Share

06 || Candu

Sepasang mata Diandra terasa perih bahkan sampai menitikkan air mata. Namun, Dewa tersenyum sarkas setelah beberapa saat sempat terdiam.

"Kamu tidak usah membodohiku, Tari." Dewa saat ini terlihat santai menanggapinya.

"Aku tidak membodohimu, Abang. Aku mencintaimu dan janin yang ada di perutku itu darah daging kamu." Tari terlihat berusaha meyakinkan Dewa, tetapi laki-laki itu tidaklah bodoh.

"Statusmu itu istri orang, bagaimana bisa kamu hamil karena aku? Sudahlah, Tari."

"Aba––" Kata-kata tari terputus.

"Stop! Berhenti memanggilku dengan sebutan Abang. Itu hanya masa lalu. Jalani saja hidupmu dengan suamimu dan biarkan aku hidup dengan istriku!"

"TARIII!!!" Suara menggelegar telah menyentak wanita yang ada di hadapan Dewa.

"Abang Andi?" gumam Tari saat melihat laki-laki di seberang jalan sedang berjalan ke arahnya.

"Kenapa kau ada di sini? Apa belum cukup aku memberikan bukti padamu kalau aku tidak mandul? Aku tau selama ini kau melakukan KB tanpa sepengetahuanku, bukan? Untuk apa? Supaya tidak hamil?" Laki-laki bernama Andi itu seolah tidak mengenal tempat, dia nyerocos panjang lebar di hadapan laki-laki yang bahkan belum dia kenal.

"Oh, jadi ini istri Abang?" tanya Dewa sok polos.

"Iya, ini istriku. Kenapa?"

Dewa tersenyum sarkas. "Bawalah dia pergi, Bang. Di sini, pun, hanya menganggu orang saja."

"Kau siapa? Maen usir-usir seenak jidat, kau!"

"Laaa ... ini rumah saya. Yang ada kalian sudah mengganggu ketentraman saya di rumah saya sendiri!"

"Oh, astaga. Bisa-bisanya aku lupa, bah!" ucap Andi dengan logat Bataknya.

Andi menyeret paksa Tari untuk meninggalkan rumah tersebut. Walaupun awalnya Tari sempat menolak, akhirnya dia mengikuti langkah suaminya dan masuk ke mobil.

"Ada-ada saja," celetuk Dewa yang masih melipat tangan di dada dan bibir yang masih terukir senyum merasa lucu dengan polah suami Tari.

Sepasang mata elang Dewa menangkap sesuatu di dekat pohon. Seorang wanita muda cantik tengah terlihat sedih.

"Andra?" gumam Dewa saat melihat istrinya berdiri mematung di sana. "Sejak kapan dia berdiri di sana?" Dewa masih bergumam.

Dewa berjalan menuju Diandra yang masih mematung di dekat pohon rindang. Di tangannya masih terlihat memegang plastik berisi sayur matang yang sudah siap untuk sarapan mereka.

"Sayang?" Dewa berucap dengan suara khasnya. Berat dan seksi saat seseorang mendengar suaranya.

Diandra tidak menjawab. Sepasang matanya sudah kembali berkaca-kaca setelah berulang kali air mata telah luruh membasahi pipi.

"Kamu kenapa, Sayang?" Dewa masih terlihat tenang meskipun sesungguhnya dia mengetahui kalau istrinya sedang bersedih karenanya.

"Mas masih bisa tanya aku kenapa setelah apa yang aku dengar tadi?"

"Itu tidak seperti yang kamu lihat, Sayang. Itu hanya kesalahpahaman saja." Dewa mengusap pipi Diandra.

"Lalu, janin yang ada dalam kandungan wanita tadi itu gimana? Dia jelas-jelas sebut itu bayinya Mas, loh. Darah dagingnya Mas Dewa!" Suara Diandra terdengar begitu pilu dan kecewa.

"Enggak, Sayang. Itu bukan darah dagingnya Mas. Mas berani sumpah!" Dewa mengangkat tangannya pertanda dia tidaklah berbohong. Namun, Diandra masih terdiam. "Mas berani bersumpah apa pun atau lakuin apa pun biar kamu percaya." Dewa memegang kedua pundak Diandra dan menatapnya tajam.

Luruh sudah Diandra dengan tatapan mata Dewa yang teduh tetapi tegas dan disaat itu Dewa memeluknya erat.

"Yang Mas cintai hanya kamu, Sayang," bisik Dewa ketika Diandra berada dalam dekapannya.

***

Setelah kejadian wanita bernama Tari yang hampir membombardir kebahagiaan Diandra dan Dewa. Akhirnya kemesraan mereka kembali menghangat. Bahkan, lebih hangat dari sebelumya. Ah, setelah datangnya hujan badai ternyata menghadirkan pelangi yang begitu indah. Mungkin hal itu cukup menggambarkan keadaan rumah tangga Diandra dan Dewa saat ini.

