Share

02 || Pertunangan

Motor matic Diandra terparkir di halaman depan. Dia berjalan memasuki rumah dan tidak berselang lama, suara azan pun berkumandang. 

"Andra, udah pulang kamu, Nak?" sapa Amira terlihat senang saat melihat anaknya sudah kembali meskipun masih terlihat raut kesal di wajahnya, tetapi tidak dipungkiri kalau hatinya merasa plong karena melihat putrinya baik-baik saja. 

Diandra tidak menanggapi ucapan sang ibu, dia memilih masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Satu, dua jam, Amira membiarkan. Namun, setelah lima jam berlalu dia mulai merasa khawatir. 

"Mau ke mana, Bu?" tanya Teo ketika istrinya beranjak dari pembaringan. 

"Mau ke kamar Andra, Pak. Ibu khawatir, mana dia belum makan sedari siang," ucap Amira. 

"Jangan, Bu, tidak usah. Percaya sama Ayah, Andra pasti udah tidur dan tidak mau diganggu."

"Tau dari mana?"

"Karena kalau Ibu marah sama Ayah, kan, seperti itu." Teo tersenyum. 

"Ish! Ayah ...." ucap Amira terlihat malu, pipinya pun memerah saat mendengar ucapan suaminya yang memang nyata adanya. 

*** 

Sudah satu Minggu Amira dan Diandra tidak bertegur sapa. Diandra sering menghabiskan waktunya di kamar dan keluar rumah hanya untuk menemui kekasihnya saja. 

Akhirnya Amira menyerah, dia meridhoi putrinya kalau memang ingin menikah dengan Dewa. Sikap kerasnya memang mirip sekali dengan dirinya, apalagi dia merupakan anak tunggal yang pastinya akan jauh lebih keras kepala karena sedari kecil dia selalu mendapatkan apa yang diinginkan. 

Cepat-cepat Diandra menelepon kekasihnya untuk segera melamar.

[Pokoknya malam ini juga Mas Dewa harus datang ke rumah, aku ingin liat keseriusan Mas Dewa padaku!] Isi pesan Diandra yang dikirim untuk Dewa. 

[Iya, Sayang. Dandan yang cantik, Mas akan kasih kejutan buatmu.] 

Pesan dari Dewa tentu saja membuat hati Diandra melayang ketika membacanya. Dia begitu senang dan yakin kalau pilihannya adalah orang yang tepat. 

Mentari kini telah tergelincir. Langit tampak gelap hanya diterangi oleh kerlip bintang beberapa saja di atas sana. 

Diandra mendengar pintu rumah yang diketuk. Dia tersenyum sambil beranjak dari sofa ruang tamu, di mana dia dan kedua orang tuanya menunggu kedatangan Dewa. 

Benar saja, wajah tampan Dewa kini terlihat dari balik pintu saat Diandra membukanya. 

"Mas Dewa?" Diandra tersenyum manis saat menyaksikan Dewa yang terlihat semakin tampan dengan setelan kemeja lengan panjang yang dia lipat dan bawahan celana kain dengan warna senada atasannya membuat dia semakin terlihat rupawan. 

"Mas enggak disuruh masuk, nih?" Dewa tersenyum ketika melihat kekasihnya yang seolah mematung memandanginya malam ini. 

"Eh, iya, lupa. Mari, silakan masuk, Mas." Diandra mempersilahkan dengan begitu sopan dan lembut.

Diandra dan Dewa berjalan berdampingan ke ruang tamu. Di sana sudah ada orang tua Diandra yang telah menunggunya. Sesungguhnya, Amira masih terlihat belum yakin meskipun Dewa sudah berani datang malam ini untuk membuktikan keseriusannya melamar Diandra. 

"Malam, Pak, Bu?" Dewa begitu sopan menyapa calon mertuanya. 

"Malam, Nak Dewa." Teo menjawab dengan seulas senyuman. Dia masih menghargai niat baik dari seorang Dewa. Sedangkan Amira terlihat biasa-biasa saja menyambut kedatangan Dewa. 

Perbincangan pun terjadi antara Dewa dan Teo. Cukup lama berbincang sehingga keduanya terlihat semakin akrab dan hal itu membuat Diandra senang meskipun ibunya masih terlihat biasa-biasa saja. Paling tidak, dia telah mendapatkan lampu hijau dari ayahnya. 

"Saya tidak ingin mengulur niat baik, Pak. Saya datang ke sini bermaksud untuk melamar Andra, putri ibu dan bapak untuk saya," ucap Dewa yang terlihat bersungguh-sungguh. 

"Gimana, Bu?" tanya Teo pada Amira. 

"Kalau Ibu, terserah anaknya, Yah. Kan, dia yang mau membina rumah tangga." 

"Gimana, Nduk?" Teo bertanya pada putrinya. 

Meskipun terlihat malu-malu, Diandra akhirnya mengangguk. Apalagi, ini memang hal yang dia inginkan hingga berani mendiamkan ibunya selama satu Minggu tidak bertegur sapa. Tentu saja dia tidak akan membiarkan kesempatan itu berlalu begitu saja. 

"Iya, Andra mau, Yah, Bu." 

