Share

Bab 3

Seorang perempuan tua menyuguhkan satu ceret wedang sereh dan semangkok singkong rebus panas.

"Waduh jangan repot-repot nek," ucap Gesang mengangguk hormat. Ditatapnya nenek tua itu sejenak dan kemudian beralih ke singkong yang masih mengepul. "Terima kasih. Singkongnya tampak manis dan empuk”

"Silahkan ngger," jawab orang tua itu. Sejenak dipandangnya pula dua anak muda di depannya bergantian. Keduanya bersih dan terlihat terpelajar. Betul kata suaminya, kedua tamunya hari ini berbudi bahasa sopan dan lembut. Namun mendadak orang tua itu sekali lagi menatap Mahesa Barak dan membenarkan pendapat suaminya bahwa raut wajah anak muda itu mirip istri seorang panutan di kabuyuran ini. Bahkan karena besar kemiripannya itulah hampir terucap pertanyaan yang sudah di ujung lidahnya.

"Maaf hanya panganan sederhana ini yang bisa kami suguhkan. Maklum desa ini terpencil dan sepi.” "Kami sudah sering lewat kabuyutan ini, Nek," ucap Mahesa Barak yang merasa selalu ditatap. “Tapi malam ini memang tampak semakin sepi. Biasanya satu dua rumah ada yang masih jagongan di luar.”

"Ki Buyut sedang sakit ngger,” jawab orang tua itu. "Sudah hampir dua pekan ini tidak kelihatan mengelilingi kabuyutan. Biasanya tiga hari sekali berjalan ke dukuh-dukuh terkadang sampai ke tepi hutan"

"Sakit apa Ki Buyut?" hampir berbarengan Gesang Suci dan Mahesa Barak bertanya.

Namun jawabannya adalah cahaya kilat di luar dan suara dentuman petir disusul hujan turun dengan sangat derasnya. Suaranya kemeresak memukul genting-genting rumah.

"Maaf, ngger. Ki Tapa juga tidak bisa menemani kalian karena tiba-tiba sesaknya kambuh…"

"Sesak nafas?" tanya Gesang Suci. "Kakek sakit sesak nafas, Nek?" Perempuan tua itu mengangguk.

"Maaf boleh aku lihat? Barangkali bisa membantu," tanya Gesang Suci. "Biasanya disebabkan cuaca yang dingin.” Perempuan tua itu tidak menjawab. Digiringnya Gesang Suci memasuki rumah induk lewat pintu samping. Ketika anak muda itu sampai di depan pintu kamar tidur, dengan sudut matanya disambarnya sebuah anglo tempat membakar dupa yang masih mengepulkan asap tipis dan tersisa bau kemenyan di sudut ruangan. Sesaat dilihatnya ki Tapa duduk mengkis-mengkis di bibir amben. Sakit mengi-nya kambuh sehingga nafasnya tampak satu-satu dan sulit menarik udara untuk memenuhi kebutuhan paru-parunya.

"Kelihatannya mendadak sakit , Kek," berkata Gesang. "Padahal di luar rumah tadi masih tampak sehat." Ki Tapa tidak mampu menjawab. Hanya pandang matanya mengiyakan.

"Maaf bisa aku lihat suhu tubuh kakek?" tanya Gesang Suci minta ijin meraba dahinya. Lalu diamatinya nafas berat dan sulit melalui tenggorokannya.

"Coba kakek angkat tangan kanan tinggi melewati kepala sambil tarik nafas sebisa mungkin lalu lepaskan lewat mulut," ujar Gesang Suci. "Kemudian ganti angkat tangan kiri sambil tarik nafas sebisanya lalu lepaskan lewat mulut. Begitu bergantian." Beberapa saat Gesang Suci mengamati gerakan-gerakan yang sudah diajarkan . "Pelan-pelan saja kek," desisnya lirih.

Dengan beberapa ketukan di dada dan di punggung pada titik-titik tertentu membuat nafas Ki Tapa sedikit longgar. Sambil terus mencari titik meredian dan mengetuknya, Gesang Suci berujar, "Bau kemenyan yang tajam dan angin dingin menjelang turun hujan tadi sore, menjadi pemicunya kek."

Ki Tapa masih tidak menjawab. Nasehat anak muda itu dirasa benar sebab terkadang saat tubuhnya kedinginan masih harus mengadakan upacara membakar dupa tanpa pernah dipedulikan akibatnya. Kepada istrinya, Ki Tapa, Gesang Suci segera minta mematikan sisa asap tipis yang masih mengepul. Gesang Suci kemudian minta ijin kembali ke bilik mengambil ramuan obat dan selalu disimpan di ikat pinggangnya yang bersaku lebar seperti bentuk kantung berderet berisi banyak bawaan apa saja.

Kepada adik seperguruannya dia berkata, "Adimas agaknya engkau saat ini diberi peluang berbuat baik kepada sesama."

"Maksud Kakangmas?" tanya Mahesa Barak mengerutkan kening. Kakak seperguruannya itu mendadak tampak bermuka manis kepadanya. "Rupanya Sang Hyang Agung sengaja mengirim obat sangat bagus buat sakit mengi-nya Ki Tapa lewat tangan Adimas."

"Aku kurang faham, Kangmas," ujar Mahesa Barak. Dipandangnya pintu terbuka yang menuju ke rumah induk. Titik air hujan seperti beribu sungai kecil turun dari teritisan genting.

"Daging kalong ini sangat bagus buat orang sakit mengi,"jawab Gesang Suci tersenyum lebar. "Jadi berikan dua ekor hewan itu ke nenek biar dimasak buat obat suaminya."

