Habib
"Mas, aku tidak apa-apa menjadi wanita pendampingmu, meski bukan yang pertama. Jujur aku rela demi agamaku."Kulihat Laila berkata dengan mata memandang ke kejauhan. Dari dulu aku tahu dia wanita baik. Tak heran jika cintaku padanya kian tumbuh."Iya, Dik Laila. Terkadang aku sangat capek dengan keadaan ini. Amira benar-benar tidak bisa menunaikan kewajibannya. Kuharap dia mengerti dengan keadaanku dan lekas menerimamu dengan ikhlas, sebagaimana dulu Aisyah R.A menerima Siti Zainab."Kucurahkan semuanya pada Laila. Di sisinya aku menemui kehangatan. Dengannya aku merasa lebih nyaman. Sedangkan Amira, wanita itu sangat tak bisa diharapkan lagi.Sikap Laila yang jauh lebih baik seolah menyihirku. Laila selalu ada ketika aku butuh kenyamanan. Ia selalu menemaniku jika aku merasa kesepian, dan bisa mendengar setiap keluh kesahku dengan segenap perhatian.Tak heran setiap aku merasa jenuh, sedangkan rumah terasa dingin, maka Laila lah satu-satunya wanita yang bisa memahami, menghibur dan menyejukkanku dengan kata-katanya. Tak munafik, wajahnya yang teramat cantik sangat menarik hatiku..Sedangkan Amira, istriku, justru adalah seorang dalang yang menciptakan kejenuhan itu sendiri, bayangkan saja, ketika sudah terbaring lemah saja dia masih bisa bertingkah, apalagi ketika sehat. Wanita itu selalu dingin padaku. Mungkin dengan sakit itulah Tuhan menghukumnya."Kadang aku jenuh memikirkan Amira!" keluhku."Sabar, Mas Habib. Jangan terus terpancing emosi. Ini adalah cobaan buatmu. Aku yakin kamu pasti kuat menghadapi semuanya, Mas. Jujur, aku kasihan sama kamu. Insyaallah nanti aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik. Doakan saja."Kembali kulihat Laila berucap. Kali ini matanya menatapku. Tatapan matanya benar-benar menyejuk kalbu. Inilah yang membuatku nyaman bila berada di dekatnya. Dari lubuk hati yang paling dalam, dialah wanita yang paling aku cintai. Dia adalah sebuah kedamaian bagiku.Ingin rasanya kuraih tangan lembut Farah yang halus, mengusapnya perlahan, lalu mengenggamnya erat, tapi apa daya, dia belum halal untukku. Aku takut dia marah bila aku melakukannya."Laila, aku mencintaimu. Aku tidak bermain-main dengan kata-katku. Aku harap, jangan pernah tinggalkan aku."Di hadapan Laila aku merasa bak anak kecil yang tidak sungkan untuk mengutarakan keluh kesah. Dan Laila adalah pendengar yang baik."Lalu sekarang, apa bedanya denganku? Aku juga mencintaimu, Mas. Tapi bersabarlah. Halalkan aku terlebih dahulu "Mendengar ungkapan hatinya, aku terenyuh, bak terbuai dalam mimpi yang seolah aku tak mau terbangun darinya.Sekilas bayangan Amira melintas di ingatanku. Ada rasa bersalah menyelimuti. Aku merasa bersalah terhadap wanita yang sudah bertahun-tahun menemaniku tersebut. Teringat masa-masa perjuangan kami dahulu. Tapi ah sudahlah, bukankah masa depan sudah menyambutku? Mengapa harus hanyut pada masa lalu?Lagipula ia sudah tidak bisa mematut diri sebagaimana mestinya seorang istri, lalu apa lagi yang bisa kuharapkan darinya? Tidak ada.Bahkan dulu sebelum ia sakit, ketika aku pulang kerja dia seringkali hanya menyambutku dengan pakaian yang menurutku sangat tidak menarik, yaitu gamis yang bisa dikatakan sudah lusuh dan sudah pudar pula warnanya. Dan jika sesekali aku menuntut hakku padanya, dia menyodorkan raganya dengan teramat dingin