Dewa terlihat senang ketika mendengar jawaban dari kekasihnya, pun, dengan Andra yang semenjak awal membukakan pintu sudah sangat bahagia melihat keseriusan Dewa yang datang ke rumahnya. 

Teo mengajak Dewa makan malam bersama untuk merayakan pertunangan sederhana yang sudah terjadi malam ini. Laki-laki yang sudah tidak lagi muda itu menghargai keberanian Dewa untuk melamar putrinya. Meskipun Dewa sebatang kara, tetapi dia terlihat cukup baik di mata Teo. 

"Mari, Nak Dewa, kita makan dulu." Teo mengajak Dewa ke ruang makan. 

Diandra, Dewa, Teo dan Amira berjalan ke ruang makan. Di sana sudah tersedia cukup banyak makanan dan minuman yang memang sengaja dihidangkan untuk menyambut kedatangannya. Apalagi pertunangan mereka berjalan lancar. 

Kini mereka menikmati hidangan makan malam. Dewa tidak membawa apa-apa selain dari tubuh dan keberanian dia mendatangi rumah Diandra. Namun, kedua orang tuanya menghargai niat tulus dari laki-laki yang sudah berusia matang, terutama Teo yang menganggap Dewa memang laki-laki yang baik. 

"Nak Dewa, Ayah titip Andra sama kamu, ya? Jangan pernah sakiti dia. Ayah percaya sama Nak Dewa," ucap Teo bersungguh-sungguh. 

"Tentu, Pak. Saya pasti jaga Andra dengan sebaik-baiknya. Mungkin saya tidak bisa sempurna, tetapi saya mencoba menyayangi dia sama seperti Bapak menyayangi Andra." 

Ucapan Dewa begitu membuat Diandra menjadi tenang. Dia semakin yakin dengan laki-laki yang dia pilih itu memang benar. Dewa merupakan sosok laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. 

Hingga akhirnya makan malam pun telah usai. Dewa hendak pulang karena besok pagi dia harus ke luar kota untuk mengantar sawit ke perusahaan di kota tetangga. 

"Oh, jadi besok Mas Dewa harus ke luar kota? Apa aku enggak boleh ikut?" Diandra terlihat sedih saat mendengar hal itu. Apalagi mereka baru saja meresmikan pertunangannya. 

Dewa tersenyum. Dia terlihat begitu pandai memberikan pengertian pada calon istrinya. Mungkin karena usianya yang telah matang. Di usia tiga puluh tahun dia ingin mempersunting Diandra dalam jangka waktu yang tidak lama dari pertunangan ini. 

"Mas, kan, cari uang untuk biaya kita nikah nanti. Enggak lama, kok. Cuma dua hari." 

"Gitu, ya?" 

Dewa mengangguk. 

"Ya udah, hati-hati, ya, Mas." 

Dewa kembali mengangguk. 

"Pak, maaf, saya ke sini enggak bawa apa-apa. Saya ke sini hanya membawa niat dan diri saya untuk melamar putri Bapak dan Ibu. Alhamdulillah semua berjalan lancar, serta mendapatkan restu dari kalian. Ijinkan saya melingkarkan benda kecil ini di jari manis putri Bapak dan Ibu, ya?" Dewa merogoh sesuatu dari celananya. 

Kini terlihat satu tempat berbentuk hati yang dilapisi oleh kain bludru warna merah yang halus. Dibukanya perlahan dan terlihat benda berbentuk ring yang mengilat. 

"Cincin?" Diandra berucap pelan, lalu menatap sepasang mata hitam tajam milik Dewa. "Buat aku, Mas?" 

Dewa mengangguk, lalu meminta Diandra mengulurkan tangannya. Sejenak, gadis cantik itu melihat pada ayah dan ibunya bergantian. Hingga akhirnya melihat anggukkan dari Teo dan Andra akhirnya menyerahkan jemarinya pada Dewa. 

Dewa mengambil cincin tersebut dan perlahan memasukkan pada jari manis Diandra. Kini, cincin tersebut terlihat begitu cantik menghiasi jari manis Diandra. 

"Terima kasih, Mas," ucap Diandra disertai dengan mata berkaca-kaca merasakan kebahagiaan yang begitu besar malam ini. 

Kebahagiaan itu seolah terusik ketika nada dering ponsel Dewa berbunyi. Dia merogoh ponsel dari saku celana, lalu mengangkatnya. 

"Halo?" 

Dewa terlihat serius ketika menjawab panggilan seluler yang entah dari siapa. 

"Apa? Saya dipecat?" Sepasang mata hitam Dewa membulat saat mendengar berita kabar pemecatan yang berarti esok hari dia menjadi pengangguran. Lalu, dari mana dia mendapatkan uang untuk menikahi Diandra?

Quote:

Mengutamakan hal baik itu penting. Terlebih ketika sudah merasa mampu dan ingin melangsungkan pernikahan. Laksanakan dengan segera, karena hal baik itu memang untuk dijalankan, bukan untuk ditunda-tunda! _KwanSaga_

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suci Komala
Duh, kasian si Dewa, malah dipecat. next baca.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status