Mahesa Barak mengerutkan kening. Mulutnya benar-benar cemberut. Dengan mata sayu sesaat dipandangnya wajah Gesang Suci. Gerutunya, "Jadi aku harus kembali untuk mencari hewan itu lagi?"

Gesang Suci masih tersenyum. Dia tahu adik seperguruannya sedang kesal. Dan hal itu sering mewarnai perjalanan bersama sekian bulan ini. Terkadang timbul tanda tanya di benaknya bahwa sering sifat-sifat kewanitaan tampak pada sikapnya .Tapi, karena sudah lama dianggap adiknya adalah seorang laki-laki perkasa bahkan putra Mahkota yang disebut Rakyan Hino dan mempunyai hak pertama untuk menggantikan kedudukan ayahandanya jika saatnya tiba.

"Jangan merajuk, Adimas, " ujar Gesang tertawa "Ya sudah aku minta maaf jika adimas tersinggung."

"Siapa yang tersinggung? "sahut Mahesa Barak menunduk. "Kangmas-lah yang sering tidak punya pendirian tetap."

Gesang Suci mengambil sepotong singkong rebus terasa masih hangat dan memasukkan kemulutnya. Jawabnya ," Sudah sudah, aku benar benar minta maaf."

Mahesa Barak menjulurkan lidahnya di belakang Gesang, ketika anak muda itu sedang membelakanginya. Tidak lama kemudian Gesang Suci mengajak Nenek Tapa ke bilik banjar untuk menyerahkan dua ekor kalong dan minta mengolah dagingnya tidak digoreng tetapi dimasak menggunakan kunir, daun salam, dan bumbu dapur lainnya.

"Itu obat mengi yang bagus nek," ujar Gesang Suci "Selain itu, nanti aku ramukan beberapa daun dari tanaman empon empon yang banyak berkasiat sebagai obat sesak nafas dan jika suatu hari kambuh lagi nenek bisa membuatnya sendiri."

Perempuan tua itu berulang kali mengucapkan terima kasih apalagi ketika diperhatikan suaminya tampak tidak menderita lagi.

"Untuk seterusnya, kakek harus jauh dari bau yang menyengat juga jauh dari debu dan hawa dingin" ujar Gesang Suci memijiti kaki orang tua itu.

Demikianlah mereka bercakap-cakap sambil menunggu nenek memasak daging kalong buat suaminya. Namun agaknya perempuan tua itu memasak cukup nasi buat kedua tamunya sehingga ketika masakan siap, diajaknya mereka makan.

Tapi ketika Gesang Suci berniat memanggil adiknya ternyata Mahesa Barak sudah tidur dan sama sekali dia tidak berani membangunkan. Hanya tampak tarikan nafas teratur tanda Mahesa Barak sudah tertidur. Terpaksa Gesang Suci menemani makan Ki Tapa dengan ceplok telur seperti sore tadi walau sekedarnya.

Di luar rumah hujan masih deras membuat malam bertambah dingin. Tampak Ki Tapa berulang kali menguap karena ramuan yang diminumkan memang mengandung obat tidur sehingga Gesang Sucipun berpamitan untuk istirahat. Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Ketika Gesang Suci mulai mengantuk dan kembali ke bilik banjar dilihatnya Mahesa Barak yang tidur pulas.

Tubuhnya melingkar kedinding dengan kedua tangan dipeluk kedinginan berselimut kain panjang merah.

Namun tiba-tiba anak muda itu berdesah dan tangan kirinya mengusir nyamuk-nyamuk yang sedang mengitari telinganya. Berulang-kali tangannya mengusir hewan yang sangat menjengkelkan dan membuatnya gatal itu.

Akhirnya, ia tidak tahan dan dengan geram, Mahesa Barak segera bangun dari pembaringan. Dilihatnya beberapa nyamuk masih berseliweran dan dengan keterampilan tinggi serta panca indra yang tajam, kedua tangan dengan jari-jari terpentang menyapit beberapa ekor nyamuk kiri dan kanan bergantian. Tentu saja nyamuk-nyamuk itu kalah cepat dan sesaat banyak korban pembunuhan hewan yang harus mati sia- sia. Lalu diperiksanya nyamuk-nyamuk yang mati tergencet itu kedekat matanya sambil menyeringai puas.

Namun, masih ada yang lepas dekat kakinya dua ekor lagi dan terbang lari ke atas blandar. Maka secepat kilat segera dikejarnya dua ekor nyamuk itu dengan lompatan tinggi tanpa suara sehingga akhirnya ruang itu bersih tanpa gangguan nyamuk seekorpun.

Gesang Suci hanya tertawa mengamati tingkah adik seperguruannya itu dan ketika dilihatnya Mahesa Barak siap-siap tidur lagi, maka sambil menirukan suara nyamuk, Gesang Suci menggoda dan berkata "Masih ada satu lagi ini, Adimas. "

Tanpa diduga Mahesa Barak menjawab, "Sama kangmas digoreng dicampur dengan ceplok telur saja."

Gesang Suci terperanjat.

Agaknya adimas masih marah- pikirnya agak cemas. Namun sambil tersenyum didekatinya adiknya di bibir amben sambil memegang tangannya. "Jadi adimas belum tidur ketika hendak aku ajak makan tadi?" bisiknya tersenyum.

"Ada yang datang ke bilik ini, tapi rasanya dalam mimpi. Apalagi tidak ada suara apa-apa hanya terdengar suara hujan," jawab Mahesa Barak. Jawaban itu membuat Gesang Suci termangu-mangu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status