Pernikahan Calvin dan Diandra sudah berjalan tiga bulan. Mereka tampak bahagia meski di awal-awal pernikahan cukup banyak penyesuaian. Ya, pasti akan ada banyak hal yang harus diterima, dimaklumi dan diubah. Mereka saat ini dua kepala yang harus menjadi satu hati. Dua pemikiran yang harus bisa sejalan tentu saja sulit. Namun dengan saling menerima dan saling melengkapi akan dapat dijalani dengan baik, meski di awal-awal pasti akan terasa sulit. "Sarapan dulu, Ko!" Diandra berteriak di meja makan memanggil Calvin. Saat ini Diandra memilih menjadi istri yang full time di rumah, tentu saja mengurus rumah dan suaminya. Memanjakan diri dengan aktivitas yang ia sukai dan meninggalkan kantor di mana ia bekerja. Hal ini atas kesepakatan mereka berdua tentunya. "Iya, Sayang!" jawab Calvin yang keluar dari kamar bersama dasi yang ia pegang. Diandra bangkit dari kursi, lalu meraih dasi itu untuk dipakaikan di kerah kemeja suaminya. Calvin menatap wajah yang terlihat khusuk memasangkan dasi,
Calvin terbangun. Antara merasa sadar dan bermimpi saat ia merasa ada seseorang yang terisak. Perlahan matanya terbuka dan ia sempat terkejut saat istrinya terlihat duduk memunggunginya dengan suara tangis pelan. "Sayang? Kamu kenapa?" tanya Calvin setelah ia duduk di samping Diandra. Diandra tidak menjawab, ia masih terisak dan tidak mau menatap suaminya. Lagi-lagi Calvin cukup kesulitan mengorek tentang apa yang sedang dirasakan oleh Diandra. Padahal seharusnya Diandra sudah lebih bisa terbuka pada Calvin. Namun, nyatanya traumatik itu cukup sulit dihilangkan. Trauma tentang kepercayaan yang ternodai oleh perselingkuhan masih terbawa hingga dipernikahannya yang kedua. "Coba jelaskan, please, Ket. Kalau seperti ini terus, gimana aku tau salah aku di mana?" "Maafin aku." Diandra berucap bersama suara tangis serta air mata yang tertumpah di pipi, bahkan pangkal hidungnya pun sudah memerah karena terus-menerus menangis. "Sini." Calvin memeluk erat Diandra. Calvin memberikan waktu b
Rumah dua lantai yang terlihat elegan di atas lahan yang luas di depan, belakang serta samping kiri dan kanannya kini sudah selesai dengan rentan waktu sekitar enam bulan pengerjaan. Calvin dan Diandra kini sudah tinggal di rumah tersebut. Diandra mengatur segala perabotan di rumah itu. Ia merasa bahagia hidup bersama Calvin. Rasa syukur atas limpahan rahmat dan kebahagiaan yang menurutnya sempurna dari Tuhan. Mulai dari memiliki suami yang baik, sabar, tampan dan begitu perhatian padanya. Keadaan mereka yang tentu saja tidak merasa kekurangan bahkan dapat dikatakan bergelimang harta tetapi tidak sama sekali membuat mereka merasa tinggi hati. Seperti saat ini, Diandra dan Calvin berencana ke panti asuhan sekadar ingin memberikan santunan wajib untuk anak-anak yang mungkin kurang beruntung. "Sudah siap, Sayang?" Calvin berbisik pada istrinya yang sedang duduk di kursi riasnya. "Dikit lagi, kamu tunggu di mobil aja, Ko. Enggak lama, tinggal dikit lagi," jawab Diandra sambil menepuk-
Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa usia pernikahan Calvin dan Diandra sudah menginjak dua tahun. Tepat di hari pernikahan mereka yang kedua, perut Diandra terasa mulas saat siang hari. Betapa syoknya dia ketika melihat celana dalamnya ada bercak darah dan ia pun berteriak."Bi! Bibi! Tolong aku!" teriakan itu menggelegar ketika rasa mulas sedikit mereda. Rasa mulas bercampur sakit yang datang lalu menghilang, datang dan menghilang, terus saja terulang hingga ritmenya semakin cepat. "Iya, Non." Pembantunya datang menghampiri. "Aku udah mules-mules, Bi. Di celanaku juga udah ada bercak darah. Apa aku mau melahirkan, ya?" tanya Diandra sambil memejamkan mata menahan rasa sakit dan mules. "Iya, Non, sepertinya cepat itu. Mari Bibi tolong, Non Diandra duduk dulu di tempat tidur dan Bibi akan panggil dulu Pak Winoto," ujar asisten rumah tangga itu yang akan memanggil laki-laki yang menjadi sopir. Diandra mengangguk dan berjalan ke tepi ranjang dibantu oleh asisten rumah tanggany
