Yoona meraih ponsel yang berdering di atas nakas. Melihat siapa yang menelpon, Yoona menjadi muak.
"Halo, ada apa, Oma?""Kenapa lama sekali angkat telpon?""Kami sibuk disini. Tidak sempat lihat handphone.""Oh ya? Hmm, di ruangan mana ibumu di rawat? Aku mau kesana."Mendengar ucapan itu, Yoona merasa janggal. Sebab selama sebulan ibunya sakit,tak sekalipun sang Oma datang membezuk. Sekarang tiba-tiba mau datang, pasti ada maksud.Seketika Yoona teringat bagaimana ucapan Omanya pada Bu Sarah beberapa hari yang lalu. Yoona mulai menerka-nerka maksud Oma-nya alias ibu dari ayahnya tersebut."Ada perlu apa Oma mau kemari?""Kenapa bertanya begitu? Ketus sekali caramu. Ini bukan urusanmu, aku hanya ingin bicara pada ibumu. Katakan di ruangan apa ibumu dirawat! Aku malas sibuk bertanya di sana nanti."Yoona menarik nafas agak panjang. Memang wanita paruh baya yang ia panggil oma tersebut telah merenggut habis rasa hormat Yoona. Semua disebabkan oleh sikap oma-nya itu sendiri yang dimata Yoona kurang etis.Yoona merasa sudah cukup selama ini Oma-nya tersebut membencinya, mencaci maki, dan membeda-bedakan sekaligus membanding-bandingkan Yoona dengan cucu-cucu yang lain.Jika hanya dia yang dihina, Yoona masih bisa bersabar. Tapi naasnya, si oma ini jika menghina, Amira juga diikutsertakan. Ini yang membuat Yoona geram."Yoona! Jawab aku!" Suara di benda pipih itu terdengar kasar."Baiklah, di ruang Raflesia nomor dua." Jawab Yoona.Yoona terpaksa berbohong, sebab sebenarnya Amira masih dirawat di ruang ICU. Yoona mempunyai ide lain untuk mencegah Sang Oma berbicara pada ibunya. Bagaimanapun Yoona tidak ingin ibunya semakin parah.***Bu Nurmala berjalan menuju ke ruangan Raflesia."Oma!" Seseorang mencegatnya."Yoona!""Oma, ibu tidak ada di ruangan, dia sedang CT-scan.""Dimana?""Maaf, ibu tidak bisa diganggu kata dokter.""Yoona, jangan menghalangiku! Ini penting sekali. Aku ingin dia tahu di awal. Aku tidak mau nanti orang-orang menyalahkan aku!""Ibu sedang sakit, Oma. Tolong jangan dulu bebani pikiran ibu sekarang!""Mengapa kau menghalangiku? Aku ingin bicara pada Amira! PENTING!""Seberapa penting, Oma? Soal apa? Ingin membicarakan jika Ayah akan menikahi Laila? Oma tidak perlu bicara! Ibuku sudah mengetahuinya, dan Beliau mengizinkannya. Jadi, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi!" Sambar Yoona.Kelihatannya Bu Nurmala agak terkejut, tapi sebentar kemudian ia tertawa."Ho hoo, baguslah kalau kau sudah mengetahuinya. Jadi sekarang, panggil Laila dengan sebutan "Ummi"! Ummi Laila. Dia calon ibumu!""Tidak! Aku tidak pernah punya calon ibu! Aku cuma punya satu ibu, dan dia adalah Amira, bukan Laila.""Yoona! Aku tetap akan menemui ibumu!" Suara Bu Nurmala merendah. Ia menatap Yoona tajam."Jangan memancingku, Oma! Kalian tidak pernah peduli ketika ibuku sakit. Jadi, kami juga tidak peduli jika Ayah akan menikahi Laila. Itu urusan kalian, bukan urusan kami. Urusan kami hanya satu, berusaha agar ibu sembuh! Itu saja!""Ibumu tidak akan pernah sembuh!""Oma bukan Tuhan! Ibuku pasti sembuh!"Dalam hatinya hati Yoona menangis membayangkan jika ibunya tak bisa bertahan