Sementara, pada malam hari itu juga di Pendapa sebuah Rumah Joglo milik Ki Buyut almarhum di Kabuyutan Claket, tampak Ki Patih Narotama dihadap oleh beberapa tetua kabuyutan, dua senopati prajurit, beberapa prajurit pengawal, Pendeta Sung Tulodo dan di sebelah kanan adalah Mahesa Barak dan Gesang Suci.Semua orang terutama yang belum pernah mengenal keluarga Raja Airlangga sekali lagi diperkenalkan bahwa Mahesa Barak adalah putra Mahkota kerajaan Kahuripan yang baru pulang dari lawatannya ke Kerajaan Sunda Galuh.Dan Gesang Suci adalah kakak seperguruannya dari Bukit Buthak, sebuah padepokan di seberang Hutan Gembolo.Pendeta Sung Tulodo dan semua tetua Kabuyutan ketika melihat Mahesa Barak sekali-kali mencuri pandang tapi tidak satupun berani menyatakan sesuatu. Namun, agaknya ada sesuatu yang mereka sepakati bersama dan akhirnya hanya tersimpan dalam hati. Karena apabila dinyatakan, maka akan dianggapnya deksura."Mohon maaf, Gusti Rakyan Hino, hamba segera memulai," sembah kipatih h
"Baiklah, anakmas. Pamanda sangat senang mendengar angger membantu kesembuhan prajurit itu,” ki Patih mengangguk hormat. "Selanjutnya, ijinkan pamanda pergi dengan gusti Rakyan Hino.”"Silahkan gusti patih,” Gesang Suci ganti membalasnya tidak kalah hormatnya."Tapi Kangmas, tidurnya jangan terlalu malam," sambung Mahesa Barak tiba-tiba. "Besuk pagi-pagi kita pergi melanjutkan perjalanan untuk segera bertemu dengan guru di padepokan."Gesang Suci termangu-mangu. Rencana ini-pun baru disampaikan adik seperguruannya itu. Tapi memang tujuan semula adalah pulang ke Bukit Buthak, Padepokan gurunya. Agaknya Ki Patih-pun sudah menyetujui untuk menunggu sehari dua hari di Kabuyutan itu sebelum mereka ke Kota Raja Kahuripan."Kaupun jangan terlalu banyak pamer tenaga," Gesang Suci menjawab acuh. "Segala yang pernah dilatih, dipertontonkan sampai lupa waktu."Mahesa Barak-pun tak kuasa untuk tertawa berderai layaknya tawa seorang laki-laki. Untung ki Patih segera menggamitnya. Demikianlah ketik
Pada saat itu, lamat-lamat dari kabuyutan terdengar ramai ayam berkokok untuk yang terakhir kali di bawah Gunung Pundhak menandakan sebentar lagi fajar akan datang. Dinginnya hawa pagi membantu mengeringkan keringat di tubuh keduanya. "Luar biasa gusti putri sekarang," Ki Patih Narotama mengangguk hormat. "Selayak nya saat ini ganti pamanda yang berguru."Mahesa Barak tertawa. Meskipun seolah tidak setuju tetapi dalam hati sebenarnya bangga. Apalagi yang memuji seorang paman yang pertama kali mengajari satu dua jurus langkah awal pengenalan ilmu kanuragan."Bukan kemampuaku semata paman. Tapi, sekedar pinjaman dari dewata," jawab Mahesa Barak tiba-tiba timbul senyum kemanjaannya. "Kalau aku kemudian menyimpang dari jalan benar maka sebaiknya dicabut saja pinjaman ini""Benar sekali apa kata gusti putri," sambung ki Patih."Hampir pamanda juga hendak mengatakan bahwa apa yang menjadi kekuatan ilmu kita sebenarnya sekedar pinjaman. Kita tidak boleh mengaku bahwa dengan kemampuan itu menj
"Maksudku, Kangmas Gesang Suci harus tahu titipan bekal yang besar dari ibundanya itu.""Tentu," sahut ki Patih Narotama. "Hal itu harus segera disampaikan kepada Pangeran muda itu. Biarkan dia bebas menentukan buat apa saja bekal uang dari ibundanya itu. Kita tidak wenang mencampurinya."Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka memasuki kabuyutan ketika fajar menyingsing. Angin pagi terasa segar sesudah memeras tenaga dan justru ingin segera bertemu air untuk segera mandi. Ketika kaki mereka sampai di gapura rumah Ki Buyut tiba-tiba langkah mereka merandek . Telinga mereka yang tajam masih mendengar percakapan antara Pendeta Sung Tulodo dan Gesang Suci di pringgitan. Ki Patih berbisik ditelinga Mahesa Barak. "Kita langsung ke rumah kidul saja biar tidak mengganggu penghuni lainnya."Rumah kidul artinya rumah milik Ki Buyut yang sekarang seolah dipakai markas yang berada di sebelah utara. Mahesa Barak mengangangguk setuju."Tetapi aku ingin ganti baju," ujar Mahesa Barak tiba-tiba "
