Sepasang mata Diandra terasa perih bahkan sampai menitikkan air mata. Namun, Dewa tersenyum sarkas setelah beberapa saat sempat terdiam.
"Kamu tidak usah membodohiku, Tari." Dewa saat ini terlihat santai menanggapinya."Aku tidak membodohimu, Abang. Aku mencintaimu dan janin yang ada di perutku itu darah daging kamu." Tari terlihat berusaha meyakinkan Dewa, tetapi laki-laki itu tidaklah bodoh."Statusmu itu istri orang, bagaimana bisa kamu hamil karena aku? Sudahlah, Tari.""Aba––" Kata-kata tari terputus."Stop! Berhenti memanggilku dengan sebutan Abang. Itu hanya masa lalu. Jalani saja hidupmu dengan suamimu dan biarkan aku hidup dengan istriku!""TARIII!!!" Suara menggelegar telah menyentak wanita yang ada di hadapan Dewa."Abang Andi?" gumam Tari saat melihat laki-laki di seberang jalan sedang berjalan ke arahnya."Kenapa kau ada di sini? Apa belum cukup aku memberikan bukti padamu kalau aku tidak mandul? Aku tau selama ini kau melakukan KB tanpa sepengetahuanku, bukan? Untuk apa? Supaya tidak hamil?" Laki-laki bernama Andi itu seolah tidak mengenal tempat, dia nyerocos panjang lebar di hadapan laki-laki yang bahkan belum dia kenal."Oh, jadi ini istri Abang?" tanya Dewa sok polos."Iya, ini istriku. Kenapa?"Dewa tersenyum sarkas. "Bawalah dia pergi, Bang. Di sini, pun, hanya menganggu orang saja.""Kau siapa? Maen usir-usir seenak jidat, kau!""Laaa ... ini rumah saya. Yang ada kalian sudah mengganggu ketentraman saya di rumah saya sendiri!""Oh, astaga. Bisa-bisanya aku lupa, bah!" ucap Andi dengan logat Bataknya.Andi menyeret paksa Tari untuk meninggalkan rumah tersebut. Walaupun awalnya Tari sempat menolak, akhirnya dia mengikuti langkah suaminya dan masuk ke mobil."Ada-ada saja," celetuk Dewa yang masih melipat tangan di dada dan bibir yang masih terukir senyum merasa lucu dengan polah suami Tari.Sepasang mata elang Dewa menangkap sesuatu di dekat pohon. Seorang wanita muda cantik tengah terlihat sedih."Andra?" gumam Dewa saat melihat istrinya berdiri mematung di sana. "Sejak kapan dia berdiri di sana?" Dewa masih bergumam.Dewa berjalan menuju Diandra yang masih mematung di dekat pohon rindang. Di tangannya masih terlihat memegang plastik berisi sayur matang yang sudah siap untuk sarapan mereka."Sayang?" Dewa berucap dengan suara khasnya. Berat dan seksi saat seseorang mendengar suaranya.Diandra tidak menjawab. Sepasang matanya sudah kembali berkaca-kaca setelah berulang kali air mata telah luruh membasahi pipi."Kamu kenapa, Sayang?" Dewa masih terlihat tenang meskipun sesungguhnya dia mengetahui kalau istrinya sedang bersedih karenanya."Mas masih bisa tanya aku kenapa setelah apa yang aku dengar tadi?""Itu tidak seperti yang kamu lihat, Sayang. Itu hanya kesalahpahaman saja." Dewa mengusap pipi Diandra."Lalu, janin yang ada dalam kandungan wanita tadi itu gimana? Dia jelas-jelas sebut itu bayinya Mas, loh. Darah dagingnya Mas Dewa!" Suara Diandra terdengar begitu pilu dan kecewa."Enggak, Sayang. Itu bukan darah dagingnya Mas. Mas berani sumpah!" Dewa mengangkat tangannya pertanda dia tidaklah berbohong. Namun, Diandra masih terdiam. "Mas berani bersumpah apa pun atau lakuin apa pun biar kamu percaya." Dewa memegang kedua pundak Diandra dan menatapnya tajam.Luruh sudah Diandra dengan tatapan mata Dewa yang teduh tetapi tegas dan disaat itu Dewa memeluknya erat."Yang Mas cintai hanya kamu, Sayang," bisik Dewa ketika Diandra berada dalam dekapannya.