Share

Bab 2

"Hari respati, malam sukro," desis Mahesa Barak sekali lagi sambil memandang pintu-pintu rumah sudah tertutup rapat-rapat.

Malam di mana konon roh para leluhur pulang menunggu doa dari sanak keluarga dan jika tidak ada satupun yang bangun untuk berdoa maka mereka akan bertangisan di kuburan. Namun juga malam di mana konon gendruwo, tetekan ,banaspati, kuntilanak sibuk bergentayangan mengganggu manusia yang kurang iman dan keyakinan.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah sampai di depan Gapura Banjar. Ada satu pelita kecil tergantung di tengah pintu gapura dan sedang bergoyang maju mundur mulai terdorong angin kencang menjelang hujan turun. Seorang laki-laki tua menyambut salam kedua anak muda itu dengan suara lunak ketika mereka sudah memasuki halaman banjar sambil menuntun kuda-kudanya.

Sejenak, penunggu banjar itu memandang pemuda pertama memakai pakaian panjang berwarna merah polos yang menutupi sebagian dadanya dengan di selempangkan layaknya seorang pendeta dengan rambut panjang dikuncir tinggi dan anak muda yang kedua cara berpakaian juga sama hanya warnanya putih polos.

"Kulo nuwun kek ," sekali lagi pemuda pertama mengulangi salamnya. "Sekiranya diijinkan, kami hendak bermalam di banjar ini semalam saja.”

"Monggo silahkan angger, "orang tua itu mengangguk ramah. "Kami warga dukuh punya kewajiban memberi tumpangan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan.”

"Cuaca sudah mendung dan titik-titik air-pun mulai terasa di kulit," ujar Gesang Suci "Kalau turun hujan pastilah beberapa pelancong berteduh di banjar ini ya kek?"

"Kebetulan di banjar ini belum ada orang yang berteduh. Anakmas berdualah yang kini menginap paling dulu." Kedua anak muda itu tersenyum senang.

"Terima kasih, "sahut Mahesa Barak. "Mudah-mudahan kami tidak terlalu merepotkan."

"Lalu di mana kandang kudanya, Kek?" tanya Gesang menyambung.

Orang tua itu menunjuk ke sisi banjar tempat kandang kuda sambil berkata, "Tempat pakiwan juga di sebelahnya. Tapi maaf kami tidak akan memberi suguhan makan.” Gesang Suci tertawa kecil. Dipandangnya penunggu banjar dengan penuh hormat. "Tidak menjadi masalah, Kek," jawabnya menyentuh tangan keriput itu. "Kami sudah sangat berterima kasih atas perkenan kakek. Hanya kalau kakek mempunyai persediaan rumput buat makan kuda-kuda kami biar aku beli."

"Banyak, Anakmas ," jawab orang tua itu. "Tadi siang kebetulan anak kami membantu menyabit rumput dua pikul dan daun turi buat makan kambing dan sapi ." Tidak lama sesudah mereka selesai mandi bergantian maka mereka tidak melupakan kewajibannya untuk menghadap kepada Sang Hyang Agung. Gesang Suci segera membuka bekal nasi dengan lauk goreng dadar jagung, ceplok telur dibungkus daun pisang dirangkap daun jati saat dibeli dari warung terakhir di Kabuyutan Pacet sore tadi. Dengan bekal itulah anak muda itu berbuka sesudah sehari berpuasa. Kebiasaan untuk berpuasa dengan cara sehari puasa sehari tidak ini sudah dijalani hampir setahun lebih dan terasa makin menyehatkan tubuhnya. Betul ajaran yang didapat dari guru ibundanya dari Persia itu.

Tidak berlebihan untuk tiap saat selalu menyangkutkan diri kepada pertolongan Sang Hyang Widhi.

Berbeda dengan cara Mahesa Barak berpuasa. Jika sedang mendalami laku ilmunya, sering 3 hari 3 malam puasa pati geni. Didahului dengan puasa ngrowot yaitu hanya boleh makan sebangsa sayuran dan buah-buahan, ketela, singkong, dan dilarang makan nasi selama 40 hari. Pada saat pati geni biasanya Mahesa Barak mengajak berhenti di suatu tempat dan setelah melatih ilmunya ditempat tersembunyi dan dirasa berhasil baik maka mereka melanjutkan perjalanannya.

Beberapa saat setelah cukup makan bekal yang selalu dibawanya dengan memisahkan buat adiknya Gesang Suci tertegun diam. Dilihatnya adik seperguruannya itu sedang menenteng dua ekor kalong besar hitam di tangannya dan kelihatannya sudah mati. Dengan heran Gesang Suci bertanya, "Dari mana kau memperoleh hewan-hewan itu adimas?"

