Share

Skandal Sang Sopir
Skandal Sang Sopir
Author: Kwan Saga

01 || Meminta Restu

"Tidak! Pokoknya Ibu enggak restuin kamu nikah dengan Dewa!" Suara lantang menggelegar sore itu tepat pukul empat ketika mentari masih cukup terik menyinari rumah mereka.

"Tapi alasannya apa, Bu? Mas Dewa itu dewasa, dia juga udah punya pekerjaan. Apa yang mendasari Ibu selalu menolak dia, sih?" Penuh dengan tanya dari wajah gadis berusia sekitar delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA.

Senyum sarkastik terlihat dari bibir merah Amira––ibu dari Diandra, atau yang sering dipanggil Andra.

"Kenapa malah senyum begitu? Bukankah Ibu yang dulu bilang kriteria calon menantu Ibu itu harus sudah punya pekerjaan?" cerca Diandra karena Amira belum juga memberikan alasan yang tidak jelas.

"Pokoknya Ibu tidak setuju!" Amira bangkit dari sofa ruang keluarga dan gegas masuk ke kamar sambil menutup pintu dengan kasar.

Diandra tidak tinggal diam. Dia mengejar Amira dan menggedor pintu kamar untuk meminta penjelasan pada Amira.

"Bu, tolong buka pintu kamarnya. Aku ingin dengar alasan dari Ibu kenapa menolak Mas Dewa? Padahal dia begitu baik sama keluarga kita. Apa yang salah dengan Mas Dewa? Kenapa Ibu tega enggak restuin aku untuk menikah dengan Mas Dewa? Kenapa, Bu? Kena––" Belum juga usai, pintu kamar Amira telah terbuka.

"Kamu yakin ingin dengar alasan Ibu?"

Diandra mengangguk.

Amira mulai menceritakan tentang kenapa dia menolak Dewa menjadi menantunya. Dia menceritakan tentang zaman dulu ketika awal mempunyai pacar seorang sopir angkot yang dia kenal sebagai orang yang baik. Wajah rupawan meskipun mempunyai kulit gelap tidak menyurutkan karisma dari sopir yang telah mengambil hatinya.

Hari-hari begitu indah dilalui oleh Amira ketika merajut cinta dengan sang sopir tampan dengan senyuman termanis yang selalu membingkai bibirnya. Bahkan, tidak jarang Amira diantar jemput ke sekolah menggunakan mobil tersebut.

Lambat-laun, Amira memberikan kabar kedekatannya dengan pemuda yang mempunyai pekerjaan sopir tersebut. Namun, kedua orang tua Amira melarang kedekatan mereka dan menyuruh Amira untuk mengakhiri hubungan mereka berdua. Bukan karena status pekerjaan sebagai sopir, tetapi kedua orang tua Amira sering mendengar skandal percintaan sopir. Bahkan ada yang menyebut kalau sang sopir itu setia, buka setia pada pasangannya, tetapi mereka 'setia' yang berarti: setiap tikungan ada atau banyak pacarnya.

"Dan Ibu putus dari dia?" tanya Diandra menatap wajah Amira.

Amira mengangguk.

"Tapi, Bu. Tidak semua sopir begitu. Mungkin saja nasib Ibu yang tidak beruntung mendapatkan kekasih sopir yang berengsek, tapi enggak dengan Mas Dewa, Bu. Ibu juga, kan, tau bagaimana baiknya Mas Dewa?"

"Iya, Andra, Ibu tau. Tapi––"

"Pokoknya aku mau nikah sama Mas Dewa, titik!"

"Andra! Jangan sekali-kali kamu membentak ibumu!" ucap seorang laki-laki yang baru masuk kamar. Dialah Teo––suami dari Amira.

"Tapi Ayah, ini enggak adil buatku! Masa Ibu bandingin Mas Dewa dengan mantan pacarnya dulu, sih? Mereka emang sama-sama sopir, tapi pasti berbeda karakter. Aku yakin Mas Dewa laki-laki baik yang bertanggung jawab!" Diandra masih menggebu menyuarakan suara hatinya pada kedua orang tuanya.

"Gini, loh, Andra. Maksud ibumu, kamu itu masih muda, kenapa enggak kuliah dulu? Enggak cari ilmu dan pengalaman dulu? Enak, loh, banyak teman."

"Kan, kalo udah nikah juga bisa kuliah, Ayah!"

Teo tersenyum. Dia melihat anak semata wayangnya begitu menggebu menyuarakan keinginannya untuk menikah.

"Usiamu belum cukup, Nak."

"Apa aku harus hamil dulu supaya bisa menikah dengan Mas Dewa?"

'Plak!'

Telapak tangan Amira meluncur di pipi Diandra.

Astaga! Batin Amira mengucap ketika dia menyadari menampar putrinya ketika di usia delapan belas tahun.

