Share

SETELAH 17 TAHUN PERNIKAHAN
SETELAH 17 TAHUN PERNIKAHAN
Author: Silla Defaline

Bab 1

[Menantumu sakit, Bu Nur? Sayang sekali. Padahal aku suka cara dia bekerja. Terpaksa aku harus cari karyawan lain,]

Suara wanita di rekaman itu terdengar jelas.

[Iya, Amira sudah sebulan hanya bisa berbaring saja. Kedua kakinya lumpuh. Kata dokter gejala stroke ringan. Oleh karena ini aku sangat terpukul. Sedih sekali rasanya, sebab kasihan sekali melihat Habib, karena istrinya sakit begini, Habib harus mengurus dirinya sendiri.]

[Semoga Amira lekas sembuh, ya. Amiin.]

[Amira tidak akan sembuh, Bu Sarah. Dia terserang stroke. Tidak mungkin sembuh lagi. Oleh karena ini aku memilih untuk menyuruh Habib menghalalkan Laila. Aku dan Habib sudah bicara soal ini dan dia setuju. Selanjutnya aku akan membicarakan hal ini pada Amira]

"Ya Allah," Amira mengelus dada, lebih tepatnya ia terkesiap.

[Apa? Menikahi Laila maksudnya?]

[Apalagi kalau bukan? Itu bukan dosa, kenapa kau harus terkejut?]

[Bukan begitu, tapi bagaimana kalau Amira tidak mau bermadukan Laila? Rasanya itu terlalu cepat. Kasihan Amira.]

[Bu Sarah, Amira wanita yang sakit, sehingga tidak bisa menunaikan kewajibannya sebagai istri. Bukankah itu adalah salah satu alasan dihalalkannya poligami? Lalu apa salahnya? Anakku laki-laki, Bu Sarah. Ia membutuhkan wanita yang sehat. Bukan yang sakit. Kalaupun Amira menolak keputusan ini, maka kita sudah tahu jawabannya, wanita yang menolak poligami adalah kufur.]

"Astagaa!" Amira menahan sesak di dada. Ia matikan rekaman itu di ponsel Yoona. Sudah tak sanggup baginya untuk mendengar lebih lanjut.

"Darimana Yoona mendapatkan rekaman ini? Mengapa dia tidak cerita padaku?" batin Amira dengan linangan airmata.

"Begitukah nasib perempuan yang sakit? Jika sudah tidak berguna, dengan mudah akan diganti dengan yang lain? Ya Allah, kuatkan aku untuk ikhlas! Aku ikhlas dan itu harus!" Amira membatin.

Hati wanita itu tergores amat dalam. Bagaimana tidak, sudah dua minggu ia berbaring di rumah sakit ini, Tanpa didampingi suami. Sekarang tiba-tiba mendengar rekaman suara seperti itu. Amira sungguh tak siap dengan ujian bertubi-tubi ini.

Tapi inilah hidup. Kecewa dan sakit adalah takdir. Namun kehendak Tuhan pastilah yang terbaik.

***

"Na, tolong ambilkan ibu minum, Nak!" Suara Amira, istriku terdengar amat lirih. Perintahnya tertuju pada Yoona, putri semata wayang kami. Padahal aku berada lebih dekat dengannya.

"Biar aku yang ambil ya," kilahku.

"Tidak usah, Mas! Biar Yoona saja!"

Karena kedua kakinya terserang stroke sejak satu bulan lalu, wanita ini hanya mampu berbaring di pembaringan. Ia terlihat lemah dan rapuh.

Tatapan matanya pun kosong. Ia bersikap dingin padaku.

Hatiku bertanya-tanya ada apa dengan wanita ini? Apa dia marah denganku? Lalu apa salahku? Sejak tadi aku datang, dia seperti tak menggubris kehadiranku. Apa karena aku baru saja bisa menjenguknya hari ini? Padahal sebelumnya aku sudah memberitahunya bahwa aku akan keluar kota. Apa mesti harus marah atas suatu hal yang sudah ku beritahu? Terkadang aku capek menghadapinya.

"Mau makan?" Tanyaku berusaha ramah padanya.

Dia diam saja. Hanya kepalanya saja yang menggeleng. Wanita ini memang keras kepala. Sudah sakit, rewel pula.

Aku mendengkus. Sejak Amira sakit, aku begitu kerepotan. Tidak ada yang mengurus semua keperluanku. Jadi otomatis semua kuurus sendiri. Yoona sama sekali tak cekatan seperti ibunya. Alasannya dia ingin mengurus Amira, ibunya.

Diam-diam aku jadi sangat mempertimbangkan ucapan ibuku di beberapa waktu belakangan ini. Dan aku berpikir, memang aku membutuhkan itu.

Tapi aku bingung bagaimana caraku mengutarakan niat ini pada Amira. Aku tahu Amira wanita yang baik dan paham pasal hal itu. Tapi tetap saja. Aku sedikit agak kurang tega. Karena ketidakberdayaanku, aku sudah mendiskusikannya dengan ibuku. Mungkin saja ibu sudah terlebih dahulu bicara padanya.

"Amira," aku mendekat padanya.

"Ya," jawabnya datar.

"Apa ibu sudah bicara padamu?" aku memulai.

"Ya." Jawabnya singkat. Aku menatap langit-langit. Ooh, pantasan dia bersedih. Ternyata ibu sudah membicarakan perihal rencana itu. Sekarang aku tahu mengapa sikapnya berubah. Tak apa, tugasku sekarang adalah menghibur hatinya.

"Aku sangat mengharap supaya kamu cepat sembuh, Amira. Supaya kita bisa seperti biasanya lagi." Aku memulai.