***Setelah kejadian wanita bernama Tari yang hampir membombardir kebahagiaan Diandra dan Dewa. Akhirnya kemesraan mereka kembali menghangat. Bahkan, lebih hangat dari sebelumya. Ah, setelah datangnya hujan badai ternyata menghadirkan pelangi yang begitu indah. Mungkin hal itu cukup menggambarkan keadaan rumah tangga Diandra dan Dewa saat ini."Masak apa, sih, Sayang? Wangi sekali," tanya Dewa ketika melihat istrinya yang sedang sibuk memasak di dapur. Bahkan, tangannya telah melingkar di perut langsing Diandra."Aku coba masak opor ayam, Mas." Diandra mengaduk-aduk kuah bersantan yang telah tercampur dengan ayam.Dewa yang baru saja bangun tidur mencium aroma tubuh istrinya yang memang sudah mandi. Hasratnya ingin kembali melakukan hal indah yang sudah dilakukan tadi malam. Bahkan, Diandra masih mengenakan handuk kimono dan dalaman saja. Kepalanya pun masih basah terlilit handuk."Mas Dewa, mau ngapain?" desah Diandra ketika tangan suaminya mulai nakal menelusup ke dalam kimono putih yang dikenakan olehnya.Dewa tidak menjawab, tetapi bibirnya mulai mengecup leher jenjang Diandra. Sensasi geli dari kumis dan jambang tipis Dewa kini dirasakan oleh Diandra. Bahkan, jemari besar Dewa kini menyentuh sesuatu yang kenyal di dalam sana.Dengan segala belaian dan kecupan membuat Diandra terbakar hasrat bercinta. Dia mulai meletakkan pengaduk sayur dan tangannya kini berpindah pada tengkuk sang suami.Dewa memeluk dan membelai tiap lekuk tubuh istrinya dengan lembut. Perlahan, kelembutan itu semakin liar dan Dewa menggendong tubuh Diandra ke kamar. Perlahan tubuh sintal Diandra terbaring di ranjang yang bahkan masih berantakan. Dewa sudah mulai tidak sanggup menahan hasratnya dan dia mulai membuka tali handuk kimono yang melilit perut istrinya."Sayang," bisik Dewa dengan suara beratnya.Sepasang mata Diandra terbuka ketika suaminya memanggil. Diandra kini memang sudah tidak malu-malu seperti di awal pernikahan. Bahkan, saat ini dia bisa mengimbangi permainan Dewa yang sudah dikatakan senior dalam permainan panas di ranjang.Diandra mengerti, suaminya ingin dilayani dan dialah yang harus memegang kendali. Diandra mulai mengecup dada bidang yang ditumbuhi bulu-bulu yang terlihat seksi. Badan Dewa menggelinjang ketika bibir seksi istrinya mengecup dan terasa hangat di dadanya."Sayaaang ...." erangan Dewa semakin membuat Diandra semangat untuk berlaku lebih. Tentu saja demi memuaskan hasrat suami yang dapat menjadikannya ladang pahala sebagai istri.Tubuh Dewa seolah pasrah ketika kecupan-kecupan hangat bertubi-tubi menyerang perut, dada dan saat ini ada di lehernya. Napas hangat serta wangi tubuh Diandra seolah candu ketika mereka sedang bercinta."Ayo, Sayang ... aku udah enggak tah––"Ucapan Dewa terhenti ketika Diandra yang malah menghentikan aksinya."Tunggu sebentar, Mas," ujar Diandra.Diandra turun dari tubuh Dewa yang hanya terbalut selimut bagian bawahnya. Namun, saat kaki Diandra menyentuh lantai, Dewa langsung meraih tangan istrinya."Mau ke mana?" Suara Dewa semakin berat. Tentu saja dia tidak rela ditinggalkan istrinya ketika nafsunya telah memuncak."Mas enggak cium aroma ini?" tanya Diandra.Dewa mencoba berpikir tenang dan mengendalikan hawa nafsu yang telah memuncak. "Astaga, ini bau angus," ucap Dewa.Diandra langsung mengenakan handuk kimononya dan berlari ke dapur. "Astagaaaa ...." Mata Diandra membelalak saat melihat dapurnya telah dipenuhi oleh kepulan asap hitam dan tebal yang cukup memperburuk penglihatannya.Napas Diandra terasa sesak dan saat itu juga pandangannya memudar, lalu gelap."Sayang?!" Dewa yang hanya mengenakan handuk pendek berteriak saat melihat istrinya telah tergolek di lantai dapur.Quote:Biarkan hujan badai membasahi bumi. Mungkin dia tidak selalu memberikan dampak baik bagi penghuni alam ini. Namun, percayalah. Dia tetap akan membawa kebaikan untuk kalian serta warna-warna yang akan tergores indah bak pelangi saat kalian menyadari bahwa selalu ada kebaikan yang akan menjadikan pelajaran di setiap musibah. _KwanSaga_Dewa menggendong tubuh istrinya untuk dipindahkan ke kamar. Di atas ranjang yang cukup besar, kini tubuh istinya terbaring tidak sadarkan diri. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu berlari ke dapur untuk mematikan api yang mungkin saja bisa menghanguskan seluruh isi dapur, bahkan bisa menghabiskan segalanya, termasuk penghuni rumah. Bukan Dewa mengabaikan istrinya, tetapi dia berusaha menyelamatkan apa yang harus diutamakan terlebih dahulu. Dewa mengambil lap basah dan menutup pada kompor setelah dia berhasil membuka jendela dapur dan perlahan asap tebal itu memudar. Api pun telah padam dengan lap basah tersebut. Dapur tampak berantakan, Dewa tidak peduli akan hal itu yang jelas api sudah padam dan dia kembali ke kamar. "Sayang? Andra? Bangun ...." Dewa menepuk-nepuk pelan pipi istrinya. Diandra masih menutup mata. "Ya Tuhan, maafin Mas, Sayang. Mas enggak bermaksud bikin kamu seperti ini." Dewa menggenggam tangan Diandra. Sepasang mata Diandra masih tertutup rapat. Dewa m
Sudah satu Minggu Dewa bekerja pada Magdalena. Wanita cantik, kaya dan trendy merupakan kesan utama apabila melihatnya. Hanya saja sikapnya yang kurang begitu baik. Dia pemarah, cerewet, arogan dan super manja. "Dewa!" Magdalena memanggil. "Iya, Nona Shu!" jawab Dewa yang ada di luar ruang ganti. Ya, Magdalena mengajaknya ke mall sepulang dari kampus. "Ke sini cepat! Bawakan baju yang ada di dalam paper bag itu!" pinta Magdalena. Dewa melirik paper bag dan mengambilnya. Tangan Dewa terulur ke dalam agar Magdalena meraihnya. Namun, wanita berperawakan tinggi itu malah menarik lengan Dewa. Sontak, laki-laki yang pernah menikah empat kali ini kaget karena selama satu Minggu dia kerja pada Magdalena, wanita itu begitu galak dan juga cerewet. "Anda mau apa, Nona?" tanya Dewa. "Ini baju buat kamu, cepat ganti, aku mau lihat," ucap Magdalena bernada manja. "Tapi, masa iya Nona di sini?" Dewa menyipitkan mata. "Tinggal ganti aja." Magdalena membuka kancing kemeja Dewa. "Kamu pakai baju
Canda dan tawa telah terlontar dari bibir-bibir wanita yang bergaya sosialita. Sedangkan dewa memilih untuk menepi dari hingar-bingar orang-orang seperti itu. Dia lebih memilih untuk mengambil minum yang tersedia di meja panjang yang berselimutkan kain putih menutupi meja. Semakin malam udara semakin dingin terasa menyentuh kulit. Laki-laki berkumis dan berjambang tipis itu terlihat heran karena orang-orang yang ada di pesta tampaknya sama sekali tidak merasakan dingin meskipun memakai pakaian yang bisa dikatakan minim atau pendek. Diam-diam Dewa memperhatikan Magdalena ketika berbicara dan juga tertawa bersama teman-temannya. "Dia terlihat cantik," gumam Dewa sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi air minum berwarna biru. Dia meneguknya lagi dan lagi hingga air itu tandas dan berpindah ke perutnya. "Lena, kamu datang juga?" Sayup-sayup terdengar suara laki-laki yang mendekati Magdalena. "Datanglah, masa enggak? Ini pesta ultah sahabat aku, masa iya enggak datang?" Laki-
Ekspresi melongo kini terlihat dari keduanya. Bagaimana tidak? Mereka tidak pacaran dan hubungan mereka sebatas pacaran pura-pura karena Dewa merupakan sopir pribadi Magdalena. "Hahaha ...." Suara tawa renyah terdengar dari bibir Hardian. "Lena, Lena ... aku tau kalau kamu hanya bersandiwara pacaran dengan laki-laki itu. Kamu hanya ingin menunjukkan kalau kamu itu bisa move on dengan cepat dari aku, bukan? Tetapi nyatanya tidak. Kamu masih gagal move on dariku, sehingga menyewa kekasih bayaran, kasihan!" cerca mulut comel Hardian. Magdalena hanya bisa diam, karena apa yang dikatakan oleh Hardian memang benar adanya. Dia masih mencintainya dan belum bisa move on dari kenangan indahnya bersama Hardian. Sayup-sayup Dewa mendengar bisikan-bisikan dari teman-teman Magdalena yang mulai mencibir. Dewa yang berdiri di samping Magdalena akhirnya melangkah dan saat ini keduanya sudah berhadapan. Seketika itu Magdalena mendongak dan menatap pada sopirnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Mag