Ketika warna merah kekuningan di senja hari itu masih tersangkut di pucuk-pucuk pepohonan dan tersisa di puncak Gunung Welirang, kedua anak muda itu menatapnya hampir bersamaan. Gunung berwarna kebiruan menjulang tinggi di depan mereka itu masih tampak begitu megah seperti saat kepergian mereka merantau ke Negeri Barat satu setengah tahun yang lalu.“Jika Hyang Widhi memperkenankan, kita baru besok sampai di padepokan, Kangmas," ujar salah seorang anak muda yang menunggangi kuda berwarna merah. Wajahnya cerah dengan mata bersinar tajam menandakan kekuatan bathinnya yang tinggi. Ketika untuk kedua kalinya menegakkan badannya yang terasa pegal tampak tubuhnya tinggi langsing namun terlihat padat berisi."Adimas Mahesa Barak sudah rindu kepada bapa Pendeta, ya?" tanya pemuda berperilaku lembut berkuda putih di sebelahnya sambil tersenyum menggoda. Matanya sesaat tidak lepas menatap lesung pipit adik seperguruannya itu.Anak muda yang bernama Mahesa Barak langsung menyahut dengan senyuman
"Hari respati, malam sukro," desis Mahesa Barak sekali lagi sambil memandang pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat-rapat. Malam di mana konon roh para leluhur pulang menunggu doa dari sanak keluarga dan jika tidak ada satupun yang bangun untuk berdoa maka mereka akan bertangisan di kuburan. Namun juga malam di mana konon gendruwo, tetekan ,banaspati, kuntilanak sibuk bergentayangan mengganggu manusia yang kurang iman dan keyakinan.Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di depan Gapura Banjar. Ada satu pelita kecil tergantung di tengah pintu gapura dan sedang bergoyang maju mundur mulai terdorong angin kencang menjelang hujan turun. Seorang laki-laki tua menyambut salam kedua anak muda itu dengan suara lunak ketika mereka sudah memasuki halaman banjar sambil menuntun kuda-kudanya.Sejenak, penunggu banjar itu memandang pemuda pertama memakai pakaian panjang berwarna merah polos yang menutupi sebagian dadanya dengan di selempangkan layaknya seorang pendeta dengan rambut panjang
Seorang perempuan tua menyuguhkan satu ceret wedang sereh dan semangkok singkong rebus panas."Waduh jangan repot-repot nek," ucap Gesang mengangguk hormat. Ditatapnya nenek tua itu sejenak dan kemudian beralih ke singkong yang masih mengepul. "Terima kasih. Singkongnya tampak manis dan empuk”"Silahkan ngger," jawab orang tua itu. Sejenak dipandangnya pula dua anak muda di depannya bergantian. Keduanya bersih dan terlihat terpelajar. Betul kata suaminya, kedua tamunya hari ini berbudi bahasa sopan dan lembut. Namun mendadak orang tua itu sekali lagi menatap Mahesa Barak dan membenarkan pendapat suaminya bahwa raut wajah anak muda itu mirip istri seorang panutan di kabuyuran ini. Bahkan karena besar kemiripannya itulah hampir terucap pertanyaan yang sudah di ujung lidahnya."Maaf hanya panganan sederhana ini yang bisa kami suguhkan. Maklum desa ini terpencil dan sepi.” "Kami sudah sering lewat kabuyutan ini, Nek," ucap Mahesa Barak yang merasa selalu ditatap. “Tapi malam ini memang ta
"Maaf kangmas aku mau meneruskan mimpi," sambung Mahesa Barak cepat-cepat dengan wajah cemberut . "Selamat malam "Gesang Suci ingin menjawab bahwa tadi itu kasihan melihat adiknya sudah tidur dan apalagi tidak berani membangunkan. Namun ketika dilihatnya Mahesa Barak sudah membelakanginya lagi sambil memeluk kedua tangannya seperti tadi, maka Gesang Suci hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Yang tidak diketahuinya adalah adiknya itu tersenyum simpul. Ternyata kakak seperguruannya itu masih menyimpan rasa segan kepadanya dan mereka masih saling menghormati. Juga makin saling mengasihi.Hujan di luar terdengar mulai reda. Suara air yang sedang memukul genting semakin jarang namun angin yang masih berhembus rasanya bertambah dingin. Biasanya ada giliran ronda yang dimulai dari banjar. Entah karena mereka ketiduran atau kabuyutan yang aman tidak pernah terjadi tindak kejahatan sehingga dianggap tidak masalah jika lowong satu malam saja.Namun tiba-tiba terdengar suara tangis bayi dari