Share

Bab 4

"Maaf kangmas aku mau meneruskan mimpi," sambung Mahesa Barak cepat-cepat dengan wajah cemberut . "Selamat malam "

Gesang Suci ingin menjawab bahwa tadi itu kasihan melihat adiknya sudah tidur dan apalagi tidak berani membangunkan.

Namun ketika dilihatnya Mahesa Barak sudah membelakanginya lagi sambil memeluk kedua tangannya seperti tadi, maka Gesang Suci hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Yang tidak diketahuinya adalah adiknya itu tersenyum simpul. Ternyata kakak seperguruannya itu masih menyimpan rasa segan kepadanya dan mereka masih saling menghormati. Juga makin saling mengasihi.

Hujan di luar terdengar mulai reda. Suara air yang sedang memukul genting semakin jarang namun angin yang masih berhembus rasanya bertambah dingin. Biasanya ada giliran ronda yang dimulai dari banjar. Entah karena mereka ketiduran atau kabuyutan yang aman tidak pernah terjadi tindak kejahatan sehingga dianggap tidak masalah jika lowong satu malam saja.

Namun tiba-tiba terdengar suara tangis bayi dari arah rumah Ki Buyut menyobek sisa suara hujan. Suara itu sangat memilukan dan terdengar sayup-sayup sampai. Gesang Suci meneguk habis wedang sere dingin di cangkirnya dan segera mempertajam indra telinganya.

"Dimas kau dengar suara tangis bayi?" desisnya lirih "Dimas tolong bangun sebentar. Kasihan sekali terdengarnya."

Mahesa Barak sebenarnya sudah dari sore mendengar tangisan bayi itu, meskipun suara hujan begitu deras. Perasaan iba ingin mencari di mana rumah orang tuanya. Karena itu diputuskan nanti sesudah reda baru niat itu dilaksanakan.

"Sudah dari sore Kangmas," jawab Mahesa Barak sedikit mengangkat kepala."Seperti nya bayi itu sakit. Kalau tidak, dia lapar."

Bagi sebagian tetangga tangisan bayi di tengah malam itu makin membuat mereka ketakutan. Apalagi ini malam sukro di mana konon kuntilanak mencari anak hilang entah siapa yang sedang mengasuhnya. Namun, bagi Gesang Suci, suara tangisan itu semakin mengiris kalbunya. Timbul kemarahan kepada orang tua bayi itu.

"Tidak becus mengasuh anak," geramnya mengepal tangan. "Di mana sih biyungnya?!"

Mendengar kemarahan Gesang Suci yang terus uring-uringan itu, maka dengan mata terpejam Mahesa Barak masih tersenyum, tapi sudah hilang niatnya untuk mencari rumah bayi itu, biar sekarang diwakili kakak seperguruannya. Dia sendiri ingin tidur tidak mau terganggu walau oleh nyamuk sekalipun.

"Dimas sebaiknya aku cari rumahnya, ya," geram Gesang Suci makin cemas. "Kebangeten orang tuanya itu."

Tanpa menunggu jawaban, anak muda itu kemudian melompat keluar pintu.

"Hati-hati, Kangmas ," seru Mahesa Barak entah masih mendengar atau tidak.

Tidak lama kemudian Gesang Suci sudah keluar dari halaman dan segera hilang di kegelapan malam. Diterobosnya gerimis dan titik-titik hujan yang rasanya sama sekali belum reda.

Sementara itu Mahesa Barak perlahan-mulai tertidur lagi bahkan semakin pulas. Benar-benar tidak mau terganggu sampai kokok ayam terdengar untuk yang terakhir kali. Namun, seluruh indra Mahesa Barak memang sudah terlatih sangat baik. Terbukti meskipun tidurnya pulas tapi seolah ada sinyal sedang menggetarkan jantungnya cukup kuat.

Perlahan seperti laku seorang prajurit yang memata-matai lawan. Awalnya perlahan tetapi seketika matanya terbuka lebar dan ingin meyakinkan adakah bahaya di sekelilingnya. Ternyata harus dibuktikan dulu. Dengan Aji Sapta Pangrungu maka ada dua sinyal suara masuk ke jaringan otaknya.