Mahesa Barak tersenyum melihat kakak seperguruannya yang setiap saat selalu mengerutkan keningnya dalam-dalam apalagi jika sedang menahan rasa heran. "Ternyata kemampuanku dalam membidik semakin bisa diandalkan walau cuaca gelap, Kangmas, "jawab Mahesa Barak. "Daging hewan ini enak jika digoreng dengan sedikit garam."

Mendengar penjelasan itu Gesang Suci menggelengkan kepalanya. Sama sekali anak muda itu tidak menduga apa saja yang sudah dilakukan adik seperguruannya dalam perjalannya sore tadi. "Jadi, saat adimas turun dari kuda itu, adimas menyambitnya?" tanya Gesang Suci mengerutkan keningnya.

"Dengan batu kerikil?"

Mahesa Barak mengangguk. Sekali lagi sambil tersenyum dia bertanya, "Bukankah kalau kita menangkap hewan dan kemudian kita makan dagingnya tidak akan berdosa. Sama dengan jika kita menangkap ayam alas atau kijang di hutan asal matinya tidak sia-sia?"

Gesang Suci tidak menjawab dan termenung. Betul memang kata Mahesa Barak itu sebab setiap kali membunuh apapun kalau sia-sia maka tidak segan-segan Gesang Suci memberi nasehat yang dirasakan adik seperguruannya sebagai penyesalan. "Kenapa tidak menjawab kangmas? " tegur Mahesa Barak tertawa. "Bukankah yang aku katakan itu tidak salah?" Gesang Suci masih termangu-mangu.

Ditatapnya dua hewan dengan sayap yang sudah terpentang kaku itu.

"Sudahlah nanti aku masak yang enak dan buat kangmas bagiannya banyak asal kangmas menjawab," rayu Mahesa Barak. Mendadak ada rasa sesal melintas ketika melihat wajah Gesang Suci yang tampak gelap.

"Aku tidak ikut makan," sahut Gesang Suci lirih. "Lebih enak makan goreng pisang."

Mahesa Barak terdiam. Adatnya kalau kakak seperguruannya sudah berkata begitu berarti ada sesuatu yang tidak disetujuinya. "Kalau begitu biar aku makan sendiri, " kata Mahesa Barak menunduk. Kemudian seolah membela diri ia berdesis "Biar hewan itu tidak mati sia-sia". Sekali lagi Gesang Suci diam. Terbayang sekelompok kalong terbang bergerombol seumpama sekeluarga berniat mencari makan namun tiba-tiba dua ekor di antaranya tersambit tidak tahu dari mana bencana datang dan kemudian tersedot tenaga sakti sehingga melayang tanpa disadari sama sekali sebab tubuhnya sudah terluka parah dan hampir mati.

Seharusnya penyambitan sore tadi tidak dilakukan adiknya dengan sembunyi-sembunyi. Sehingga hal itu menunjukan belum ada keterbukaan di antara mereka yang membuatnya agak tersinggung sebab ia merasa ditelikung. Sesaat kemudian Gesang Suci bangkit berdiri dan beranjak menyentuh kedua tubuh hewan berwarna hitam kelam itu dengan mata sendu.

"Maafkan adikku, ya," desisnya perlahan. "Kasihan nasib kalian saat sedang mencari makan tiba-tiba harus berkorban kepada manusia. Semoga Sang Hyang Agung menerima kalian di alam sana”.

Mahesa Barak menggigit bibirnya. Setiap kali hal serupa selalu terulang lagi. Dirasakan kelembutan hati kakak seperguruannya sering berlebihan bahkan menurutnya itu suatu kerapuhan atau lebih jelasnya - suatu kelemahan. Dalam doapun di tengah malam terkadang dilihatnya kakaknya sedang menangis terisak. Begitu beratkah dosa dan kesalahan yang harus ditanggung manusia untuk bisa terus bertahan hidup?

Kakak seperguruannya itu menurutnya lemah. Banyak ragu dan kebimbangan jika hendak berbuat sesuatu. Apalagi setelah diamati dalam beberapa bulan ini tidak ada keinginannya untuk memperdalam ilmu yang pernah diajarkan oleh guru mereka Empu Sidik Paningal dari Bukit Buthak.

Kemampuan ilmu kesaktian Jaya Kawijayaan semakin jauh ditinggalkan sebab tampaknya kakaknya itu lebih senang mengumpulkan daun-daun, akar-akar, tanaman empon-empon yang berkasiat sebagai obat. Kecenderungan untuk menolong orang lain lebih besar dari pada harus membuat orang lain sakit.

Apapun alasannya, dia seolah tidak mempersoalkan.

Tiba-tiba saja pintu bilik banjar terbuka namun bersamaan terbukanya pintu itu di luar rumah tampak seberkas cahaya kilat menerangi gelap malam disusul suara petir mengejutkan mereka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status