Share

Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan
Sang Gula Kelapa di Langit Kahuripan
Author: Tiara Triangelina

Bab 1

Ketika warna merah kekuningan di senja hari itu masih tersangkut di pucuk-pucuk pepohonan dan tersisa di puncak Gunung Welirang, kedua anak muda itu menatapnya hampir bersamaan. Gunung berwarna kebiruan menjulang tinggi di depan mereka itu masih tampak begitu megah seperti saat kepergian mereka merantau ke Negeri Barat satu setengah tahun yang lalu.

“Jika Hyang Widhi memperkenankan, kita baru besok sampai di padepokan, Kangmas," ujar salah seorang anak muda yang menunggangi kuda berwarna merah. Wajahnya cerah dengan mata bersinar tajam menandakan kekuatan bathinnya yang tinggi. Ketika untuk kedua kalinya menegakkan badannya yang terasa pegal tampak tubuhnya tinggi langsing namun terlihat padat berisi.

"Adimas Mahesa Barak sudah rindu kepada bapa Pendeta, ya?" tanya pemuda berperilaku lembut berkuda putih di sebelahnya sambil tersenyum menggoda. Matanya sesaat tidak lepas menatap lesung pipit adik seperguruannya itu.

Anak muda yang bernama Mahesa Barak langsung menyahut dengan senyuman. "Apakah Kangmas Gesang Suci masih ingin terus merantau dari ujung pulau ke ujung lainnya bahkan dari negeri yang satu ke negeri lainnya hingga bertahun-tahun?"

Gesang Suci tidak menjawab.Tapi senyum nya masih menghiasi raut wajahnya yang tampan seperti selalu menyimpan kedamaian. Alis matanya tebal dan sorot matanya lembut menandakan tekadnya yang kuat untuk mengabdikan seluruh hidupnya kepada sesama.

Anak muda ini memiliki kulit tubuh yang berwarna putih kuning tidak seperti kulit tubuh rakyat Kahuripan pada umumnya bahkan berbeda dengan kulit tubuh Mahesa barak di sebelahnya yang meskipun kuning lembut tapi agak kemerahan karena sering terbakar sinar matahari. Namun, Mahesa Barak-pun memiliki kelebihan. Yaitu di wajahnya yang manis ada lesung pipit kecil di ujung pipi. Sebuah hidung mancung dinaungi sepasang alis lebat dan membentuk lengkungan layaknya wanita cantik. Yang menyamakan keduanya kemudian adalah geraknya yang trengginas, cekatan dan memperlihatkan kekuatan tubuhnya.

Umur kedua anak muda itu terpaut dua tahun dan saat ini umur Mahesa Barak hampir 18 tahun tapi karena berkulit kuning agak kemerahan maka perbedaan umur itu tidak tampak. Demikianlah sementara suara kaki kuda terus menapaki jalan berbatu-batu terdengar berirama ajek sepanjang perjalanan itu menandakan mereka tidak tergesa-gesa. Serangkum desiran angin senja mengusap wajah-wajah mereka yang berkeringat dan berdebu. Terasa hawa di kaki gunung Welirang perlahan menjadi bertambah dingin. Sekali-kali dengan sudut matanya Mahesa Barak menatap wajah kakak seperguruan yang berkuda di sebelahnya dengan penuh hormat dan kasih.

Dalam pada itu tampak sekelompok besar kelelawar melintas di langit menuju kearah hutan di sebelah timur hendak mencari makan. Hewan-hewan itu terbang dengan jumlah ribuan ekor seperti prajurit sedang berbaris sehingga langit tampak beberapa saat bertambah gelap oleh kelelawar-kelelawar dengan bunyi yang mencicit .

Besok paginya di saat fajar tiba mereka kembali pulang ke bukit sebelah barat di gua-gua tempat mereka tidur di siang hari. Mahesa Barak tiba-tiba minta ijin ingin buang air kecil dan segera meloncat turun. Dicarinya gerombol pohon perdu dan di balik semak-semak, dia berjongkok. Lembah di sebelah kiri mereka berupa tanah cekungan di mana pohon perdu dan padang alang-alang sudah mulai tertutup gelap malam. Sementara itu Gesang suci menunggu beberapa depa di depan. Tanpa sadar muncullah angan-angannya.

Ingatan anak muda itu kemudian melayang mendahului perjalanan ke tempat gurunya mendidik ilmu lahir dan bathin di mana para cantrik diajar ilmu menulis, membaca , berhitung, cara berdoa, cara menyiapkan sesaji, dan belajar peraturan-peraturan agama. Juga diajar ilmu bela diri, jaya kawijayan ,dan ilmu gelar perang. Setelah ditinggal sekian lama pastilah bertambah jumlah cantrik, mentrik, ajar, jejanggan dan ruang asrama juga tentunya bertambah luas.