Dewa merasa heran melihat ekspresi wajah istrinya. "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Dewa pada Diandra. "Ini, ini apa, Mas? Kok, balon kecil dimasukin ke sini? Mana banyak lagi," ucap Diandra pada suaminya. Itu, kan, alat kontrasepsi. Batin Dewa. "Astaga, Mas lupa, tadi habis antar majikan Mas ke acara pesta ulang tahun saudaranya. Itu hadiah kecil dari ponakannya yang berulang tahun," terang Dewa dengan bulir yang ada di dahinya. Diandra benar-benar masih polos. Gadis itu benar-benar tidak mengetahui apa-apa tentang alat kontrasepsi lain selain daripada pil yang dia minum setiap hari untuk mencegah kehamilan. Salah satu tujuan menunda kehamilan Diandra, karena Dewa merasa istrinya belum cukup umur jika dia harus mengurus bayi nantinya. "Mas?" Diandra memanggil. "Iya, Sayang." "Apa aku boleh kuliah?" "Boleh, apa, sih, yang enggak buat kamu?" "Yang bener?" Wajah Diandra tampak senang. "Bener, dong. Mau kapan mulai daftarnya?" "Sekarang juga udah dibuka pendaftaran untuk maba," jaw
Diandra tertegun dengan noda merah berbentuk bibir tertempel di kerah baju suaminya. Meskipun kemejanya berwarna hitam, tetapi warna merah lipstik itu lebih dari cukup jelas untuk menggambarkan. Sementara dirinya tidak memiliki warna lipstik seperti itu. Ponsel berdering mengagetkan lamunan Diandra. Dia terlihat kaget terlebih nama ayahnya yang tertera dalam panggilan video call. "Hai, Ayah?" sapa Diandra yang terlihat dalam layar ponsel Teo. "Andra, gimana kabarmu, Nak?" jawab Teo dengan bibir tersenyum saat melihat gambar putri semata wayangnya ada dalam ponsel yang ia genggam. "Baik, Ayah. Kabar Ayah dan ibu gimana? Sehat-sehat?" "Alhamdulillah, ini, Ibumu mau ngobrol katanya," ucap Teo, lalu menyerahkan ponselnya pada Amira. "Hai, Sayang? Gimana kabarmu? Ibu kangen banget sama kamu, Nak." Ungkapan dari Amira membuat Diandra cukup bersedih, dia hanya bisa menyembunyikan kesedihannya seorang diri karena keputusan menikah dengan Dewa merupakan kehendaknya. "Andra baik, Bu. Ibu
Sepasang mata Dewa membulat saat menyadari ada bekas lipstik bibir Magdalena di kerah bajunya. Dewa diam beberapa saat hingga akhirnya Diandra kembali bertanya. "Mas! Jawaaabbbb." Ekspresi Diandra seperti ingin menangis saat suaminya membisu. "Percuma Mas jawan, pasti kamu enggak akan percaya." "Mas aja belum bilang alasannya apa, mana tau kalau aku tidak akan percaya?" "Gini, Sayang. Dengerin Mas baik-baik." Dewa memegang kedua pundak Diandra dengan sorot mata lekat, tetapi menenangkan. "Tadi, majikannya Mas tidak sengaja terjatuh mengenai Mas dan posisi wajahnya itu mengenai pundak dan mungkin pada saat itu bibirnya mengenai kerah baju Mas." "Yakin hanya itu?" Diandra melirik dengan tatapan menggemaskan. "Iya laaaahhh ... memangnya yang ada dalam pikiranmu apa, Sayang?" Dewa mencubit gemas pipi chubby Diandra, lalu dia meraih tubuh istrinya dalam dekap. Huufff ... untung saja dia percaya. Batin Dewa saat mendekap istrinya. "Oh, iya, gimana tadi pendaftaran kampusnya?" Dewa m
Sambungan ponsel terputus. Namun, Dewa masih bingung menentukan sikap. Dia akhirnya berjalan mendekati sang istri. "Sayang, Mas ada kerjaan. Kamu pulang naik taksi enggak apa-apa, ya?" Dewa bertanya meskipun dirinya tahu kalau Diandra pasti akan kesal. "Semalam ini?" tanya Diandra ketika menatap sorot mata suaminya dengan tatapan heran. Jelas saja dia merasa heran karena waktu telah menunjuk pada jam sembilan malam. "Iya, barusan ditelpon majikannya Mas dan dia disuruh menemui salah satu orang penting katanya." Dewa berusaha meyakinkan meskipun ucapannya ngawur. Diandra terlihat menarik napas panjang, lalu mengempaskannya perlahan. "Baiklah, aku akan pulang naik taksi. Mas hati-hati bawa mobilnya, ya?" ucap Diandra dengan seulas senyum. "Makasih, Sayang ...." Dewa mengucap sambil mengecup pipi Diandra. "Apa perlu Mas yang pesankan taksi? Karena Mas udah ditunggu majikannya Mas." "Ndak usah, Mas. Mas pergi aja, aku nanti naik taksi sendiri setelah makananku habis," ucap Diandra.