dan tanpa ekspresi. Apakah begitu bentuk pelayanan seorang istri terhadap suami? Tentu aku tak puas dengan pelayanan yang dingin seperti itu.Dalam keadaan seperti ini, maka dosakah apabila aku memilih untuk mendapatkan wanita yang nyatanya lebih aku cintai, dan lebih bisa membuatku bahagia? Salahkah?Kulihat, ponselku berdering.Nama Yoona terpampang di layar ponsel.Biarlah, kubiarkan saja ponsel itu berdering. Jika Yoona menghubungiku, itu sudah pasti Amira yang menyuruhnya. Paling ingin bertanya soal uang. Amira cuma menuntut uang dariku. Tapi tak mampu mengimbangi dan membalas budi atas uang yang kuberikan padanya. Terkadang sekali transfer aku rela memberikan lima ratus ribu setiap bulan padanya secara sukarela. Tapi sekarang dengan lapang dada aku menaafkan dia yang tidak pernah bisa memberikan apa yang aku inginkan."Mas, kenapa mengabaikan panggilan Yoona? Dia anakmu, Mas! Mungkin Amira ada kepentingan denganmu," terdengar lembut suara Laila."Dia hanya menginginkan uang, Dik Laila. Nanti akan kukirimi uang untuknya." jawabku. Jujur, aku tak suka bila terlalu membahas Amira.Fokusku bukan untuk telepon itu. Segera kumatikan saja, sebab kepalaku pusing mendengarnya. Merusak keadaan saja.Aku duduk menghadap ke Laila. Didepan wajah cantik itu, aku seolah tak ingin beranjak. Ingin berlama-lama dengannya."Dik Laila, boleh kah aku mengatakan sesuatu?" ucapku hati-hati."Apa yang tidak buatmu, Mas. Jangankan hanya untuk berkata-kata, hidupku saja akan kukorbankan untukmu."Kutelan saliva. Menyiapkan kata-kata. Maafkan aku Amira, jika ini menyakitimu."Laila, selama ini aku telah berjuang menyiapkan semuanya untuk kita.Aku sudah menyiapkan mahar untukmu. Kita benar-benar akan menikah. Kau mau kubelikan rumah dimana, Dik Laila?"Kulihat Laila tersenyum, amat cantik wajahnya. Senangnya melihat Laila bahagia.Ya Rabb, kuharap Yoona dan Amira tidak tahu jika aku akan menjual rumah kami agar nanti bisa membelikan rumah untuk wanitaku, Laila."Mas, kalau kita benar-benar hidup bersama, bagaimana dengan istrimu, si Amira?" Dengan nada datar Laila bertanya.Hmm, aku sedikit gelagapan. Bukankah tadi Laila sudah bilang jika dia berkenan menjadi istriku? Mengapa sekarang malah bertanya tentang Amira? Apakah sebenarnya dia mengharapkan aku menceraikan Amira? Sebenarnya aku tak keberatan jika harus menceraikan wanita itu. Tapi yang aku takutkan adalah prosedurnya yang lama bisa menghambat prosesi pernikahanku dengan Laila nantinya."Aku sudah tak tahan hidup bersama dengan Amira, Dik Laila. Tapi untuk menceraikannya aku rasa itu butuh proses yang akan memakan waktu, sedangkan pernikahan kita tidak akan lama lagi, bukan? Aku tidak ingin semuanya tertunda hanya karena mengurus hal-hal yang tidak perlu.""Tapi kamu tidak perlu khawatir, kalau kamu menginginkannya aku bisa segera menceraikan Amira," ucap Habib."Jangan, Mas! Tolong jangan ceraikan dia sekarang! Dia istrimu yang sedang sakit. Aku tidak setuju apabila kamu menceraikan
