Aku menyusuri ruang demi ruang, tibalah dimana ruangan Amira dirawat. Aku masuk, Laila di sampingku. Jilbab syar'i yang menutupi kepalanya menambah kesan sholehah pada dirinya. Ada semacam rasa bangga di dampingi wanita seperti ini.
Tapi ketika aku masuk, di dalam sana tidak ada Amira. Kemana dia?"Bu, kemana pasien yang tadi dirawat di sini?" Aku bertanya kepada salah-satu pasien di sana."Bukannya Mbak Amira masih di ruangan ICU?" JawabnyaYa Tuhaan. Aku lupa kalau istri tuaku itu kemarin di bawa ke ruang ICU."Oh iya, terimakasih, Bu." kataku. Ibu itu mengangguk.Aku kembali berjalan menyusuri koridor, mencari ruangan ICU.Tiba-tiba di ujung sana kulihat Yoona tengah duduk sendiri beralaskan tikar kecil. Didepannya tersaji sebungkus nasi. Nah, kan, nampak sekali keborosan ibunya menurun pada anak itu. Kalau dia mau berhemat, lebih baik dia masak sendiri daripada harus membeli nasi bungkus seperti itu. Itu lebih mahal tentunya.Tapi ya sudahlah. Yang namanya tabiat tentu tak akan mudah untuk diubah."Nah itu Yoona." ujarku."Amira pasti dirawat di sana,"Aku mempercepat langkah.Aku menuju ke ruangan yang bertuliskan "RUANG ICU" di atas pintunya. Gagang pintu itu ku tarik, tapi,"Maaf, Pak. Mau cari siapa? Ini ruang ICU tidak boleh sembarangan masuk. Maaf ya, Pak!" satpam mencegat langkahku."Aku mau mencari istriku, Pak. Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawabku cepat."Maaf, pak. Pasien di ruangan ini rata-rata kondisinya sedang kritis, kalau tidak kritis, tentu tidak akan dirawat di ruang ini. Jadi mana bisa diajak untuk membahas sesuatu. Kalau memang mendesak, tunggu pasien pulih terlebih dahulu. Jadi maaf sekali." Satpam itu kembali berkata."Tapi dia istriku, Pak," aku keukeuh."Eh bukannya itu istrimu ada disampingmu?" tiba-tiba saja Yoona nyeletuk. Dasar anak nakal!Aku menggeram. Tak mungkin juga jika aku mengatakan bahwa laila istri keduaku, bisa malu nanti Laila."Yoona, sopan sedikit bicara, Nak." aku menasihatinya."Baik, Pak. Terimakasih nasihatnya!" jawab Yoona seperti menyindirku saja. Tatapannya tak bersahabat. Mulai lagi dia."Yoona, kenapa kelihatannya kau memusuhiku? Aku ini ayahmu, lho!" Aku berkata menurunkan volume suaraku."Yah, kalau begitu aku juga mau tanya Ayah, mengapa ayah selalu ingin membuat masalah? Alih-alih bertanggung jawab, tapi malah selalu berusaha membuat keadaan ibu memburuk." Yoona berkata."Jangan katakan aku tidak bertanggung jawab pada ibumu, Yoona! Bukankah kemarin tanpa ia minta pun sudah kuberi dia uang? Berterima kasihlah padaku. Atau kalau tidak, tidak akan kuberi kalian uang lagi!" aku memelototi anak di depanku ini.Tapi Yoona malah terkekeh. K*rang ajar sekali. Tak sopan."Iya ya, aku hampir lupa. Sebentar." ucapnya seraya merogoh kantong."Nih uang tiga ratus ribu yang kemarin ayah berikan pada ibu. Ayah simpan saja sendiri. Supaya Ayah tidak lagi mengingat-ingat dan membahasnya lagi. Capek aku kalau diingat-ingat dan di bahas terus." Ia meletakkan tiga lembar uang merah ke tanganku."Jangan berlagak tidak butuh uang dariku, Yoona!""Bukannya tidak butuh, tapi memang itu memang uangmu. Jadi ambillah kembali!" jawabnya."Astagfirullah ya Allah, maafkan Yoona, Dik Laila. Dia memang labil." Aku menoleh pada Laila-ku. Laila mengangguk."Nak, jangan jadi orang yang tidak berperasaan, jagalah perasaan Ummi Laila!" aku kembali menasehati.Yoona tertawa. Apa ada yang lucu? Tentu tidak. Dianya saja yang tak bisa menghargai orang yang lebih tua. Hasil didikan yang benar-benar tidak berkelas."Benar sekali ayah. Sangat benar. Jangan jadi manusia yang tidak berperasaan. Aku setuju. Jadi sekarang bagaimana menurut Ayah, apa Ayah juga termasuk orang yang berperasaan?"Astaga, kenapa Yoona jadi begini?"Hormati ayahmu, Nak Yoona." Laila berujar lembut sekali."Terimakasih, Laila! Sayangnya, aku rasa tidak terlalu harus menghormatinya." Yoona menunjuk ke arahku."Ibumu memang ibu yang gagal mendidik anak." Sahutku."Lalu menurutmu kau ayah yang baik?"Aku diam. Pertanyaannya ini kurasa selalu menyindir. Apa dia benci karena aku membawa Laila kemari? Apa dia cemburu aku mendapatkan pengganti istri yang jauh lebih memikat di banding ibunya?"Kau jangan terlalu membenci Ummi Laila, Nak. Ayah tahu kau begini karena kecemburuanmu pada Ummi Laila, kan?"Lagi-lagi Yoona terkekeh."Cemburu? Ha haa ... Dugaan yang terlalu berlebihan. Maafkan aku , ayah, justru kehadiran Laila di hidup ayah membuatku bersyukur. Artinya