"Amira, bulan ini aku bisa kasih uang tiga ratus ribu. Semoga bisa cukup untuk peganganmu dan Yoona di sini kalau ada kebutuhan mendadak. Untuk makan kurasa tidak ada kendala, rumah sakit selalu menyiapkan makan tiga kali sehari untuk pasien." ucapku sembari mengeluarkan tiga lembar uang merah di depan Amira.
"Taruh saja di sana atau serahkan pada Yoona. Atau jika kau lebih membutuhkan, kau boleh menyimpannya lagi."Aku mendengkus. Terkadang perempuan susah sekali untuk dimengerti."Apa kau tidak ingin menerima uang ini? Apa kau anggap ini kurang? Atau kau ingin lebih banyak? Jangan begitu, Amira! Syukuri apa yang ada. Hargai pemberian suamimu!" ujarku.Wanita itu melihatku."Sudah kubilang, letakkan saja di sana, atau berikan pada Yoona. Dia yang mengurus segala sesuatunya. Tolong jangan terlalu menekanku! Kepalaku pusing dan kau membuat keadaanku semakin buruk. Keluarlah dan urus segera pernikahanmu dan Laila." ucapnya."Apa kau cemburu pada Laila? Apa kau tak rela aku menikahinya?""Ya Rabb, aku ikhlas kau bersama Laila, mengapa masih bertanya? Sudahlah ... Aku ...,"Kulihat Amira kesusahan bicara. Mungkin dia menahan sesak karena cemburu."Amira, meski nanti aku sudah memiliki Laila, statusmu masih istriku. Semua tak ada yang berubah."Amira tak lagi menanggapi. Hanya kulihat dia gelisah. Cemburu memang membuat kondisi orang berubah. Bahkan sekarang ia tak mau bicara lagi."Assalamualaikum, Bu!" Terdengar suara Yoona. Anak itu muncul dari balik pintu dengan sebuah plastik kresek hitam menggantung dalam tentengannya. Anak itu tak menyapaku, justru ia terlihat kaget dengan keberadaanku. Lalu ia abai pada ayahnya, keterlaluan. Inikah ajaran Amira pada anaknya?Yoona masuk dan memusatkan perhatiannya pada Amira."Ibu? Ibu?" Anak itu meraba-raba kening ibunya.Amira masih diam tapi nampak gelisah. Di depan Yoona pintar sekali drama perempuan itu."Sebentar, Bu. Aku panggilkan perawat." Yoona berlari keluar ruangan.Huuh, mengapa dia tak menyapaku terlebih dahulu? Mengapa tidak menyalimiku dan mencium punggung tangan ayahnya ini? Dari umur segini sudah nampak benar sifat keras ibunya menurun padanya.Tidak lama kemudian Yoona datang bersama dua perawat dan seorang pria dengan pakaian putihnya.Mereka memeriksa keadaan Amira. Dokter itu nampak kaget."Cepat, bawa ibu ini ke ruangan ICU segera!" perintahnya dengan suara tegas."Baik, dok!" Dua perawat itu juga nampak siap dan segera bergegas sesuai perintah."Aku bengong disana. Sementara Amira telah di bawa oleh mereka. Mungkin ke ruangan ICU.Sebentar kemudian Yoona kembali masuk.Tiba-tiba anak itu menarik tanganku kuat ke luar ruangan. Aneh sekali. Ia tak memperlakukan aku seperti ayahnya? Mana sikap sopan santunnya?"Ayah, apa yang ayah lakukan pada ibuku?" Matanya menatapku tajam sekali."Tidak, aku tidak melakukan apapun pada ibumu. Sebaiknya jaga mulutmu! Dan sopanlah pada ...,""Bohong! Ayah, kalau datang hanya untuk membuat keadaan ibu semakin parah, sebaiknya ayah tidak usah datang kemari. Atau jangan-jangan ayah ingin mengatakan perihal Laila? Tolong jangan katakan! Ayah jangan pernah mengatakan itu pada Ibu sekarang!"Haaah? Dia sudah tahu perihal Laila? Bagus!"Kalian tidak mau menerima Laila? Egois sekali kalian!""Ayah bisa memikirkan siapa yang egois di sini!""Diam, Yoona!"Aku benar-benar emosi."Cukup, Ayah! Lebih baik ayah pulang sekarang!""Aku ayahmu! Aku berhak datang kemari dan menengok ibumu!""Ya, tapi kedatangan ayah tidak ada gunanya!"Plakk!Sebuah tamparan mendarat di pipi remaja itu."Terimakasih sudah menamparku!"Yoona memegang pipinya. Ada rasa menyesal karena aku sudah menamparnya. Tapi ia pantas mendapatkannya. Siapa suruh jadi anak pembangkang."Ingat, Yah, jangan datang lagi kalau hanya ingin membahas masalah pernikahan Ayah dan Laila."Lihat, dia memanggil Laila dengan sebutan nama. Padahal dia bisa menyebut Laila dengan panggilan tante, atau Ummi, kan? Sangat tidak sopan di telingaku. Tentu ajaran Amira yang membentuk jiwa anak ini demikian keras. Tidak bisakah ia mendidik Yoona lebih baik!Baiklah, aku akan pulang sekarang. Bertemu mereka hanya menambah masalah. Padahal sudah bagus aku masih mau meluangkan waktu untuk melihat keadaan mereka di sini. Itu tandanya aku masih mau mempertanggungjawabkan ibunya meski ibunya sudah tak lagi bisa menjalankan kewajibannya.Sikap keras Amira sangat berbanding terbalik dengan jiwa lemah lembut dan keibuan yang melekat pada diri Laila. Ah, seketika aku teringat pada keanggunan Laila.Pada saatnya nanti aku akan mengambil Yoona untuk hidup bersamaku dan Laila saja. Supaya anak itu belajar pada Laila bagaimana seharusnya cara bersikap.Yoona meraih ponsel yang berdering di atas nakas. Melihat siapa yang menelpon, Yoona menjadi muak."Halo, ada apa, Oma?""Kenapa lama sekali angkat telpon?""Kami sibuk disini. Tidak sempat lihat handphone.""Oh ya? Hmm, di ruangan mana ibumu di rawat? Aku mau kesana."Mendengar ucapan itu, Yoona merasa janggal. Sebab selama sebulan ibunya sakit,tak sekalipun sang Oma datang membezuk. Sekarang tiba-tiba mau datang, pasti ada maksud. Seketika Yoona teringat bagaimana ucapan Omanya pada Bu Sarah beberapa hari yang lalu. Yoona mulai menerka-nerka maksud Oma-nya alias ibu dari ayahnya tersebut."Ada perlu apa Oma mau kemari?""Kenapa bertanya begitu? Ketus sekali caramu. Ini bukan urusanmu, aku hanya ingin bicara pada ibumu. Katakan di ruangan apa ibumu dirawat! Aku malas sibuk bertanya di sana nanti." Yoona menarik nafas agak panjang. Memang wanita paruh baya yang ia panggil oma tersebut telah merenggut habis rasa hormat Yoona. Semua disebabkan oleh sikap oma-nya itu sendiri yang dimat
Habib"Mas, aku tidak apa-apa menjadi wanita pendampingmu, meski bukan yang pertama. Jujur aku rela demi agamaku."Kulihat Laila berkata dengan mata memandang ke kejauhan. Dari dulu aku tahu dia wanita baik. Tak heran jika cintaku padanya kian tumbuh."Iya, Dik Laila. Terkadang aku sangat capek dengan keadaan ini. Amira benar-benar tidak bisa menunaikan kewajibannya. Kuharap dia mengerti dengan keadaanku dan lekas menerimamu dengan ikhlas, sebagaimana dulu Aisyah R.A menerima Siti Zainab."Kucurahkan semuanya pada Laila. Di sisinya aku menemui kehangatan. Dengannya aku merasa lebih nyaman. Sedangkan Amira, wanita itu sangat tak bisa diharapkan lagi.Sikap Laila yang jauh lebih baik seolah menyihirku. Laila selalu ada ketika aku butuh kenyamanan. Ia selalu menemaniku jika aku merasa kesepian, dan bisa mendengar setiap keluh kesahku dengan segenap perhatian. Tak heran setiap aku merasa jenuh, sedangkan rumah terasa dingin, maka Laila lah satu-satunya wanita yang bisa memahami, menghib
"Mas, kalau kita benar-benar hidup bersama, bagaimana dengan istrimu, si Amira?" Dengan nada datar Laila bertanya.Hmm, aku sedikit gelagapan. Bukankah tadi Laila sudah bilang jika dia berkenan menjadi istriku? Mengapa sekarang malah bertanya tentang Amira? Apakah sebenarnya dia mengharapkan aku menceraikan Amira? Sebenarnya aku tak keberatan jika harus menceraikan wanita itu. Tapi yang aku takutkan adalah prosedurnya yang lama bisa menghambat prosesi pernikahanku dengan Laila nantinya."Aku sudah tak tahan hidup bersama dengan Amira, Dik Laila. Tapi untuk menceraikannya aku rasa itu butuh proses yang akan memakan waktu, sedangkan pernikahan kita tidak akan lama lagi, bukan? Aku tidak ingin semuanya tertunda hanya karena mengurus hal-hal yang tidak perlu.""Tapi kamu tidak perlu khawatir, kalau kamu menginginkannya aku bisa segera menceraikan Amira," ucap Habib."Jangan, Mas! Tolong jangan ceraikan dia sekarang! Dia istrimu yang sedang sakit. Aku tidak setuju apabila kamu menceraikan
Aku menyusuri ruang demi ruang, tibalah dimana ruangan Amira dirawat. Aku masuk, Laila di sampingku. Jilbab syar'i yang menutupi kepalanya menambah kesan sholehah pada dirinya. Ada semacam rasa bangga di dampingi wanita seperti ini.Tapi ketika aku masuk, di dalam sana tidak ada Amira. Kemana dia? "Bu, kemana pasien yang tadi dirawat di sini?" Aku bertanya kepada salah-satu pasien di sana."Bukannya Mbak Amira masih di ruangan ICU?" Jawabnya Ya Tuhaan. Aku lupa kalau istri tuaku itu kemarin di bawa ke ruang ICU."Oh iya, terimakasih, Bu." kataku. Ibu itu mengangguk.Aku kembali berjalan menyusuri koridor, mencari ruangan ICU.Tiba-tiba di ujung sana kulihat Yoona tengah duduk sendiri beralaskan tikar kecil. Didepannya tersaji sebungkus nasi. Nah, kan, nampak sekali keborosan ibunya menurun pada anak itu. Kalau dia mau berhemat, lebih baik dia masak sendiri daripada harus membeli nasi bungkus seperti itu. Itu lebih mahal tentunya.Tapi ya sudahlah. Yang namanya tabiat tentu tak akan
"Bu, ijab kabul akan dilangsungkan minggu depan. Bagaimana menurut ibu, apa Amira sebaiknya hadir di pernikahanku nanti?" Ujarku pada ibu."Tidak usah. Hadirnya dia akan memperkeruh keadaan. Aku tak ingin acara pernikahan kalian di rusak olehnya. Apalagi Yoona, anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat tidak sopan." Komentar ibu terhadap Yoona sangat aku benarkan. Yoona memang demikian adanya. Dia pembangkang, tidak punya sikap sopan sedikitpun. "Tidak ada jalan lain, Habib, sebaiknya kau ceraikan Amira! Dia hanya akan menjadi bebanmu dan Laila nantinya." "Menceraikan Amira?" Aku melirik ibu."Iya. Apa kau keberatan?""Tidak. Sangat tidak. Tapi Laila melarangku untuk menceraikan Amira." Jawabku.Ibu melihatku dengan heran."Melarang? Kenapa? Bukankah hidup kalian akan lebih tentram tanpa dihanggu oleh wanita strooke itu?" ucap itu."Itulah yang aku pikirkan, Bu. Tapi bagi Laila tidaklah demikian. Laila khawatir hidup Amira akan terbengkalai jika kuceraikan. Dia khawatir siapa yang
YoonaInginku bersujud lebih lama, agar Tuhan memberikan jawaban atas doaku, aku sangat mengharapkan Yang Kuasa memberikan keajaiban, yaitu kesembuhan ibuku tercinta.Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu yang menyayangiku. Aku punya ayah, tapi cintanya padaku sungguh tidak lebih besar daripada cintanya terhadap Laila, wanita yang sebentar lagi menjadi istri keduanya. Aku muak pada laki-laki yang kupanggil "Ayah";tersebut. Ketika ibu sakit, dia tak berpikir bagaimana caranya agar ibu bisa sembuh, malah ia menjadikan itu sebagai alasan agar bisa menikahi Laila. Aku benci ayahku.Aku menyeka Air mata yang jatuh. Untuk sekarang ini, tidak ada yang lebih aku harapkan selain dari kesembuhan ibu. Aku melepas mukena, melipat kembali, lalu menyimpannya di sisi ibuku. "Bu," aku menggenggam tangan ibu."Ya, Nak.""Yoona pergi menjual kue dulu ya, Bu. Pagi-pagi begini biasanya agak ramai. Do'akan semoga laris ya, Bu." Aku mencium kening ibu. Beliau mengangguk.Sebagai rutinitasku di pagi
Aku memasuki ruangan dimana ibu dirawat. Cepatlah sehat, Bu. Biar kita lalui hari-hari lebih berwarna. Aku yakin Tuhan akan mengakhiri semua ujian berat ini.Disana kulihat Pak Rangga tengah berbincang dengan Dokter Albert, dokter yang menangani penyakit ibu. Kenapa Pak Rangga bisa berada di sini? "Yoona, hari ini ibumu dipindahkan ke ruangan perawatan biasa." ucap dokter Albert memberitahuku."Iyakah, Dok?" Aku sumringah."Tentu saja."Aku senang bukan kepalang dengan kabar itu. Artinya ibu ada perkembangan yang lebih baik. "Kalau begitu, aku akan membantu membawa ibu ke ruang biasa." ujarku tak sabar."Tenang, Yoona. Ibumu sudah dipindahkan sejak tadi." ucap Pak Rangga."Iya, Yoona. Tadi Pak Rangga juga turut membantu." senyum Dokter Albert.Aku terenyuh. Ditengah-tengah kesendirianku dan ibu, ternyata masih ada yang peduli. Terimakasih Tuhaan, telah mengirimkan orang-orang baik untuk kami."Kalau begitu terimakasih banyak, Pak." Aku menatap keduanya."Sama-sama.""Anak hebat, j
Dokter Albert, dokter yang menurutku benar-benar fokus merawat ibu. Selalu saja ia rela terjun langsung melihat keadaan ibu. Tidak seperti dokter lain yang biasa menggunakan jasa perawat."Yoona, hari ini ruangan ibumu pindah ke lantai dua ya. Jangan khawatir, perawat disini akan membantu memindahkan ibumu. Tugasmu, temani dan terus kasih semangat buat ibumu! Anak baik, semoga ibumu lekas sembuh." Dokter Albert berucap sambil mengembangkan senyum.Tidak beberapa lama kemudian, tiga orang perawat masuk. Satu di antara mereka menyuruhku untuk segera berkemas. "Apa nanti kami tidak kembali ke ruang ini, suster?" tanyaku."Tidak, Dek. Makanya segera kemas semua barang.""Baik, Suster." Tidak bertanya lagi, segera kutaruh semua barang ke dalam koper.Aku menuruti langkah kaki para perawat yang sedang membawa ibuku. Ibuku hanya diam dan terlihat seperti belum mampu bicara. Tadi ibu sempat pingsan kata dokter.Hingga para perawat itu berbelok ke sebuah ruangan yang lumayan besar, bersih, d