Aku menyusuri ruang demi ruang, tibalah dimana ruangan Amira dirawat. Aku masuk, Laila di sampingku. Jilbab syar'i yang menutupi kepalanya menambah kesan sholehah pada dirinya. Ada semacam rasa bangga di dampingi wanita seperti ini.Tapi ketika aku masuk, di dalam sana tidak ada Amira. Kemana dia? "Bu, kemana pasien yang tadi dirawat di sini?" Aku bertanya kepada salah-satu pasien di sana."Bukannya Mbak Amira masih di ruangan ICU?" Jawabnya Ya Tuhaan. Aku lupa kalau istri tuaku itu kemarin di bawa ke ruang ICU."Oh iya, terimakasih, Bu." kataku. Ibu itu mengangguk.Aku kembali berjalan menyusuri koridor, mencari ruangan ICU.Tiba-tiba di ujung sana kulihat Yoona tengah duduk sendiri beralaskan tikar kecil. Didepannya tersaji sebungkus nasi. Nah, kan, nampak sekali keborosan ibunya menurun pada anak itu. Kalau dia mau berhemat, lebih baik dia masak sendiri daripada harus membeli nasi bungkus seperti itu. Itu lebih mahal tentunya.Tapi ya sudahlah. Yang namanya tabiat tentu tak akan
"Bu, ijab kabul akan dilangsungkan minggu depan. Bagaimana menurut ibu, apa Amira sebaiknya hadir di pernikahanku nanti?" Ujarku pada ibu."Tidak usah. Hadirnya dia akan memperkeruh keadaan. Aku tak ingin acara pernikahan kalian di rusak olehnya. Apalagi Yoona, anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat tidak sopan." Komentar ibu terhadap Yoona sangat aku benarkan. Yoona memang demikian adanya. Dia pembangkang, tidak punya sikap sopan sedikitpun. "Tidak ada jalan lain, Habib, sebaiknya kau ceraikan Amira! Dia hanya akan menjadi bebanmu dan Laila nantinya." "Menceraikan Amira?" Aku melirik ibu."Iya. Apa kau keberatan?""Tidak. Sangat tidak. Tapi Laila melarangku untuk menceraikan Amira." Jawabku.Ibu melihatku dengan heran."Melarang? Kenapa? Bukankah hidup kalian akan lebih tentram tanpa dihanggu oleh wanita strooke itu?" ucap itu."Itulah yang aku pikirkan, Bu. Tapi bagi Laila tidaklah demikian. Laila khawatir hidup Amira akan terbengkalai jika kuceraikan. Dia khawatir siapa yang
YoonaInginku bersujud lebih lama, agar Tuhan memberikan jawaban atas doaku, aku sangat mengharapkan Yang Kuasa memberikan keajaiban, yaitu kesembuhan ibuku tercinta.Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu yang menyayangiku. Aku punya ayah, tapi cintanya padaku sungguh tidak lebih besar daripada cintanya terhadap Laila, wanita yang sebentar lagi menjadi istri keduanya. Aku muak pada laki-laki yang kupanggil "Ayah";tersebut. Ketika ibu sakit, dia tak berpikir bagaimana caranya agar ibu bisa sembuh, malah ia menjadikan itu sebagai alasan agar bisa menikahi Laila. Aku benci ayahku.Aku menyeka Air mata yang jatuh. Untuk sekarang ini, tidak ada yang lebih aku harapkan selain dari kesembuhan ibu. Aku melepas mukena, melipat kembali, lalu menyimpannya di sisi ibuku. "Bu," aku menggenggam tangan ibu."Ya, Nak.""Yoona pergi menjual kue dulu ya, Bu. Pagi-pagi begini biasanya agak ramai. Do'akan semoga laris ya, Bu." Aku mencium kening ibu. Beliau mengangguk.Sebagai rutinitasku di pagi
Aku memasuki ruangan dimana ibu dirawat. Cepatlah sehat, Bu. Biar kita lalui hari-hari lebih berwarna. Aku yakin Tuhan akan mengakhiri semua ujian berat ini.Disana kulihat Pak Rangga tengah berbincang dengan Dokter Albert, dokter yang menangani penyakit ibu. Kenapa Pak Rangga bisa berada di sini? "Yoona, hari ini ibumu dipindahkan ke ruangan perawatan biasa." ucap dokter Albert memberitahuku."Iyakah, Dok?" Aku sumringah."Tentu saja."Aku senang bukan kepalang dengan kabar itu. Artinya ibu ada perkembangan yang lebih baik. "Kalau begitu, aku akan membantu membawa ibu ke ruang biasa." ujarku tak sabar."Tenang, Yoona. Ibumu sudah dipindahkan sejak tadi." ucap Pak Rangga."Iya, Yoona. Tadi Pak Rangga juga turut membantu." senyum Dokter Albert.Aku terenyuh. Ditengah-tengah kesendirianku dan ibu, ternyata masih ada yang peduli. Terimakasih Tuhaan, telah mengirimkan orang-orang baik untuk kami."Kalau begitu terimakasih banyak, Pak." Aku menatap keduanya."Sama-sama.""Anak hebat, j