Pertama suara di arah kandang kuda. Dugaan kuat pasti ada seseorang yang sedang mengincar kuda-kuda milik mereka dan memang banyak orang selama perjalanan ingin membeli kuda-kuda itu atau bahkan merampasnya. Untuk keselamatan kuda-kuda itu Mahesa Barak berani menjamin bakal aman sebab untuk menghadapi penjahat kecil kedua kudanya sudah terlatih sekurang-sekurangnya sebelum kedatangannya untuk memberi bantuan lepas dari kejahatan.

Sinyal kedua agaknya lebih gawat sebab terdengar suara langkah-langkah kaki orang berjalan tergesa-gesa hampir berlari ke arah banjar. Sepintas teringat kakaknya yang belum pulang tapi langkah itu berat bukan langkah kakaknya apalagi terdengar gerak langkah kaki dua orang. Maka ditunggunya dua orang itu makin dekat ke banjar. Tidak lama terdengar ketukan di pintu rumah ki Tapa.

"Ki Tapa bangun ada Rajapati," terdengar suara lantang di depan pintu rumah penjaga banjar itu.

Mahesa Barak tertarik dengan berita itu dan segera bangkit mendekati pintu.

"Ki Tapa, bangun," sekali lagi suara itu bahkan berteriak membangunkan . "Ini Kecik dan Sima yang meronda."

Dan bersamaan dengan suara peronda itu berakhir tiba-tiba terdengar suara titir justru dari rumah Ki Buyut. Maka Kecik segera naik ke teras banjar dan memukul kentongan dengan nada titir pula. Tidak lama suara-suara serupa merambat cepat memenuhi Kabuyutan Claket.

Dan pagi itu semua penduduk Claket dibangunkan kentongan dengan nada titir.

Beberapa saat, pintu rumah Ki Tapa tampak terbuka lebar dan orang tua itu masih setengah sadar. Ketika didengar nada titir dan kemudian dilihat dua peronda berdiri didepan pintu rumahnya. Ramuan yang mengandung obat tidur dari Gesang Suci masih terasa memberati matanya tapi sesak nafasnya sudah terasa enteng dan sembuh.

"Ada apa ini?" tanya orang tua itu mengucek kedua matanya.

"Ki Buyut meninggal dunia," jawab Sima tergagap .

Ki Tapa terperanjat .

"Bukannya sudah dua pekan sakit...?" tanya Ki Tapa."Maksudku, kenapa kentongan ditabuh dengan nada titir?"

"Ini Raja Pati, Ki" Kecik mencoba untuk menjelaskan.

"Rajapati...?" Ki Tapa termangu-mangu.

"Kata Kakang Jamur Selodri meninggalnya di bikin orang," Sima menerangkan "Dan orangnya sudah tertangkap. Sekarang sedang disekap dalam penjagaan kami.”

Ki Tapa semakin tidak mengerti.

"Ki Buyut kan sudah dua pekan lebih sakitnya," Kecik ganti menjelaskan lagi. "Tapi sakitnya selama itu tidak wajar. Terbukti semalam betul-betul menderita sebelum akhirnya darah keluar tanpa luka di daerah jantung .”

"Dan pelakunya sekarang disekap?" tanya ki Tapa mulai menemukan kesadarannya.

"Betul, Ki, "jawab mereka berbareng.

"Sungguh biadab orang itu," ujar Sima bergidik. Sambil berbisik perlahan dia bertanya, "Tenung atau Santet?”

Mereka terdiam menimbang-nimbang.

"Tadi malam bayinya Nyi Sriti juga menangis tiada henti," Ujar Sima. "Benar-benar suasana seram dan mencekam."

Ki Tapa tidak menanggapi dan segera masuk ke dalam rumah untuk berpamitan kepada istrinya. Tanpa sadar sebilah keris pusakanya segera terselip di pinggangnya. Ketika menengok ke pintu banjar dilihatnya Mahesa Barak berdiri bersandar di pintu.

"Aku pergi kerumah kibuyut ngger," pamitnya.

"Hati-hati, Kek," jawab anak muda itu mengangguk hormat.

Ki Tapa kemudian bergegas melintasi halaman banjar diikuti Sima dan Kecik di belakangnya.

Sepeninggal ki Tapa dan kedua peronda itu, Mahesa Barak kemudian bergeser keluar banjar lewat pintu belakang dekat pakiwan. Lampu dekat kebun membantu penerangan ke arah tempat yang amat gelap di bawah pohon. Tapi bagi anak muda itu lebih menguntungkan berdiri di luar kandang sebab lebih leluasa untuk mengawasi keadaan seluruhnya.

