pada pasanganya.

Bab 9 Pusaka ( Twiter) Menghilang 

Pov Raka

"Wajahmu kenapa Bang?" tanya Widya saat kami berpapasan di dapur. Gadis kesayanganku itu membelai pipiku yang mungkin sudah lebam dan membiru akibat dipukuli secara brutal oleh Hani tadi malam, bahkan twiterkupun masih terasa sakit akibat kena tendangan si Hani, untung aku gak pingsan. 

"Shsh, haduh sakit," ujarku agak berteriak menahan nyeri.

"Eh maaf, sakit ya Bang?" ujar Widya. "memang itu kenapa sih Bang, kok wajahmu jadi hancur gitu."

"Itu istri Abang yang gak cantik itu pakai ngelindur segala, Abang di sangka maling terus di gebukin, mana twiter Abang juga di tendangnya," ujar sedikit memelas.

"Aduh, sakit dong," ujar Widya sambil meringis. 

"Terus si twiter apa kabar Bang, masih sehat kan?" 

"Hiis, dasar mentel, bukannya Abang yang di tanyain kabar malah twiter," sewotku.

"Kan twiter juga penting sih Bang," jawab Widya. 

Aku sama Adik Tiriku ini sebenarnya sudah lama berhubungan, bahkan sejak pertama kali Widya di bawa Papa ke rumah ini. Namun, ketika Papa dan Mama tahu hubungan kami, mereka sangat marah dan meminta hubungan kami putus. 

Waktu itu kami hanya bilang iya demi menjaga kesehatan Mamaku yang punya sakit jantung, Namun tentu saja itu hanya sandiwara karena kami masih tetap berhubungan di belakang mereka.

Setelah Mamaku meninggal aku dan Widya makin berani karena kami pikir setelah Mama tiada, Papa akan menyetujui hubungan kami. Namun, Papa murka saat mengetahui aku dan Widya masih berhubungan.

"Raka, Widya! Berapa kali Papa bilang putuskan hubungan kalian! Apa tak ada manusia lain di dunia ini sampai- sampai saudara sendiri kamu embat," ujar Papa tiriku dengan nada serius dengan tangan bertolak di pinggang.

"Kami saling mencintai Pa, lagipula kami juga gak ada hubungan darah, apa salahnya kami berpacaran?" 

"Dengar ya! Kalau kalian tetap ngotot berhubungan dan kamu Raka gak secepatnya menikah, jangan harap kalian dapat warisan, semua harta peninggalan Papa dan Mama akan Papa sumbangkan ke Panti Asuhan termasuk rumah ini," ujar Papa bernada serius.

Aku yang takut dengan ancaman Papa akhirnya mencari jodoh lewat aplikasi mencari jodoh online , dari situlah aku kenal Hani, wanita yatim piatu yang di besarkan di panti asuhan. Tak masalah dia siapa yang penting aku dapat warisan.

"Awas ya Mas, kamu gak boleh jatuh cinta sama istrimu, begitu orang tua itu koit kita nikah," ujar Widya saat aku akan pergi ke penghulu.

Setelah menikah Papa membelikan aku rumah secara kredit, tapi meskipun kita gak serumah lagi aku masih tetap berhubungan dengan Widya.

 Suatu hari aku terkejut saat Hani memberikan sebuah amplop tebal padaku.

"Mas ini uang tabunganku hasil kerjaku dulu, kamu pakai saja buat lunasin rumah ini," ujar Hani memberikan segepok uang yang membuat aku melongo.

Dari mana dia dapat uang sebanyak ini?

Kerja apa dia dulu sampai punya tabungan sebanyak ini, berapa gajinya?

 Suatu hari saat kami sedang bercinta di rumah Papa, tiba -tiba Papa memergoki kami sedang melakukan hubungan terlarang itu. Papa begitu marah hingga darah tinggginya kumat dan Papa meninggal setelah kami bawa Ke Rumah Sakit

"Ceraikan saja istrimu Bang!" ujar Widya. Namun, selalu aku tolak karena aku merasa Hani menyembunyikan sesuatu dariku, dia sepertinya anak orang kaya, hanya saja tak mau ngaku. 

"Kita masih perlu dia untuk masak dan mengurus rumah ini," jawabku beralasan.

"Tapi gimana kalau dia tahu kita ada hubungan dan menyebar aib kita Bang, malu kan aku. Apalagi folower I* sekarang ini makin banyak."

"Kamu tenang saja, Abang sudah dapat mantra penunduk istri biar si Hani itu nurut sama kita," ujarku.

Widya tersenyum mendengar ucapanku.

"Loh, kalian di sini?" Aku hampir lompat saat tiba- tiba terdengar suara Hani, entah dari mana datangnya.