"Sepertinya bertambah banyak mereka yang hendak mencari ilmu, Guru," waktu itu Gesang Suci berkata kepada gurunya yang sedang melihat-lihat penambahan dua ruang belajar. " Semoga ilmu yang dipelajari segera bisa diamalkan bagi masa depan mereka setelah lulus ujian di Padepokan ini”

"Kau benar, Anakmas ," gurunya menjawab. "Semakin banyak anak-anak belajar maka bertambah pula orang pandai yang ingin memajukan dirinya, keluarganya, dan bangsanya sehingga kerajaan Kahuripan ini akan menjadi semakin besar.” Waktu itu Gesang Suci berpendapat semakin pandai seseorang maka bekal masa depannya semakin lengkap.

Ketika melihat kakak seperguruannya masih termenung Mahesa Barakpun ikut berhenti di atas kudanya.

"Tidak terasa waktu satu setengah tahun seperti baru kemarin," desis Gesang begitu sadar Mahesa Barak sudah di sampingnya. "Apa kita semua akhirnya sadar semakin usia bertambah seharusnya semakin banyak amal kebajikan kita?"

"Bagi mereka yang merasa bertambah umur seharusnya begitu, Kangmas," jawab Mahesa Barak tertawa kecil. “Masalahnya banyak orang yang ingin muda terus." Hampir bersamaan pula mereka menarik nafas panjang sehingga tanpa sadar kedua anak muda itu saling memandang dan tersenyum.

Mereka tidak menyambung percakapan lagi sebab apa saja yang sedang dirasakan oleh salah seorang seolah menular kepada lainnya. Kerinduan pada tempat berguru semakin dekat , semakin meningkat.

Pada saat itu, jalan panjang berbelok yang akan mereka lewati bertambah menanjak dan di kiri kanan terdapat padang rumput dengan semak belukar yang berkelompok dikelilingi tumbuhan alang-alang dan batu-batu berbagai bentuk. Kedua anak muda itu sudah hapal betul sebab di samping arahnya yang benar, juga sudah mendekati tujuan.

Di depan, mereka akan masuk Kabuyutan Claket kemudian menyeberangi hutan Cembor sebagai anak dari hutan Gembolo. Yang disebut hutan Gembolo adalah sebuah hutan luas dan ganas gung liwang liwung di mana segala macam binatang besar seperti harimau, beruang, ular raksasa dan binatang beracun seperti laba-laba bersabuk perak, dan ular bandotan yang masih banyak berkeliaran. Ketika kuda-kuda mereka melewati jalan pesawahan, maka tanah berlumpur di kiri dan kanan adalah satu pertanda panen sudah lewat. Kini mulai musim membajak tanah menggaru dan membalikkan tanah untuk persiapan tanam padi berikutnya.

Tidak berapa lama, Gapura Wanua (dukuh) sudah di depan mata dan sejenak mereka berhenti di depan sebuah gardu ronda. Dua buah oncor terpasang di kiri-kanan gapura sudah dinyalakan dan dinaungi seng berbentuk payung agar terlindung dari terpaan hujan. Di Wanua (dukuh) Claket tidaklah banyak rumah berdiri di pinggir jalan sebab setiap rumah memiliki kebun yang cukup luas. Beberapa rumah tersebar sampai ke kaki gunung Welirang dikepalai seorang kebayan ( Buyut )

"Kita menumpang istirahat di Banjar Desa, Kangmas," desis Mahesa Barak perlahan.

Tanpa menunggu jawaban anak muda itu mendorong kudanya kebanjar kabuyutan di simpang empat masih beberapa tombak di depan mereka. Jika berbelok ke kanan dan lurus akan sampai ke rumah paling besar yang sudah mereka kenal yaitu rumah Ki Buyut Claket. Namun mendadak Mahesa Barak tampak berhenti termangu-mangu. Juga Gesang Suci yang tampak mengerutkan keningnya. Keduanya mencium bau wangi kemenyan terbawa semilir angin. Ada beberapa rumah sedang mengeluarkan asap dupa kemenyan sehingga sebentar saja langit kabuyutan itu mulai dipengaruhi suasana seram.

Sementara, bintang-bintang di langitpun satu demi satu mulai tertutup mendung dan mengalir ke selatan. Agaknya hujan sebentar lagi akan turun di kaki gunung itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status