"Tidak! Pokoknya Ibu enggak restuin kamu nikah dengan Dewa!" Suara lantang menggelegar sore itu tepat pukul empat ketika mentari masih cukup terik menyinari rumah mereka. "Tapi alasannya apa, Bu? Mas Dewa itu dewasa, dia juga udah punya pekerjaan. Apa yang mendasari Ibu selalu menolak dia, sih?" Penuh dengan tanya dari wajah gadis berusia sekitar delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Senyum sarkastik terlihat dari bibir merah Amira––ibu dari Diandra, atau yang sering dipanggil Andra. "Kenapa malah senyum begitu? Bukankah Ibu yang dulu bilang kriteria calon menantu Ibu itu harus sudah punya pekerjaan?" cerca Diandra karena Amira belum juga memberikan alasan yang tidak jelas. "Pokoknya Ibu tidak setuju!" Amira bangkit dari sofa ruang keluarga dan gegas masuk ke kamar sambil menutup pintu dengan kasar. Diandra tidak tinggal diam. Dia mengejar Amira dan menggedor pintu kamar untuk meminta penjelasan pada Amira. "Bu, tolong buka pintu kamarnya. Aku ingin dengar alasan dari Ibu
Motor matic Diandra terparkir di halaman depan. Dia berjalan memasuki rumah dan tidak berselang lama, suara azan pun berkumandang. "Andra, udah pulang kamu, Nak?" sapa Amira terlihat senang saat melihat anaknya sudah kembali meskipun masih terlihat raut kesal di wajahnya, tetapi tidak dipungkiri kalau hatinya merasa plong karena melihat putrinya baik-baik saja. Diandra tidak menanggapi ucapan sang ibu, dia memilih masuk ke kamar dan mengurung diri di sana. Satu, dua jam, Amira membiarkan. Namun, setelah lima jam berlalu dia mulai merasa khawatir. "Mau ke mana, Bu?" tanya Teo ketika istrinya beranjak dari pembaringan. "Mau ke kamar Andra, Pak. Ibu khawatir, mana dia belum makan sedari siang," ucap Amira. "Jangan, Bu, tidak usah. Percaya sama Ayah, Andra pasti udah tidur dan tidak mau diganggu.""Tau dari mana?""Karena kalau Ibu marah sama Ayah, kan, seperti itu." Teo tersenyum. "Ish! Ayah ...." ucap Amira terlihat malu, pipinya pun memerah saat mendengar ucapan suaminya yang mem
Kejadian malam itu membuat Diandra kembali syok karena lagi-lagi sang ibu yang seolah menghalanginya untuk bersatu dengan Dewa. Apalagi Dewa sudah tiga kali gagal membina rumah tangga dan hal itu yang membuat Amira banyak-banyak mempertimbangkan untuk melepaskan putrinya dengan laki-laki yang mempunyai background seperti itu."Andra, makan dulu, Nduk," ucap Teo terdengar begitu hati-hati membujuk putrinya. "Enggak! Andra enggak mau makan, Ayah." "Sedikit saja, Nak. Tolong lakukan ini demi siapa pun. Kami tidak ingin kamu jatuh sakit." "Andra pokoknya enggak mau makan sebelum Ibu restuin hubungan Andra!" Teo menyerah meluluhkan watak keras putri tunggalnya. Dia memutuskan pergi. "Ayah mau ke mana?" tanya Amira ketika melihat suaminya hendak mengeluarkan sepeda motor dari garasi rumah. "Mau cari Dewa, Bu. Hanya dia yang bisa bujuk Andra supaya bisa makan." "Biarin aja, Yah! Entar juga kalau lapar dia makan sendiri," ketus Amira terlihat kesal saat mendengar nama Dewa. "Tapi, Bu–
Tiba saatnya hari pernikahan Diandra dan Dewa akan dilaksankan setelah satu Minggu berada di rumah sepulang dari rumah sakit waktu itu. Bukan hanya keluarga mempelai wanita saja, saksi bahkan penghulu pun sudah bersiap di sana. Namun, malah Dewa yang belum datang ke acara pernikahan tersebut membuat Diandra gusar menanti kedatangan calon suaminya. "Ibu, Ayah, Mas Dewa ke mana, ya?" Diandra begitu panik ketika menunggu kedatangan Dewa. "Ayah coba menelponnya, ya?" Teo mengusap pundak putrinya dan mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Namun, belum juga membuka kunci layar ponsel, laki-laki bertubuh gagah dengan paras tampan berkulit sawo matang itu pun akhirnya datang. "Maaf, Andra, Bu, Pak, saya terlambat. Tadi ada keperluan yang mendesak." Dewa menjelaskan perihal yang terjadi padanya. "Iya, enggak apa-apa, Mas." Diandra tersenyum dengan hati yang tenang dan tentu saja bahagia. Awas kamu kalau sampai tega mempermalukan anakku! Ucap Amira kesal dalam hatinya karena Dewa hampir