"Masak apa, sih, Sayang? Wangi sekali," tanya Dewa ketika melihat istrinya yang sedang sibuk memasak di dapur. Bahkan, tangannya telah melingkar di perut langsing Diandra.

"Aku coba masak opor ayam, Mas." Diandra mengaduk-aduk kuah bersantan yang telah tercampur dengan ayam.

Dewa yang baru saja bangun tidur mencium aroma tubuh istrinya yang memang sudah mandi. Hasratnya ingin kembali melakukan hal indah yang sudah dilakukan tadi malam. Bahkan, Diandra masih mengenakan handuk kimono dan dalaman saja. Kepalanya pun masih basah terlilit handuk.

"Mas Dewa, mau ngapain?" desah Diandra ketika tangan suaminya mulai nakal menelusup ke dalam kimono putih yang dikenakan olehnya.

Dewa tidak menjawab, tetapi bibirnya mulai mengecup leher jenjang Diandra. Sensasi geli dari kumis dan jambang tipis Dewa kini dirasakan oleh Diandra. Bahkan, jemari besar Dewa kini menyentuh sesuatu yang kenyal di dalam sana.

Dengan segala belaian dan kecupan membuat Diandra terbakar hasrat bercinta. Dia mulai meletakkan pengaduk sayur dan tangannya kini berpindah pada tengkuk sang suami.

Dewa memeluk dan membelai tiap lekuk tubuh istrinya dengan lembut. Perlahan, kelembutan itu semakin liar dan Dewa menggendong tubuh Diandra ke kamar. Perlahan tubuh sintal Diandra terbaring di ranjang yang bahkan masih berantakan. Dewa sudah mulai tidak sanggup menahan hasratnya dan dia mulai membuka tali handuk kimono yang melilit perut istrinya.

"Sayang," bisik Dewa dengan suara beratnya.

Sepasang mata Diandra terbuka ketika suaminya memanggil. Diandra kini memang sudah tidak malu-malu seperti di awal pernikahan. Bahkan, saat ini dia bisa mengimbangi permainan Dewa yang sudah dikatakan senior dalam permainan panas di ranjang.

Diandra mengerti, suaminya ingin dilayani dan dialah yang harus memegang kendali. Diandra mulai mengecup dada bidang yang ditumbuhi bulu-bulu yang terlihat seksi. Badan Dewa menggelinjang ketika bibir seksi istrinya mengecup dan terasa hangat di dadanya.

"Sayaaang ...." erangan Dewa semakin membuat Diandra semangat untuk berlaku lebih. Tentu saja demi memuaskan hasrat suami yang dapat menjadikannya ladang pahala sebagai istri.

Tubuh Dewa seolah pasrah ketika kecupan-kecupan hangat bertubi-tubi menyerang perut, dada dan saat ini ada di lehernya. Napas hangat serta wangi tubuh Diandra seolah candu ketika mereka sedang bercinta.

"Ayo, Sayang ... aku udah enggak tah––"

Ucapan Dewa terhenti ketika Diandra yang malah menghentikan aksinya.

"Tunggu sebentar, Mas," ujar Diandra.

Diandra turun dari tubuh Dewa yang hanya terbalut selimut bagian bawahnya. Namun, saat kaki Diandra menyentuh lantai, Dewa langsung meraih tangan istrinya.

"Mau ke mana?" Suara Dewa semakin berat. Tentu saja dia tidak rela ditinggalkan istrinya ketika nafsunya telah memuncak.

"Mas enggak cium aroma ini?" tanya Diandra.

Dewa mencoba berpikir tenang dan mengendalikan hawa nafsu yang telah memuncak. "Astaga, ini bau angus," ucap Dewa.

Diandra langsung mengenakan handuk kimononya dan berlari ke dapur. "Astagaaaa ...." Mata Diandra membelalak saat melihat dapurnya telah dipenuhi oleh kepulan asap hitam dan tebal yang cukup memperburuk penglihatannya.

Napas Diandra terasa sesak dan saat itu juga pandangannya memudar, lalu gelap.

"Sayang?!" Dewa yang hanya mengenakan handuk pendek berteriak saat melihat istrinya telah tergolek di lantai dapur.

Quote:

Biarkan hujan badai membasahi bumi. Mungkin dia tidak selalu memberikan dampak baik bagi penghuni alam ini. Namun, percayalah. Dia tetap akan membawa kebaikan untuk kalian serta warna-warna yang akan tergores indah bak pelangi saat kalian menyadari bahwa selalu ada kebaikan yang akan menjadikan pelajaran di setiap musibah. _KwanSaga_

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Mimah e Gibran
piye toh kihhh......
goodnovel comment avatar
Suci Komala
Nanggung Thor... aduuuh.. wkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status