Share

Bab 4

Habib

"Mas, aku tidak apa-apa menjadi wanita pendampingmu, meski bukan yang pertama. Jujur aku rela demi agamaku."

Kulihat Laila berkata dengan mata memandang ke kejauhan. Dari dulu aku tahu dia wanita baik. Tak heran jika cintaku padanya kian tumbuh.

"Iya, Dik Laila. Terkadang aku sangat capek dengan keadaan ini. Amira benar-benar tidak bisa menunaikan kewajibannya. Kuharap dia mengerti dengan keadaanku dan lekas menerimamu dengan ikhlas, sebagaimana dulu Aisyah R.A menerima Siti Zainab."

Kucurahkan semuanya pada Laila. Di sisinya aku menemui kehangatan. Dengannya aku merasa lebih nyaman. Sedangkan Amira, wanita itu sangat tak bisa diharapkan lagi.

Sikap Laila yang jauh lebih baik seolah menyihirku. Laila selalu ada ketika aku butuh kenyamanan. Ia selalu menemaniku jika aku merasa kesepian, dan bisa mendengar setiap keluh kesahku dengan segenap perhatian.

Tak heran setiap aku merasa jenuh, sedangkan rumah terasa dingin, maka Laila lah satu-satunya wanita yang bisa memahami, menghibur dan menyejukkanku dengan kata-katanya. Tak munafik, wajahnya yang teramat cantik sangat menarik hatiku..

Sedangkan Amira, istriku, justru adalah seorang dalang yang menciptakan kejenuhan itu sendiri, bayangkan saja, ketika sudah terbaring lemah saja dia masih bisa bertingkah, apalagi ketika sehat. Wanita itu selalu dingin padaku. Mungkin dengan sakit itulah Tuhan menghukumnya.

"Kadang aku jenuh memikirkan Amira!" keluhku.

"Sabar, Mas Habib. Jangan terus terpancing emosi. Ini adalah cobaan buatmu. Aku yakin kamu pasti kuat menghadapi semuanya, Mas. Jujur, aku kasihan sama kamu. Insyaallah nanti aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik. Doakan saja."

Kembali kulihat Laila berucap. Kali ini matanya menatapku. Tatapan matanya benar-benar menyejuk kalbu. Inilah yang membuatku nyaman bila berada di dekatnya. Dari lubuk hati yang paling dalam, dialah wanita yang paling aku cintai. Dia adalah sebuah kedamaian bagiku.

Ingin rasanya kuraih tangan lembut Farah yang halus, mengusapnya perlahan, lalu mengenggamnya erat, tapi apa daya, dia belum halal untukku. Aku takut dia marah bila aku melakukannya.

"Laila, aku mencintaimu. Aku tidak bermain-main dengan kata-katku. Aku harap, jangan pernah tinggalkan aku."

Di hadapan Laila aku merasa bak anak kecil yang tidak sungkan untuk mengutarakan keluh kesah. Dan Laila adalah pendengar yang baik.

"Lalu sekarang, apa bedanya denganku? Aku juga mencintaimu, Mas. Tapi bersabarlah. Halalkan aku terlebih dahulu "

Mendengar ungkapan hatinya, aku terenyuh, bak terbuai dalam mimpi yang seolah aku tak mau terbangun darinya.

Sekilas bayangan Amira melintas di ingatanku. Ada rasa bersalah menyelimuti. Aku merasa bersalah terhadap wanita yang sudah bertahun-tahun menemaniku tersebut. Teringat masa-masa perjuangan kami dahulu. Tapi ah sudahlah, bukankah masa depan sudah menyambutku? Mengapa harus hanyut pada masa lalu?

Lagipula ia sudah tidak bisa mematut diri sebagaimana mestinya seorang istri, lalu apa lagi yang bisa kuharapkan darinya? Tidak ada.

Bahkan dulu sebelum ia sakit, ketika aku pulang kerja dia seringkali hanya menyambutku dengan pakaian yang menurutku sangat tidak menarik, yaitu gamis yang bisa dikatakan sudah lusuh dan sudah pudar pula warnanya. Dan jika sesekali aku menuntut hakku padanya, dia menyodorkan raganya dengan teramat dingin dan tanpa ekspresi. Apakah begitu bentuk pelayanan seorang istri terhadap suami? Tentu aku tak puas dengan pelayanan yang dingin seperti itu.

Dalam keadaan seperti ini, maka dosakah apabila aku memilih untuk mendapatkan wanita yang nyatanya lebih aku cintai, dan lebih bisa membuatku bahagia? Salahkah?

Kulihat, ponselku berdering.

Nama Yoona terpampang di layar ponsel.

Biarlah, kubiarkan saja ponsel itu berdering. Jika Yoona menghubungiku, itu sudah pasti Amira yang menyuruhnya. Paling ingin bertanya soal uang. Amira cuma menuntut uang dariku. Tapi tak mampu mengimbangi dan membalas budi atas uang yang kuberikan padanya. Terkadang sekali transfer aku rela memberikan lima ratus ribu setiap bulan padanya secara sukarela. Tapi sekarang dengan lapang dada aku menaafkan dia yang tidak pernah bisa memberikan apa yang aku inginkan.

"Mas, kenapa mengabaikan panggilan Yoona? Dia anakmu, Mas! Mungkin Amira ada kepentingan denganmu," terdengar lembut suara Laila.

"Dia hanya menginginkan uang, Dik Laila. Nanti akan kukirimi uang untuknya." jawabku. Jujur, aku tak suka bila terlalu membahas Amira.

Fokusku bukan untuk telepon itu. Segera kumatikan saja, sebab kepalaku pusing mendengarnya. Merusak keadaan saja.

Aku duduk menghadap ke Laila. Didepan wajah cantik itu, aku seolah tak ingin beranjak. Ingin berlama-lama dengannya.

"Dik Laila, boleh kah aku mengatakan sesuatu?" ucapku hati-hati.

"Apa yang tidak buatmu, Mas. Jangankan hanya untuk berkata-kata, hidupku saja akan kukorbankan untukmu."

Kutelan saliva. Menyiapkan kata-kata. Maafkan aku Amira, jika ini menyakitimu.

"Laila, selama ini aku telah berjuang menyiapkan semuanya untuk kita.

Aku sudah menyiapkan mahar untukmu. Kita benar-benar akan menikah. Kau mau kubelikan rumah dimana, Dik Laila?"

Kulihat Laila tersenyum, amat cantik wajahnya. Senangnya melihat Laila bahagia.

Ya Rabb, kuharap Yoona dan Amira tidak tahu jika aku akan menjual rumah kami agar nanti bisa membelikan rumah untuk wanitaku, Laila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status