"Ibu jahat!" ucap Diandra tidak menyangka kalau ibunya akan menampar. Apalagi, hal ini baru terjadi selama hidupnya.

Teo pun melongo saat melihat istrinya menampar pipi gadis yang kini beranjak dewasa. Sebab, sedari dulu Amira merupakan sosok wanita yang lembut, bahkan untuk membentak putrinya saja tidak pernah.

"Aku benci sama Ibu!" Diandra beranjak dari tepi ranjang, lalu pergi membawa sepeda motor matic-nya.

"Astagfirullah, Ayah. Tolong susul Andra. Dia mau ke mana? Ibu khawatir," pinta Amira pada suaminya.

"Biarkan, Bu. Biarkan dia menyendiri dulu untuk menenangkan hatinya."

"Tapi Ayah, Ibu khawatir karena Andra pergi lagi emosi."

"Pecuma Ayah kejar juga, Bu. Dia tidak akan mendengar apa yang Ayah katakan."

***

Diandra memacu motor matic-nya dengan kencang membelah jalanan yang cukup lengang. Gadis berparas cantik itu tidak menghiraukan Speedometer yang melebihi ambang wajar hingga akhirnya dia memarkirkan motornya di salah satu tempat makan di pinggiran jalan karena dia tahu kalau Dewa suka makan atau nongkrong di sana.

"Mas Dewa!" Diandra berteriak memanggil nama kekasihnya, lalu turun dari motor. Seketika itu, Dewa yang sedang duduk di bangku kayu pun terperanjat dan menghampiri Diandra.

"Kamu kenapa, Sayang?" Penuh kelembutan Dewa bertanya pada kekasihnya yang sedang menangis.

"Aku kesel sama Ibu dan Ayah!"

"Loohhh ... memangnya kenapa?" tanya Dewa yang berprofesi sebagai sopir truk antar kota dan provinsi mengantar barang-barang dari salah satu perusahaan sawit di kota itu. "Duduk, yuk? Biar ceritanya enak." Dewa mengajak Diandra dan memesankan teh manis hangat untuk kekasihnya.

Diandra mulai menceritakan alasan kenapa menangis dan marah terhadap ibunya dikarenakan tidak mendapat restu untuk menikah dengan Dewa.

"Sayang, kenapa juga harus cepet-cepet menikah? Benar kata ayahmu, harusnya kamu kuliah dulu, nikmati masa mudamu." Penuh kehati-hatian Dewa menasihati kekasihnya yang masih berusia belasan tahun.

"Iiihhh ... kenapa Mas Dewa malah bela Ayah dan Ibu, sih?! Harusnya Mas Dewa bela aku! Atau, emang Mas Dewa tidak serius pacaran sama aku?! Atau, Mas Dewa enggak mau menanggung kuliah aku?" cerocos Diandra dengan ekspresi menggemaskan.

Dewa tersenyum.

"Usia Mas udah matang, untuk apa Mas main-main pacaran sama kamu? Mas serius, lah." Dewa mengatakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh. "Hanya saja restu dari kedua orang tua itu penting, Sayang. Kita harus mendapatkan restu dari mereka. Ingat, restu orang tua berarti restunya Allah juga, kan?" Dewa mengusap rambut panjang Diandra, lalu menyelipkan ke telinganya.

"Gampang, kok, kalau Ibu dan bapak mau restuin pernikahan kita," ucap Diandra dengan senyum licik.

"Apa itu?" Dewa menyipitkan matanya saat menunggu jawaban dari kekasihnya.

"Hamili aku, Mas," bisik Andra yang membuat sepasang mata Dewa membulat. Dia tidak mengira kalau kekasihnya akan senekat itu. "Gimana?" Diandra kembali menegaskan pertanyaannya.

Dewa menggeleng.

"Tidak, Sayang. Itu bukan hal baik. Pernikah merupakan hal yang sakral dan serius, tidak bisa main-main seperti ini."

"Iya, tapi kedua orang tuaku banyak sekali alasan, Mas. Aku tidak ingin kalau Mas Dewa malah nikah dengan yang lain! Apalagi aku tau banyak cewek yang suka godain Mas, kan?"

Dewa terdiam.

"Tuuuhhh, kaaaannnn ... pokoknya aku ingin nikah secepatnya, titik!" Bibir Diandra mengerucut kesal.

"Iya, Sayang, iya. Nanti Mas coba datang ke rumahmu, ya? Mas akan minta kamu ke Ayah dan Ibu," ucapan Dewa sungguh membuat Diandra tenang.

Quote:

Restu orang tua begitu penting bagi hidup anaknya. Pandai-pandailah kalian menyayangi mereka. Satu kali saja mereka tersakiti, ucapannya bak pisau yang dapat melukaimu. _KwanSaga_

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mimah e Gibran
sesuai rumor ya, sopir itu terkenal dengan setia...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status