Motor matic Diandra terparkir di halaman depan. Dia berjalan memasuki rumah dan tidak berselang lama, suara azan pun berkumandang. "Andra, udah pulang kamu, Nak?" sapa Amira terlihat senang saat melihat anaknya sudah kembali meskipun masih terlihat raut kesal di wajahnya, tetapi tidak dipungkiri kalau hatinya merasa plong karena melihat putrinya baik-baik saja. Diandra tidak menanggapi ucapan sang ibu, dia memilih masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Satu, dua jam, Amira membiarkan. Namun, setelah lima jam berlalu dia mulai merasa khawatir. "Mau ke mana, Bu?" tanya Teo ketika istrinya beranjak dari pembaringan. "Mau ke kamar Andra, Pak. Ibu khawatir, mana dia belum makan sedari siang," ucap Amira. "Jangan, Bu, tidak usah. Percaya sama Ayah, Andra pasti udah tidur dan tidak mau diganggu.""Tau dari mana?""Karena kalau Ibu marah sama Ayah, kan, seperti itu." Teo tersenyum. "Ish! Ayah ...." ucap Amira terlihat malu, pipinya pun memerah saat mendengar ucapan suaminya yang mem
Kejadian malam itu membuat Diandra kembali syok karena lagi-lagi sang ibu yang seolah menghalanginya untuk bersatu dengan Dewa. Apalagi Dewa sudah tiga kali gagal membina rumah tangga dan hal itu yang membuat Amira banyak-banyak mempertimbangkan untuk melepaskan putrinya dengan laki-laki yang mempunyai background seperti itu."Andra, makan dulu, Nduk," ucap Teo terdengar begitu hati-hati membujuk putrinya. "Enggak! Andra enggak mau makan, Ayah." "Sedikit saja, Nak. Tolong lakukan ini demi siapa pun. Kami tidak ingin kamu jatuh sakit." "Andra pokoknya enggak mau makan sebelum Ibu restuin hubungan Andra!" Teo menyerah meluluhkan watak keras putri tunggalnya. Dia memutuskan pergi. "Ayah mau ke mana?" tanya Amira ketika melihat suaminya hendak mengeluarkan sepeda motor dari garasi rumah. "Mau cari Dewa, Bu. Hanya dia yang bisa bujuk Andra supaya bisa makan." "Biarin aja, Yah! Entar juga kalau lapar dia makan sendiri," ketus Amira terlihat kesal saat mendengar nama Dewa. "Tapi, Bu–
Tiba saatnya hari pernikahan Diandra dan Dewa akan dilaksankan setelah satu Minggu berada di rumah sepulang dari rumah sakit waktu itu. Bukan hanya keluarga mempelai wanita saja, saksi bahkan penghulu pun sudah bersiap di sana. Namun, malah Dewa yang belum datang ke acara pernikahan tersebut membuat Diandra gusar menanti kedatangan calon suaminya. "Ibu, Ayah, Mas Dewa ke mana, ya?" Diandra begitu panik ketika menunggu kedatangan Dewa. "Ayah coba menelponnya, ya?" Teo mengusap pundak putrinya dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Namun, belum juga membuka kunci layar ponsel, laki-laki bertubuh gagah dengan paras tampan berkulit sawo matang itu pun akhirnya datang. "Maaf, Andra, Bu, Pak, saya terlambat. Tadi ada keperluan yang mendesak." Dewa menjelaskan perihal yang terjadi padanya. "Iya, enggak apa-apa, Mas." Diandra tersenyum dengan hati yang tenang dan tentu saja bahagia. Awas kamu kalau sampai tega mempermalukan anakku! Ucap Amira kesal dalam hatinya karena Dewa hampir
Untuk pertama kali saat mata Diandra terbuka dalam dekap hangat tubuh laki-laki yang dia cintai. Mata tajam yang tertutup sempurna serta tangan yang masih melingkar pada tubuhnya menjadikan wanita yang berstatus seorang istri itu merasakan kenyamanan yang luar biasa. Diandra menatap wajah suaminya yang masih terlelap. Tampangnya memang tidak membosankan dan dengan jahilnya Diandra malah mengusap bagian wajah Dewa. Mulai dari pipinya, hidungnya, dagunya dan bibirnya tidak luput dari usapan halus Diandra. Diandra melepaskan jarinya yang masih mengusap bibir Dewa bermaksud untuk menyiapkan sarapan untuk suaminya. Namun, Dewa meraih tangan istrinya dan tubuh Diandra seketika kembali terjatuh dalam pelukan hangatnya. "Mas Dewa udah bangun?" Malu-malu Diandra menyapa suaminya. "Aku ingin sekali lagi, boleh?" tanya Dewa dengan suara serak. "Sekali lagi apanya?" Terlihat wajah heran dari Diandra. "Menikmati tubuhmu, Sayang." "Iiihhhh ... Malam tadi Mas udah dua kali, masa mau minta lagi
Sepasang mata Diandra terasa perih bahkan sampai menitikkan air mata. Namun, Dewa tersenyum sarkas setelah beberapa saat sempat terdiam. "Kamu tidak usah membodohiku, Tari." Dewa saat ini terlihat santai menanggapinya. "Aku tidak membodohimu, Abang. Aku mencintaimu dan janin yang ada di perutku itu darah daging kamu." Tari terlihat berusaha meyakinkan Dewa, tetapi laki-laki itu tidaklah bodoh. "Statusmu itu istri orang, bagaimana bisa kamu hamil karena aku? Sudahlah, Tari." "Aba––" Kata-kata tari terputus."Stop! Berhenti memanggilku dengan sebutan Abang. Itu hanya masa lalu. Jalani saja hidupmu dengan suamimu dan biarkan aku hidup dengan istriku!" "TARIII!!!" Suara menggelegar telah menyentak wanita yang ada di hadapan Dewa."Abang Andi?" gumam Tari saat melihat laki-laki di seberang jalan sedang berjalan ke arahnya."Kenapa kau ada di sini? Apa belum cukup aku memberikan bukti padamu kalau aku tidak mandul? Aku tau selama ini kau melakukan KB tanpa sepengetahuanku, bukan? Untuk
Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu. Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar. "Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. Diandra masih menutup mata. "Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra. Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa m
Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-