Dia masih diam, tapi tak menatapku.

"Mira, kau dengar aku, kan?" Aku menatapnya.

"Ya, aku dengar, Mas."

Aku menarik nafas. Menyusun kata untuk ku ucap.

"Aku tahu mungkin saja ucapan ibu bisa melukaimu. Tapi aku tak bermaksud buruk padamu. Lagipula ibu berkata cukup sopan, bukan? Jadi kurasa itu tidak masalah."

Amira menatapku datar. Kuharap dia mencerna ucapanku dari sudut pandang positif.

"Selama ini kamu telah melayaniku sedemikian rupa. Sampai-sampai aku tak pernah merasa kurang suatu apapun."

Lagi-lagi aku menarik nafas.

"Kamu istri terbaik yang pernah kutemui. Kamu paham agama bahkan melebihi aku. Aku salut padamu. Tapi sayangnya sekarang keadaanmu tidak memungkinkan untuk menunaikan kewajiban itu."

"Maaf kalau sekarang aku tak bisa melayanimu seperti sebelumnya!" ujarnya memotong. Tapi suaranya teramat datar.

Aku menatapnya lebih lekat.

"Mir," kulembutkan suara.

"Ya,"

"Maafkan aku, Mir." Aku mendekat dan menggenggam tangannya.

"Sebelumnya aku minta maaf sekaligus mengucapkan terimakasih banyak padamu, Mira"

"Bicaralah terus terang! Jangan terlalu bersimpang siur. Nanti aku jadi tak mengerti apa yang sebenarnya ingin Mas katakan." Ia berkata.

"Baiklah,"

Aku terdiam beberapa saat. Menyiap kata agar tetap terkesan baik di telinganya. Dia wanita paham agama, bukan? Jika dia beriman pada tuhannya, tentu ia menerima niat ini.

"Kemarin pak haji Hasbullah datang ke rumah kita membawa serta Laila."

Kuperhatikan mimik wajahnya. Terlihat tenang, bahkan ketika aku menyebut nama Laila.

"Pak Haji Hasbullah, kau tahu dia Haji tersohor di pesantren Arrahmah, kan? Nah melihat keadaanmu sekarang, kemarin beliau datang bermaksud menghalalkan Laila untuk rumah tangga kita."

"Laila bisa membantu merawatmu dan membantu kita. Laila juga menjadi penghalang bagiku untuk menjaga pandanganku dari wanita lain. Dan jika Allah menghendaki, dari Laila kita bisa dikaruniai anak laki-laki yang sudah sejak lama kita idam-idamkan. Bukankah itu merupakan sebuah berkah yang patut disyukuri?" Ucapku.

Aku berkata sepelan mungkin. Ya Tuhaan, mengapa dia diam saja?

Kuharap ia mengerti kemana arah pembicaraanku.

"Sebelumnya maaf, Amira. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kau wanita hebat. Ladang pahala menunggumu. Berbaktilah pada Yang Maha Kuasa dengan keikhlasan. Allah tak melarang niatku ini. Bahkan Rasul menyunnahkannya. Iklhas dalam iman lebih hebat dibanding melawan kehendak Allah, Amira. Aku insyaallah sampai akhirat nanti meridhoimu. Kau bisa memilih pintu surga yang manapun kau suka."

Amirah diam. Hanya sesekali ia menarik nafas agak panjang. Aku kira ucapanku sudah sangat baik, kan? Tak ada yang menyinggung sama sekali. Tapi kenapa wanita ini masih diam? Kenapa dia terlihat tenang? Tidakkah ia marah?

Amirah memang wanita hebat. Terbukti ia tak membantah ucapan imamnya.

"Amira, tentu kamu masi ingat hadis ini, kan?"

"لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ

لِزَوْجِهَا

"Kalau aku (harus) memerintah seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, aku akan perintahkan perempuan untuk bersujud kepada suaminya."

"Aku yakin kau salah satu dari wanita sholehah itu."

Amira meraih air minum di sampingnya. Ia masih belum bicara juga. Ekspresi wajahnya tetap sama seperti tadi. Tak ada yang berbeda. Apa dia tak kaget dengan ucapanku? Mengapa ia tak melakukan sesuatu? Menangis misalnya.

"Mas, nikahilah Laila. Aku tidak mengapa." ucapnya.

Astaga! Apa katanya? Nikahilah Laila?

Aku tak menyangka ia akan berkata begitu. Terlebih lagi ucapannya sangatlah ringan. Semudah itu.

"Pikiranmu benar, Mas. Aku tak bisa melayanimu dalam keadaan sakit begini. Semoga Laila bisa menggantikan peranku."

Dia bilang pemikiranku, apa dia tahu apa yang aku pikirkan. Ah Ibu memang hebat. Dengan mendengar ucapan ibu, Amira bisa berlapang dada sehebat ini.

"Maafkan aku, Amira!"

"Tidak apa. Pulanglah, dan segeralah urus pernikahanmu dan Laila."

Aku terlonjak, bisa karena bahagia ataupun haru. Baru saja aku akan memeluknya, tiba-tiba Yoona datang dengan sorot mata tajam seakan ingin menyerangku.

"Tak usah sentuh ibuku!"

Ada apa dengan anak ini?

Aku sengaja mengabaikan sorot mata Yoona yang masih terlihat tak menyukaiku. Apa tadi dia mendengar ucapanku pada ibunya? Tak mungkin. Dia baru saja datang. Tapi medkipun benar itupun tak apa, anak itu tak masalah, anak itu bukan ancaman.. Memang apa yang bisa dia perbuat untuk melawan keputusanku?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status