Share

Bab 5

Sesaat kemudian mulut Gendon ternganga dan kalau ada nyamuk memasuki mulut itu pasti tak disadarinya sebab kuda besar dan tegar berwarna merah sedang keluar sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Sekarang menari," ujar Mahesa Barak tersenyum kepada Turangga Rekta. Anehnya kuda itu lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya seperti sedang menari dan suaranya mbengingeh.

"Rekta," bisik Mahesa Barak kemudian mendekati kudanya. "Mereka hendak berbuat jahat ke kalian berdua. Coba beri sedikit pelajaran, ya.”

Mendengar perintah tuannya, tiba-tiba kuda itu berdiri dengan dua kaki dan meloncat di tempat tapi kaki belakangnya menyepak tulang kering Demung selagi berdiri di belakangnya. Demung terkejut tapi terlambat. Kaki kirinya seperti ditebas sepotong besi.

"Waduh! Modar aku," teriaknya sambil membungkuk kesakitan. Dan sekali lagi kuda itu menyepak wajahnya sehingga tubuhnya terpelanting roboh.

Demung-pun pingsan. Melihat Demung tidak bergerak maka Gendon yang berperut besar tapi berhati kecil kontan gemetar dan tegang. Keringat dingin deras membasahi punggung dan keningnya.

"Betul apa kataku bukan?" tegur Mahesa Barak tertawa renyah. "Sekarang giliranmu disepak kaki kuda"

"Ampun. Tobat" desah Gendon menyembah. Mukanya pucat tidak berdarah. "Aku tidak akan mengganggu kuda setan itu."

"Apa kau bilang?!" tegur Mahesa Barak mendadak marah. "Jadi kau siap disepak?!"

"Ampun, salah ngomong." Gendon makin ketakutan dan menampar mulutnya sendiri

"Kenapa aku punya mulut latah begini.”

Mahesa Barak tersenyum. Kemudian perintahnya,"Sekarang cari tampar di kandang dan ikat tangan temanmu. Cepat!”

Gendon beringsut masuk kekandang. Mata nya berkeliling mencari seutas tampar yang biasanya tersangkut di tiang atau terselip di dinding tidak jauh dengan pelana kuda.

Ketika langkahnya tepat di belakang kuda berwarna putih dan sama besarnya maka dengan penuh bimbang badannya bergeser perlahan-lahan. Jantungnya tercekat saat tiba-tiba kuda itu mengeluarkan suara mbengingeh.

“Kuda setan,” umpatnya. Diliriknya tubuh kuda yang satu ini juga tegar dan lebih menakutkan. Tiba-tiba kuda itu mengibaskan lehernya dan sekali lagi mengeluarkan suara mbengingeh.

Gendon bergidik.

"Tentu dia tahu isi hati," desisnya menduga -duga.

"Ambil tampar yang panjang ,"terdengar Mahesa Barak berseru."Dan jangan terlalu lama!"

Gendon segera menarik seutas tampar paling panjang dan kembali harus lewat belakang kuda putih.

“Untung tidak terjadi apa-apa,” desisnya menarik nafas lega. Beberapa saat setelah tangan Demung diikat ke belakang, anak muda itupun menyuruh duduk saling membelakangi. Kali ini sisa tampar ada sekitar dua depa dipergunakan untuk mengikat tangannya sendiri. Ketika kedua orang itu sudah terikat beradu punggung, Mahesa Barak menekan leher Gendon dan berdesis.

"Kaupun tidur dulu sampai siang nanti, ya."

Seketika Gendon hilang kesadarannya dan jatuh berbarengan dengan tubuh Demung. Mahesa Barak segera memasukkan Turangga Rekta ke kandang dan menambah rumput-rumput di depan kuda-kuda itu.

Tidak lama setelah merasa yakin pencuri-pencuri kecil itu tertahan di dalam kandang, Mahesa Barak kembali tidur. Perhitungannya kalau dua tawanan itu bangun pasti agak siang kalau tidak segera ditolong teman-temannya.

Demikianlah sementara itu, ketika cahaya fajar sudah membayang di langit sebelah timur rumah Ki Buyut Claket ramai dengan para pelayat yang berasal dari segala jurusan bergegas mendatangi rumah kepala daerah itu. Dengan melupakan kesibukan sehari-hari dan bahkan para pedagang membatalkan niatnya berjual beli di pasar dan para petani membatalkan pergi ke sawah.

Pagi itu sesudah mendengar kentongan dengan nada titir di seluruh kabuyutan dan mengetahui tentang meninggalnya Ki Buyut, maka mereka sudah berdatangan kerumah duka. Sesudah jenazah ditempatkan di pendapa, banyak orang menangis mengingat kebaikan dan tanggung jawab Ki Buyut yang begitu besar terhadap kehidupan seluruh warga Wanua yang dirasakan semakin sejahtera di atas tanah di kaki Gunung Welirang itu.

Kedatangan Ki Tapa, salah satu tokoh kabuyutan yang sering pendapatnya menjadi keputusan bersama, membawa harapan terkuaknya misteri kematian Ki Buyut dari keterangan simpang siur dan belum ada kepastian. Apalagi mengingat ki Buyut meninggalnya belum terlalu tua.