Maka bagai kilat ketika tubuhnya berpindah dari tempatnya berdiri ke bawah pohon lainnya dekat dinding kandang kuda.

Pendengarannya yang tajam segera menyadari ada dua orang masih berjongkok di dekat pagar bambu dengan nafas tidak teratur.

"Aman sekarang," bisik salah seorang dari mereka. "Peronda-peronda itu sudah pergi bersama penghuni rumahnya."

"Ya. Kita bergerak sekarang,"jawab yang lain."Jangan lupa awasi jalan dan rumah seberang takutnya tiba-tiba ada orang yang datang."

"Aman kakang. Tampaknya orang lebih nyaman tidur di bawah selimut kain panjang apalagi sehabis hujan begini," bisik orang pertama. "Ada juga kuntilanak yang mau lewat"

"Jaga mulut kamu," desis orang kedua. "Kalau terus bicara justru aku cekik."

Ketegangan di antara mereka justru menunda gerak selanjutnya. Padahal perbuatan serupa sudah ratusan kali mereka lakukan tapi untuk sasaran kali ini begitu terbayang besar keuntungannya. Tidak lama Mahesa Barak melihat dua orang berjalan berjingkat dan terbongkok-bongkok justru di balik pohon waru di sampingnya.

Anak muda itu tersenyum dan dengan hati-hati menyentuh punggung orang kedua dengan jari telunjuknya.

Tanpa sadar di bawah ketegangannya orang itu menoleh kearahnya sambil menempel kan jari telunjuk di bibirnya.

"Ssstt," desisnya amat perlahan

"Ssstt," anak muda itu menirukan.

"Jangan rebut," orang itu berdesis lagi. "Tuh lihat kuda-kudanya. Besar dan tegar. Pasti harganya amat mahal," ucap salah seorang tersebut. Mahesa Barak hanya bisa manggut-manggut.

"Nanti kita bawa pergi jauh untuk menghilangkan jejak."

"Diam kau Gendon," bentak orang pertama. "Dari tadi ngomong terus. Dengan siapa kau bicara ?".

Barulah Gendon orang berperut besar itu terkejut dan sadar. Cepat dia menoleh ke belakang disambut oleh suara tertawa yang berderai.

"Kalian mempunyai siasat yang bagus," ujar Mahesa Barak bertolak pinggang. "Semua orang bergegas kerumah Ki Buyut sementara di sini kosong sehingga kalian leluasa mencuri dan merampok."

Mendengar tawa dan teguran yang tidak terduga kedua pencuri itu sangat terkejut.

Serentak keduanya meloncat dan berusaha mengepung Mahesa Barak di sebelah kiri dan sebelah kanan. Namun Mahesa Barak masih tersenyum-senyum dan berujar ,"Tapi nanti kalian akhirnya menyadari walaupun kuda-kuda itu tidak diikat tapi mustahil mampu kalian curi ".

"Siapa kau!?" bentak Demung teman Gendon melotot.

Tubuhnya gempal dan otot-ototnya menjelujur di pangkal leher sampai tangan. "Apa kau bosan hidup?"

"Aku yang punya kuda ini," jawab Mahesa Barak santai.

Lalu sambil tersenyum anak muda itu berkata "Kalian tidak akan bisa membawanya jauh sebab keduanya adalah jelmaan dua ekor naga yaitu naga laut kidul dan naga laut lor. Kemudian oleh Dewi Kwan Im, kuda-kuda itu dititipkan kepada kami. Tahu nama kedua kuda itu? Turangga Rekta dan Turangga Seta."

"Persetan dengan bualanmu itu!" bentak Demung hampir berteriak. "Aku sama sekali tidak percaya dongeng ngoyoworo itu."

"Baiklah baiklah, "sahut Mahesa Barak.

"Tapi jangan berteriak-teriak begitu. Kasihan nenek Tapa sendirian di rumah." Anak muda itu lalu bersiul dengan nada tertentu. Dipandangnya dua pencuri itu sambil masih tersenyum-senyum.

"Kalau kalian kurang percaya sekarang kita buktikan ya," katanya sungguh-sungguh. "Aku panggil kuda berwarna merah. Rekta, kemari, sayang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status