Dokter Albert, dokter yang menurutku benar-benar fokus merawat ibu. Selalu saja ia rela terjun langsung melihat keadaan ibu. Tidak seperti dokter lain yang biasa menggunakan jasa perawat."Yoona, hari ini ruangan ibumu pindah ke lantai dua ya. Jangan khawatir, perawat disini akan membantu memindahkan ibumu. Tugasmu, temani dan terus kasih semangat buat ibumu! Anak baik, semoga ibumu lekas sembuh." Dokter Albert berucap sambil mengembangkan senyum.Tidak beberapa lama kemudian, tiga orang perawat masuk. Satu di antara mereka menyuruhku untuk segera berkemas. "Apa nanti kami tidak kembali ke ruang ini, suster?" tanyaku."Tidak, Dek. Makanya segera kemas semua barang.""Baik, Suster." Tidak bertanya lagi, segera kutaruh semua barang ke dalam koper.Aku menuruti langkah kaki para perawat yang sedang membawa ibuku. Ibuku hanya diam dan terlihat seperti belum mampu bicara. Tadi ibu sempat pingsan kata dokter.Hingga para perawat itu berbelok ke sebuah ruangan yang lumayan besar, bersih, d
AmiraKupandangi punggung Yoona dengan rasa iba. Sebagai anak seusia kelas 2 SMA, anak itu terlalu dini untuk bisa mengurusku sejauh ini. Bahkan dia tak segan-segan menjual kue hanya untuk mencukupi keuangan kami. Aku merasakan jika Yoona memang mengharapkan kesembuhanku. Yoona, dia adalah alasan mengapa aku harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Aku harus sembuh dari penyakit ini. Aku harus memperjuangkan putri semata wayangku itu.Sebelumnya aku hampir saja berputus asa menghadapi kenyataan yang pahit ini. Aku pun tidak mengerti mengapa aku harus jatuh sakit di tengah-tengah himpitan ekonomi yang sedang tak baik. Boleh dikatakan Aku tak punya banyak tabungan untuk bisa kupakai berobat. Masalahnya tidak hanya sampai di sini, ketika aku berjuang untuk sembuh, justru mas habib suamiku sibuk dengan Laila. Wanita yang sejak dulu memang sering ia puji-puji. Bahkan tindakan mas habib didukung pula oleh ibunya. Dua ujian ini seolah menyergapku pada masa titik terendah. Membuatku tidak p
Yoona"Yoona, kamu nampak sedih, kenapa? Bagaimana kondisi ibumu sekarang?" Jordan menghampiriku. "Ya, ibuku lebih baik sekarang," jawabku singkat."Syukurlah kalau begitu. Aku turut senang mendengarnya," ucapnya kemudian."Kita ke kantin, yuk! Biar aku yang traktir," ajaknya.Aku menggeleng."Terimakasih, tapi aku sedang tidak lapar sekarang." jawabnya.Entahlah rasanya aku sangat tidak berselera. "Yakin tidak mau? Atau mau kubelikan lalu dibawakan kesini makanannya?"Lagi-lagi aku menggeleng."Tidak usah, Jordan! Aku beneran tidak lapar!" ucapku."Hmm.. baiklah kalau begitu. Aku tinggal dulu ya," dia tersenyum lalu melangkah meninggalkanku."Eh, Jordan! Tunggu dulu!" Sergahku cepat.Jordan sontak berhenti lalu memandangku."Kenapa?" katanya seperti heran."Menurutmu seperti apa wajahku?" tanyaku."Maksudmu?""Ah, tadi aku belum selesai bicara! Hmm, maksudku, menurutmu aku lebih mirip ibu atau mirip ayahku?" Tanyaku.Jordan tampak mengernyitkan dahi."Pertanyaanmu aneh, Yoona. Semu