Tidak lama setelah kain penutup jenazah dibuka oleh ki Tapa tampak wajah Ki Buyut bersih seperti ikhlas meninggalkan dunia. Tidak ada tanda-tanda kematian tidak wajar dan misteri yang sempat beredar di kerabat kabuyutan serta orang-orang di sekelilingnya.

Tatapan orang-orang di sekitarnya serentak ikut bersama merubungnya menginginkan penjelasan dari mulut Ki Tapa. Ki Tapa akhirnya ikut pasrah dan tidak berkata apa-apa karena sebenarnya, Ki Tapa tidak mempunyai kemampuan untuk menafsirkan hal-hal ghoib.

Namun tiba-tiba ada salah seorang yang menarik lengan orang tua itu untuk diajak ke halaman samping.

"Ada yang perlu kami sampaikan kepadamu, Ki,"desis orang itu.

Ki Tapa memandang Jamur Selodri seorang paruh baya berbadan kekar dan berkumis lebat . Di kabuyutan itu dia dikenal sebagai salah satu pembantu Ki Buyut terdekat dan terpercaya. Hampir setiap urusan jika Ki Buyut berhalangan, bisa ditanyakan kepadanya.

"Kami sedang menahan seorang asing dan dicurigai sebagai penyebab kematian ki Buyut," bisik Jamur Selodri dekat di wajah Ki Tapa sehingga bau mulutnya menyebar.

"Maksudnya orang asing apa?" tanya Ki Tapa agak menjauhkan hidungnya.

"Orang itu bukan penduduk kabuyutan ini," Jamur Selodri memberi penjelasan. “Menjelang kematian ki Buyut, dia berada dekat sekali bahkan berani memegang tubuh Ki Buyut seolah-olah sedang memberikan pertolongan. Tentu saja aku sebagai orang kepercayaan Ki Buyut curiga dan menduga pasti orang itu telah berhasil membuat celaka .

Saat ini kami sekap dia di bilik belakang dan harus dijaga beberapa orang takut melepaskan diri sambil menunggu selesainya upacara pembakaran jenazah."

Mendengar penjelasan Jamur Selodri yang dengan penuh kebanggaan itu Ki Tapa sedikitpun tidak pernah menduga bahwa yang dimaksud orang asing itu adalah Gesang Suci, pemuda yang menjadi perantara penyembuh sakitnya, dan sedang menginap di banjar tadi malam.

Persoalannya menjadi bersungguh-sungguh ketika Ki Tambak Ambu, seorang terpandang karena kekayaannya, datang bergabung dan berkata lantang,"Misteri ini harus bisa diusut tuntas.

Aparat kabuyutan harus menemukan siapa pelaku kejahatannya. Dengan kematian ini, menurut keterangan istrinya masa sih ada darah keluar di daerah jantung tanpa ada luka. Aneh bukan?"

Mereka terdiam menimbang-nimbang.

"Kasihan istri Ki Buyut masih muda dan cantik," ujar orang kaya itu menelan ludah. "Kini sudah menjadi janda."

Ucapan Ki Tambak Ambu yang kurang mapan ini sontak membuat mereka termangu-mangu. Apalagi laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di kursi panjang di dekat mereka saling berbisik merasa kasihan.

"Juga pekan lalu saat malam sukro, lengan kiri dan kanan Ki Buyut mengeluarkan darah tapi tanpa luka. Seolah disiksa dulu sebelum dibunuh. Memang sih ki Buyut mempunyai banyak kekurangan tapi seharusnya kita bisa memaafkan."

Mendengar keterangan Ki Tambak Ambu yang seolah mengandung berbagai penafsian menjurus penyebaran ketidaksenangan ini, wajah Ki Tapa makin berkeringat. Tiba-tiba saja pagi berudara dingin itu rasanya menjadi panas oleh berbagai masalah.

Kabuyutan Claket yang kata orang tenang ini sebenarnya terbagi kebeberapa kelompok orang yang berbeda-beda kepentingan.

Sementara itu, sinar matahari sudah mulai naik mengeringkan pohon dan tanah basah sebab semalam diguyur hujan hampir semalaman. Beberapa kubangan air masih tersisa meskipun tidak lama kemudian terserap oleh bumi. Suara burung semakin ramai berebut bunyi paling keras di atas pohon tanjung di arah kepala masih belum berhenti.

Ki Tapa mengusap wajahnya yang berpeluh dan agak pucat dengan lengan kirinya. Dipandangnya beberapa orang masih saja berdatangan naik ke pendapa memanjatkan doa.

Orang tua itu kemudian ingin segera menjauh dari Ki Tambak Ambu dengan menarik lengan Jamur Selodri kembali naik ke pendapa. Desisnya, " Di mana kau menyekap orang asing itu "

"Di bilik paling belakang, Ki," jawab Jamur Selodri. "Sebaiknya bagaimana menurut ki Tapa?"

"Kita kumpulkan data dan fakta sambil menungggu Bapak Pendeta datang memimpin upacara," sahut Ki Tapa. "Sementara jangan mengambil kesimpulan apa-apa dulu apalagi mendengar ada orang menjelek-jelekkan seolah sengaja mengail di air keruh."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status