hidup."Lihat saja nanti, kita bertaruh, ibumu akan sehat? Atau akan mati!""Jaga omonganmu, Oma! Oma sudah tua dan pasti tahu bagaimana cara bicara yang seharusnya. Oh ya, jika ibu sembuh, apa yang Oma inginkan? Memperbudaknya lagi? Tidak akan bisa!" cela Yoona."Siapa pula yang memperbudak ibumu?""Orang yang busuk hatinya memang tak akan pernah menyadari kesalahan." sambar Yoona."Benar dugaanku, bibirmu busuk, Yoona! Sepertinya kau bukan berasal dari benih putraku!""Ya, aku lebih suka jika aku bukan berasal dari benih anakmu!""Kurang ajar!" Bu Nurmala mengangkat tangannya tinggi-tinggi."Tolooooooong!" Yoona berteriak sekuat tenaga.Plakkk!Sebuah tamparan terlanjur mendarat.Dua satpam datang.Bu Nurmala kaget."Ada apa ini?" Tanya satpam menghampiri."Pak, ibu ini membuat keributan. Dia ingin mencelakai ibuku. Tolong amankan aku dan ibuku dari orang ini!" isak Yoona.Dua satpam itu membawa Bu Nurmala untuk di amankan. Demikian pula Yoona, anak itu harus ikut diamankan. Sebenarnya, sudah gatal tangan Yoona ingin membalas. Tapi ia tahu ia harus bersabar. Setidaknya Yoona bisa lega Bu Nurmala tidak mendapatkan kesempatan untuk bicara pada Amira."Tunggu balasanku nanti, Bu Nurmala! Satu tamparan akan kubalas dengan satu tamparan pula!" Batin Yoona menggeram.Salahkahh jika Yoona menyimpan dendam pada keluarga ayahnya?Habib"Mas, aku tidak apa-apa menjadi wanita pendampingmu, meski bukan yang pertama. Jujur aku rela demi agamaku."Kulihat Laila berkata dengan mata memandang ke kejauhan. Dari dulu aku tahu dia wanita baik. Tak heran jika cintaku padanya kian tumbuh."Iya, Dik Laila. Terkadang aku sangat capek dengan keadaan ini. Amira benar-benar tidak bisa menunaikan kewajibannya. Kuharap dia mengerti dengan keadaanku dan lekas menerimamu dengan ikhlas, sebagaimana dulu Aisyah R.A menerima Siti Zainab."Kucurahkan semuanya pada Laila. Di sisinya aku menemui kehangatan. Dengannya aku merasa lebih nyaman. Sedangkan Amira, wanita itu sangat tak bisa diharapkan lagi.Sikap Laila yang jauh lebih baik seolah menyihirku. Laila selalu ada ketika aku butuh kenyamanan. Ia selalu menemaniku jika aku merasa kesepian, dan bisa mendengar setiap keluh kesahku dengan segenap perhatian. Tak heran setiap aku merasa jenuh, sedangkan rumah terasa dingin, maka Laila lah satu-satunya wanita yang bisa memahami, menghib
"Mas, kalau kita benar-benar hidup bersama, bagaimana dengan istrimu, si Amira?" Dengan nada datar Laila bertanya.Hmm, aku sedikit gelagapan. Bukankah tadi Laila sudah bilang jika dia berkenan menjadi istriku? Mengapa sekarang malah bertanya tentang Amira? Apakah sebenarnya dia mengharapkan aku menceraikan Amira? Sebenarnya aku tak keberatan jika harus menceraikan wanita itu. Tapi yang aku takutkan adalah prosedurnya yang lama bisa menghambat prosesi pernikahanku dengan Laila nantinya."Aku sudah tak tahan hidup bersama dengan Amira, Dik Laila. Tapi untuk menceraikannya aku rasa itu butuh proses yang akan memakan waktu, sedangkan pernikahan kita tidak akan lama lagi, bukan? Aku tidak ingin semuanya tertunda hanya karena mengurus hal-hal yang tidak perlu.""Tapi kamu tidak perlu khawatir, kalau kamu menginginkannya aku bisa segera menceraikan Amira," ucap Habib."Jangan, Mas! Tolong jangan ceraikan dia sekarang! Dia istrimu yang sedang sakit. Aku tidak setuju apabila kamu menceraikan
Aku menyusuri ruang demi ruang, tibalah dimana ruangan Amira dirawat. Aku masuk, Laila di sampingku. Jilbab syar'i yang menutupi kepalanya menambah kesan sholehah pada dirinya. Ada semacam rasa bangga di dampingi wanita seperti ini.Tapi ketika aku masuk, di dalam sana tidak ada Amira. Kemana dia? "Bu, kemana pasien yang tadi dirawat di sini?" Aku bertanya kepada salah-satu pasien di sana."Bukannya Mbak Amira masih di ruangan ICU?" Jawabnya Ya Tuhaan. Aku lupa kalau istri tuaku itu kemarin di bawa ke ruang ICU."Oh iya, terimakasih, Bu." kataku. Ibu itu mengangguk.Aku kembali berjalan menyusuri koridor, mencari ruangan ICU.Tiba-tiba di ujung sana kulihat Yoona tengah duduk sendiri beralaskan tikar kecil. Didepannya tersaji sebungkus nasi. Nah, kan, nampak sekali keborosan ibunya menurun pada anak itu. Kalau dia mau berhemat, lebih baik dia masak sendiri daripada harus membeli nasi bungkus seperti itu. Itu lebih mahal tentunya.Tapi ya sudahlah. Yang namanya tabiat tentu tak akan
"Bu, ijab kabul akan dilangsungkan minggu depan. Bagaimana menurut ibu, apa Amira sebaiknya hadir di pernikahanku nanti?" Ujarku pada ibu."Tidak usah. Hadirnya dia akan memperkeruh keadaan. Aku tak ingin acara pernikahan kalian di rusak olehnya. Apalagi Yoona, anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat tidak sopan." Komentar ibu terhadap Yoona sangat aku benarkan. Yoona memang demikian adanya. Dia pembangkang, tidak punya sikap sopan sedikitpun. "Tidak ada jalan lain, Habib, sebaiknya kau ceraikan Amira! Dia hanya akan menjadi bebanmu dan Laila nantinya." "Menceraikan Amira?" Aku melirik ibu."Iya. Apa kau keberatan?""Tidak. Sangat tidak. Tapi Laila melarangku untuk menceraikan Amira." Jawabku.Ibu melihatku dengan heran."Melarang? Kenapa? Bukankah hidup kalian akan lebih tentram tanpa dihanggu oleh wanita strooke itu?" ucap itu."Itulah yang aku pikirkan, Bu. Tapi bagi Laila tidaklah demikian. Laila khawatir hidup Amira akan terbengkalai jika kuceraikan. Dia khawatir siapa yang
YoonaInginku bersujud lebih lama, agar Tuhan memberikan jawaban atas doaku, aku sangat mengharapkan Yang Kuasa memberikan keajaiban, yaitu kesembuhan ibuku tercinta.Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu yang menyayangiku. Aku punya ayah, tapi cintanya padaku sungguh tidak lebih besar daripada cintanya terhadap Laila, wanita yang sebentar lagi menjadi istri keduanya. Aku muak pada laki-laki yang kupanggil "Ayah";tersebut. Ketika ibu sakit, dia tak berpikir bagaimana caranya agar ibu bisa sembuh, malah ia menjadikan itu sebagai alasan agar bisa menikahi Laila. Aku benci ayahku.Aku menyeka Air mata yang jatuh. Untuk sekarang ini, tidak ada yang lebih aku harapkan selain dari kesembuhan ibu. Aku melepas mukena, melipat kembali, lalu menyimpannya di sisi ibuku. "Bu," aku menggenggam tangan ibu."Ya, Nak.""Yoona pergi menjual kue dulu ya, Bu. Pagi-pagi begini biasanya agak ramai. Do'akan semoga laris ya, Bu." Aku mencium kening ibu. Beliau mengangguk.Sebagai rutinitasku di pagi