"Is, bisa gak sih jangan bikin jantungan orang, nylonong saja tanpa permisi," ketus Widya.

"Loh ini kan dapur, tempat umum, masa iya harus permisi dulu. Lagian aku mau masak kok," ujar Hani sambil meletakkan kresek besar di atas meja, mungkin berisi belanjaan.

"Mau masak apa Sayang?" tanyaku kemudian mendekat ke Hani.

"Mas mau aku masakin apa?" tanya Hani lembut. Mantra itu masih berfungsi rupanya, nyatanya Hani masih kelihatan tuduh dan patuh padaku.

"Pingin makan nasi goreng seafood Sayang," jawabku.

"Ok Sayangku," kata Hani sambil menyentuh pipiku dengan kedua telapak taganya.

"Aww, sakit Sayang," ujarku.

"Eh, maaf Mas," ujar Hani menurunkan tangannya.

"Drama melulu," ujar Hani sewot. Namun, lirih.

"Widya, kamu mau makan apa?" tanya Hani tersenyum pada Widya.

"Apa aja," jawab Widya ketus. 

Untung mantra itu masih berfungsi jadi Hani diam saja di apa- apain sama Widya bahkan kami bodoh- bodohin juga diam. Memang sungguh hebat Mantra yang di berikan dukun langganan temanku itu. 

_____

Kami makan dengan lahap karena masakan Hani memang luar biasa nikmat, aku lihat Widya juga memakan tak tersisa nasinya.

"Wah pada pinterni makanannya pada habis?" ujar Hani sambil tersenyum.

"Iya, habis enak sih Sayang," jawabku.

"Ouh, enak ya Mas. Maksasih pujiannnya." 

"Jangan GR deh, karena lapar saja makananmu aku habisin tak bersisa, aslinya rasanya juga biasa," ketus Widya.

Ku elus tangan Hani, kasian juga melihat ekspresi sedihhya, " enak kok Sayang, jangan dengarin dia," ujarku berbisik membuat Widya menghentakkan kakinya dan melangkah pergi.

"Kenapa dia Mas?" 

"Gak papa, lagi PMS mungkin," jawabku.

***

Malam harinya seperti biasa aku membuatkan susu untuk Hani plus bumbu cinta yang akan membuatnya terlena sepanjang malam karena hari ini jadwalku mengunjungi Widya di kamarnya.

"Mas," tiba-tiba saja Widya sudah seperti hantu di bekangku, tangannya di lingkarkan di leherku dari belakang.

"Kenapa Sayang?" tanyaku lembut.

"Aku sudah tak tahan ni, kangen." 

"Sabar ya Sayang, aku buat Hani terlena dulu." 

"Ah Mas, kelamaan. Biarin ajalah ketahuan," ujar Widya. Entah kenapa dia begitu berna**u malam ini. 

"Iya Sayang sabar dong, nanti kalau Hani belum tidur, terus dia rekam kita terus di viralin, kamu mau mau?" 

"Ah istri Mas itu kan bod*h," ketus Widya.

"Sudah ah, lepasin dulu. Aku janji cuma seperempat jam," bujukku agar Widya mau melepaskan peluk*nnya.

Walaupun dengan setengah ngambek dan memanyunkan bibirnya tapi akhirnya kekasih hatiku itu melepaskan juga dekap*nnya.

"Sayang ini susunya," ujarku dengan senyum semanis- manisnya.

"Iya Sayang." 

Aku tersenyum bahagia melihat Hani menegak habis susu yang telah aku buatkan tadi.

Beberapa saat kemudian aku mendengar suara dengkuran halus napas Hani yang menandakan dia sudah tertidur. Dengan pelan aku keluar kamar dan menuju kamar Widya.

Begitu pintu kamar kubuka, Widya langsung menubrukku dan menci*umiku seperti orang kesetanan. Entah apa yang salah hingga Widya jadi brutal seperti ini.

 

Beberapa saat kemudian.

"Aww Mas," jerit Widya menutup wajahnya saat melihat si twiter milikku membuatku bingung.

"Ada apa sih Yang?" tanyaku bingung.

"Itu Mas," ujar Widya menunjuk ke arah twiterku.

"Kenapa?" tanyaku bingung.

"Coba lihat Mas! Kok jadi mengkeret gitu twiter kamu Mas," ujar Widya panik.

"Hah! Jangan bercanda ah!" ujarku sambil melihat ke arah si twiter milikku.

" Aww, tidak kok jadi begini." 

Aku berteriak ketika melihat si twiter mengekeret dan mengecil hingga hampir tak terlihat.

Ada apa ini, kenapa jadi begini?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
wulan nuraini
baru ini baca novel istri yang gk punya insting yg kuat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status