Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Diandra tertegun dengan noda merah berbentuk bibir tertempel di kerah baju suaminya. Meskipun kemejanya berwarna hitam, tetapi warna merah lipstik itu lebih dari cukup jelas untuk menggambarkan. Sementara dirinya tidak memiliki warna lipstik seperti itu. Ponsel berdering mengagetkan lamunan Diandra. Dia terlihat kaget terlebih nama ayahnya yang tertera dalam panggilan video call. "Hai, Ayah?" sapa Diandra yang terlihat dalam layar ponsel Teo. "Andra, gimana kabarmu, Nak?" jawab Teo dengan bibir tersenyum saat melihat gambar putri semata wayangnya ada dalam ponsel yang ia genggam. "Baik, Ayah. Kabar Ayah dan ibu gimana? Sehat-sehat?" "Alhamdulillah, ini, Ibumu mau ngobrol katanya," ucap Teo, lalu menyerahkan ponselnya pada Amira. "Hai, Sayang? Gimana kabarmu? Ibu kangen banget sama kamu, Nak." Ungkapan dari Amira membuat Diandra cukup bersedih, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya seorang diri karena keputusan menikah dengan Dewa merupakan kehendaknya. "Andra baik, Bu. Ibu
Sepasang mata Dewa membulat saat menyadari ada bekas lipstik bibir Magdalena di kerah bajunya. Dewa diam beberapa saat hingga akhirnya Diandra kembali bertanya. "Mas! Jawaaabbbb." Ekspresi Diandra seperti ingin menangis saat suaminya membisu. "Percuma Mas jawan, pasti kamu enggak akan percaya." "Mas aja belum bilang alasannya apa, mana tau kalau aku tidak akan percaya?" "Gini, Sayang. Dengerin Mas baik-baik." Dewa memegang kedua pundak Diandra dengan sorot mata lekat, tetapi menenangkan. "Tadi, majikannya Mas tidak sengaja terjatuh mengenai Mas dan posisi wajahnya itu mengenai pundak dan mungkin pada saat itu bibirnya mengenai kerah baju Mas." "Yakin hanya itu?" Diandra melirik dengan tatapan menggemaskan. "Iya laaaahhh ... memangnya yang ada dalam pikiranmu apa, Sayang?" Dewa mencubit gemas pipi chubby Diandra, lalu dia meraih tubuh istrinya dalam dekap. Huufff ... untung saja dia percaya. Batin Dewa saat mendekap istrinya. "Oh, iya, gimana tadi pendaftaran kampusnya?" Dewa m
Sambungan ponsel terputus. Namun, Dewa masih bingung menentukan sikap. Dia akhirnya berjalan mendekati sang istri. "Sayang, Mas ada kerjaan. Kamu pulang naik taksi enggak apa-apa, ya?" Dewa bertanya meskipun dirinya tahu kalau Diandra pasti akan kesal. "Semalam ini?" tanya Diandra ketika menatap sorot mata suaminya dengan tatapan heran. Jelas saja dia merasa heran karena waktu telah menunjuk pada jam sembilan malam. "Iya, barusan ditelpon majikannya Mas dan dia disuruh menemui salah satu orang penting katanya." Dewa berusaha meyakinkan meskipun ucapannya ngawur. Diandra terlihat menarik napas panjang, lalu mengempaskannya perlahan. "Baiklah, aku akan pulang naik taksi. Mas hati-hati bawa mobilnya, ya?" ucap Diandra dengan seulas senyum. "Makasih, Sayang ...." Dewa mengucap sambil mengecup pipi Diandra. "Apa perlu Mas yang pesankan taksi? Karena Mas udah ditunggu majikannya Mas." "Ndak usah, Mas. Mas pergi aja, aku nanti naik taksi sendiri setelah makananku habis," ucap Diandra.
Dewa terduduk dengan napas memburu serta keringat yang membanjiri tubuhnya. "Dewa? Kamu kenapa, Sayang?" tanya Magdalena yang berada di sampingnya. Dewa masih sibuk mengatur napas yang masih memburu. Matanya masih sibuk melihat keadaan dan dia baru menyadari kalau dirinya berada dalam kamar sang majikan."Sayang?" Magdalena berusaha merebahkan kembali tubuh Dewa yang sedang terduduk hingga tubuh jangkungnya kembali terbaring dengan tatapan yang masih ragu. Sesungguhnya apa yang terjadi? Batin Dewa saat tubuhnya sudah kembali terbaring nyaman dengan pelukan dari Magdalena. "Andra itu siapa?" tanya Magdalena sesaat Dewa yang seolah masih belum seratus persen sadar dari mimpinya. "Andra?" Dewa malah kembali bertanya. "Hu'um, tadi kamu berteriak menyebut namanya." Magdalena menyangka nama Andra merupakan seorang laki-laki. Makanya dia bertanya pun dengan bahasa yang santai.Sepasang mata Dewa membulat, dia tidak menyangka kalau istrinya masuk dalam mimpi buruknya. Untung saja cuma m
Cepat-cepat Dewa berlari ke arah pintu dan membukakannya sebelum istrinya melihat siapa yang datang. "Siapa, Mas?" teriak Diandra yang masih di kamar mandi. Dewa tidak menjawab karena dia pun belum mengetahui siapa tamu yang berada di balik pintu, dengan jantung yang berdegup kencang, Dewa membuka pintu dan berharap bukan Magdalena yang mengunjungi rumahnya. "Ibu? Bapak?" Kepanikan Dewa berganti senyum. Dia merasa lega karena yang datang ternyata mertuanya bukan Magdalena. "Gimana kabarmu, Dewa?" tanya Teo dengan seulas senyum."Baik, Pak. Bapak sama Ibu gimana kabarnya?" "Alhamdulillah, kami baik-baik saja." "Syukurlah, mari, silahkan masuk." Dewa membuka pintu lebar mempersilahkan mertuanya masuk. "Sayang, lihat, nih, siapa yang datang?!" Sengaja Dewa berteriak agar istrinya cepat-cepat keluar dari toilet.Teo dan Amira duduk di sofa ruang tamu dan tidak menunggu waktu lama, Diandra pun menyusul ke ruang tamu. "Ibu? Ayah?" Diandra mematung saat melihat orang tuanya mengunjung
Satu Minggu berlalu semenjak hari pemecatan itu, Dewa hanya menganggur di rumah tanpa memberitahukan Diandra. "Ibu dan ayah pulang dulu, ya?" Amira memeluk Diandra sebelum mereka pergi ke stasiun. "Iya. Ibu dan ayah sehat-sehat, ya? Mungkin lain kali Andra dan Mas Dewa yang ke Surabaya." "Kalian juga sehat-sehat, ya?" Amira membingkai wajah putrinya dan menatapnya lekat. Seperti biasa, matanya berkaca-kaca ketika hendak meninggalkan putri semata wayangnya.Diandra mengangguk dan kembali memeluk ibunya. Entah pelukan hangat itu akan ia rasakan kapan lagi. Perlahan tangan yang melingkar di pinggang ibunya mengendur dan dengan berat hati harus Diandra lepaskan karena takut mereka telat sampai di stasiun nantinya. "Mari, Bu, kita berangkat." Teo mengusap pundak Amira dan istrinya itu pun menurut. "Maaf, Pak, Bu, aku enggak bisa anter karena mobil masih di bengkel," ucap Dewa."Enggak apa-apa. Tolong jaga baik-baik Andra, ya, Dewa." Teo berpesan. Teo, Amira, Dewa dan Andra sama-sama