ayah akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Laila. Dan itu akan membuatku dan ibu bisa sedikit lebih tenang. Sebaiknya ayah tidak usah terlalu sering datang kemari. Aku serius." Yoona berkata dengan air muka sungguh-sungguh.Aneh sekali ucapannya. Apa dia sungguh-sungguh lebih senang dengan ketidakberdaanku? Ah yang benar saja! Tidak mungkin! itu hanya kiasan bahasa saja. Salah satu ungkapan kecemburuannya."Memangnya siapa yang akan menanggung biaya hidup kalian bila aku tidak lagi peduli pada kalian, haa? Tidak usahlah berlagak seperti tak butuh!""Ayah lihat sendiri kan, kami masih hidup dan bernafas sekarang? Padahal sudah sejak sebulan kemarin Ayah tak menanggung biaya hidup kami." Yoona berujar santai sekali.Aku terus bersabar pada tingkahnya. Seandainya tidak dilihat banyak orang, anak ini sudah pasti sudah kuberi pelajaran."Kau harus banyak belajar adab dari Laila, Yoona!""Ya, Ayah. Aku akan belajar pada Laila bagaimana caranya menikahi laki-laki yang istrinya sedang terbaring di rumah sakit. Itu hebat sekali, bukan?""Bu, ijab kabul akan dilangsungkan minggu depan. Bagaimana menurut ibu, apa Amira sebaiknya hadir di pernikahanku nanti?" Ujarku pada ibu."Tidak usah. Hadirnya dia akan memperkeruh keadaan. Aku tak ingin acara pernikahan kalian di rusak olehnya. Apalagi Yoona, anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat tidak sopan." Komentar ibu terhadap Yoona sangat aku benarkan. Yoona memang demikian adanya. Dia pembangkang, tidak punya sikap sopan sedikitpun. "Tidak ada jalan lain, Habib, sebaiknya kau ceraikan Amira! Dia hanya akan menjadi bebanmu dan Laila nantinya." "Menceraikan Amira?" Aku melirik ibu."Iya. Apa kau keberatan?""Tidak. Sangat tidak. Tapi Laila melarangku untuk menceraikan Amira." Jawabku.Ibu melihatku dengan heran."Melarang? Kenapa? Bukankah hidup kalian akan lebih tentram tanpa dihanggu oleh wanita strooke itu?" ucap itu."Itulah yang aku pikirkan, Bu. Tapi bagi Laila tidaklah demikian. Laila khawatir hidup Amira akan terbengkalai jika kuceraikan. Dia khawatir siapa yang
YoonaInginku bersujud lebih lama, agar Tuhan memberikan jawaban atas doaku, aku sangat mengharapkan Yang Kuasa memberikan keajaiban, yaitu kesembuhan ibuku tercinta.Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Ibu yang menyayangiku. Aku punya ayah, tapi cintanya padaku sungguh tidak lebih besar daripada cintanya terhadap Laila, wanita yang sebentar lagi menjadi istri keduanya. Aku muak pada laki-laki yang kupanggil "Ayah";tersebut. Ketika ibu sakit, dia tak berpikir bagaimana caranya agar ibu bisa sembuh, malah ia menjadikan itu sebagai alasan agar bisa menikahi Laila. Aku benci ayahku.Aku menyeka Air mata yang jatuh. Untuk sekarang ini, tidak ada yang lebih aku harapkan selain dari kesembuhan ibu. Aku melepas mukena, melipat kembali, lalu menyimpannya di sisi ibuku. "Bu," aku menggenggam tangan ibu."Ya, Nak.""Yoona pergi menjual kue dulu ya, Bu. Pagi-pagi begini biasanya agak ramai. Do'akan semoga laris ya, Bu." Aku mencium kening ibu. Beliau mengangguk.Sebagai rutinitasku di pagi
Aku memasuki ruangan dimana ibu dirawat. Cepatlah sehat, Bu. Biar kita lalui hari-hari lebih berwarna. Aku yakin Tuhan akan mengakhiri semua ujian berat ini.Disana kulihat Pak Rangga tengah berbincang dengan Dokter Albert, dokter yang menangani penyakit ibu. Kenapa Pak Rangga bisa berada di sini? "Yoona, hari ini ibumu dipindahkan ke ruangan perawatan biasa." ucap dokter Albert memberitahuku."Iyakah, Dok?" Aku sumringah."Tentu saja."Aku senang bukan kepalang dengan kabar itu. Artinya ibu ada perkembangan yang lebih baik. "Kalau begitu, aku akan membantu membawa ibu ke ruang biasa." ujarku tak sabar."Tenang, Yoona. Ibumu sudah dipindahkan sejak tadi." ucap Pak Rangga."Iya, Yoona. Tadi Pak Rangga juga turut membantu." senyum Dokter Albert.Aku terenyuh. Ditengah-tengah kesendirianku dan ibu, ternyata masih ada yang peduli. Terimakasih Tuhaan, telah mengirimkan orang-orang baik untuk kami."Kalau begitu terimakasih banyak, Pak." Aku menatap keduanya."Sama-sama.""Anak hebat, j
Dokter Albert, dokter yang menurutku benar-benar fokus merawat ibu. Selalu saja ia rela terjun langsung melihat keadaan ibu. Tidak seperti dokter lain yang biasa menggunakan jasa perawat."Yoona, hari ini ruangan ibumu pindah ke lantai dua ya. Jangan khawatir, perawat disini akan membantu memindahkan ibumu. Tugasmu, temani dan terus kasih semangat buat ibumu! