Share

Bab 2

"Amira, bulan ini aku bisa kasih uang tiga ratus ribu. Semoga bisa cukup untuk peganganmu dan Yoona di sini kalau ada kebutuhan mendadak. Untuk makan kurasa tidak ada kendala, rumah sakit selalu menyiapkan makan tiga kali sehari untuk pasien." ucapku sembari mengeluarkan tiga lembar uang merah di depan Amira.

"Taruh saja di sana atau serahkan pada Yoona. Atau jika kau lebih membutuhkan, kau boleh menyimpannya lagi."

Aku mendengkus. Terkadang perempuan susah sekali untuk dimengerti.

"Apa kau tidak ingin menerima uang ini? Apa kau anggap ini kurang? Atau kau ingin lebih banyak? Jangan begitu, Amira! Syukuri apa yang ada. Hargai pemberian suamimu!" ujarku.

Wanita itu melihatku.

"Sudah kubilang, letakkan saja di sana, atau berikan pada Yoona. Dia yang mengurus segala sesuatunya. Tolong jangan terlalu menekanku! Kepalaku pusing dan kau membuat keadaanku semakin buruk. Keluarlah dan urus segera pernikahanmu dan Laila." ucapnya.

"Apa kau cemburu pada Laila? Apa kau tak rela aku menikahinya?"

"Ya Rabb, aku ikhlas kau bersama Laila, mengapa masih bertanya? Sudahlah ... Aku ...,"

Kulihat Amira kesusahan bicara. Mungkin dia menahan sesak karena cemburu.

"Amira, meski nanti aku sudah memiliki Laila, statusmu masih istriku. Semua tak ada yang berubah."

Amira tak lagi menanggapi. Hanya kulihat dia gelisah. Cemburu memang membuat kondisi orang berubah. Bahkan sekarang ia tak mau bicara lagi.

"Assalamualaikum, Bu!" Terdengar suara Yoona. Anak itu muncul dari balik pintu dengan sebuah plastik kresek hitam menggantung dalam tentengannya. Anak itu tak menyapaku, justru ia terlihat kaget dengan keberadaanku. Lalu ia abai pada ayahnya, keterlaluan. Inikah ajaran Amira pada anaknya?

Yoona masuk dan memusatkan perhatiannya pada Amira.

"Ibu? Ibu?" Anak itu meraba-raba kening ibunya.

Amira masih diam tapi nampak gelisah. Di depan Yoona pintar sekali drama perempuan itu.

"Sebentar, Bu. Aku panggilkan perawat." Yoona berlari keluar ruangan.

Huuh, mengapa dia tak menyapaku terlebih dahulu? Mengapa tidak menyalimiku dan mencium punggung tangan ayahnya ini? Dari umur segini sudah nampak benar sifat keras ibunya menurun padanya.

Tidak lama kemudian Yoona datang bersama dua perawat dan seorang pria dengan pakaian putihnya.

Mereka memeriksa keadaan Amira. Dokter itu nampak kaget.

"Cepat, bawa ibu ini ke ruangan ICU segera!" perintahnya dengan suara tegas.

"Baik, dok!" Dua perawat itu juga nampak siap dan segera bergegas sesuai perintah."

Aku bengong disana. Sementara Amira telah di bawa oleh mereka. Mungkin ke ruangan ICU.

Sebentar kemudian Yoona kembali masuk.

Tiba-tiba anak itu menarik tanganku kuat ke luar ruangan. Aneh sekali. Ia tak memperlakukan aku seperti ayahnya? Mana sikap sopan santunnya?

"Ayah, apa yang ayah lakukan pada ibuku?" Matanya menatapku tajam sekali.

"Tidak, aku tidak melakukan apapun pada ibumu. Sebaiknya jaga mulutmu! Dan sopanlah pada ...,"

"Bohong! Ayah, kalau datang hanya untuk membuat keadaan ibu semakin parah, sebaiknya ayah tidak usah datang kemari. Atau jangan-jangan ayah ingin mengatakan perihal Laila? Tolong jangan katakan! Ayah jangan pernah mengatakan itu pada Ibu sekarang!"

Haaah? Dia sudah tahu perihal Laila? Bagus!

"Kalian tidak mau menerima Laila? Egois sekali kalian!"

"Ayah bisa memikirkan siapa yang egois di sini!"

"Diam, Yoona!"

Aku benar-benar emosi.

"Cukup, Ayah! Lebih baik ayah pulang sekarang!"

"Aku ayahmu! Aku berhak datang kemari dan menengok ibumu!"

"Ya, tapi kedatangan ayah tidak ada gunanya!"

Plakk!

Sebuah tamparan mendarat di pipi remaja itu.

"Terimakasih sudah menamparku!"

Yoona memegang pipinya. Ada rasa menyesal karena aku sudah menamparnya. Tapi ia pantas mendapatkannya. Siapa suruh jadi anak pembangkang.

"Ingat, Yah, jangan datang lagi kalau hanya ingin membahas masalah pernikahan Ayah dan Laila."

Lihat, dia memanggil Laila dengan sebutan nama. Padahal dia bisa menyebut Laila dengan panggilan tante, atau Ummi, kan? Sangat tidak sopan di telingaku. Tentu ajaran Amira yang membentuk jiwa anak ini demikian keras. Tidak bisakah ia mendidik Yoona lebih baik!

Baiklah, aku akan pulang sekarang. Bertemu mereka hanya menambah masalah. Padahal sudah bagus aku masih mau meluangkan waktu untuk melihat keadaan mereka di sini. Itu tandanya aku masih mau mempertanggungjawabkan ibunya meski ibunya sudah tak lagi bisa menjalankan kewajibannya.

Sikap keras Amira sangat berbanding terbalik dengan jiwa lemah lembut dan keibuan yang melekat pada diri Laila. Ah, seketika aku teringat pada keanggunan Laila.

Pada saatnya nanti aku akan mengambil Yoona untuk hidup bersamaku dan Laila saja. Supaya anak itu belajar pada Laila bagaimana seharusnya cara bersikap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status