Aku memasuki ruangan dimana ibu dirawat. Cepatlah sehat, Bu. Biar kita lalui hari-hari lebih berwarna. Aku yakin Tuhan akan mengakhiri semua ujian berat ini.Disana kulihat Pak Rangga tengah berbincang dengan Dokter Albert, dokter yang menangani penyakit ibu. Kenapa Pak Rangga bisa berada di sini? "Yoona, hari ini ibumu dipindahkan ke ruangan perawatan biasa." ucap dokter Albert memberitahuku."Iyakah, Dok?" Aku sumringah."Tentu saja."Aku senang bukan kepalang dengan kabar itu. Artinya ibu ada perkembangan yang lebih baik. "Kalau begitu, aku akan membantu membawa ibu ke ruang biasa." ujarku tak sabar."Tenang, Yoona. Ibumu sudah dipindahkan sejak tadi." ucap Pak Rangga."Iya, Yoona. Tadi Pak Rangga juga turut membantu." senyum Dokter Albert.Aku terenyuh. Ditengah-tengah kesendirianku dan ibu, ternyata masih ada yang peduli. Terimakasih Tuhaan, telah mengirimkan orang-orang baik untuk kami."Kalau begitu terimakasih banyak, Pak." Aku menatap keduanya."Sama-sama.""Anak hebat, j
Dokter Albert, dokter yang menurutku benar-benar fokus merawat ibu. Selalu saja ia rela terjun langsung melihat keadaan ibu. Tidak seperti dokter lain yang biasa menggunakan jasa perawat."Yoona, hari ini ruangan ibumu pindah ke lantai dua ya. Jangan khawatir, perawat disini akan membantu memindahkan ibumu. Tugasmu, temani dan terus kasih semangat buat ibumu! Anak baik, semoga ibumu lekas sembuh." Dokter Albert berucap sambil mengembangkan senyum.Tidak beberapa lama kemudian, tiga orang perawat masuk. Satu di antara mereka menyuruhku untuk segera berkemas. "Apa nanti kami tidak kembali ke ruang ini, suster?" tanyaku."Tidak, Dek. Makanya segera kemas semua barang.""Baik, Suster." Tidak bertanya lagi, segera kutaruh semua barang ke dalam koper.Aku menuruti langkah kaki para perawat yang sedang membawa ibuku. Ibuku hanya diam dan terlihat seperti belum mampu bicara. Tadi ibu sempat pingsan kata dokter.Hingga para perawat itu berbelok ke sebuah ruangan yang lumayan besar, bersih, d
AmiraKupandangi punggung Yoona dengan rasa iba. Sebagai anak seusia kelas 2 SMA, anak itu terlalu dini untuk bisa mengurusku sejauh ini. Bahkan dia tak segan-segan menjual kue hanya untuk mencukupi keuangan kami. Aku merasakan jika Yoona memang mengharapkan kesembuhanku. Yoona, dia adalah alasan mengapa aku harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Aku harus sembuh dari penyakit ini. Aku harus memperjuangkan putri semata wayangku itu.Sebelumnya aku hampir saja berputus asa menghadapi kenyataan yang pahit ini. Aku pun tidak mengerti mengapa aku harus jatuh sakit di tengah-tengah himpitan ekonomi yang sedang tak baik. Boleh dikatakan Aku tak punya banyak tabungan untuk bisa kupakai berobat. Masalahnya tidak hanya sampai di sini, ketika aku berjuang untuk sembuh, justru mas habib suamiku sibuk dengan Laila. Wanita yang sejak dulu memang sering ia puji-puji. Bahkan tindakan mas habib didukung pula oleh ibunya. Dua ujian ini seolah menyergapku pada masa titik terendah. Membuatku tidak p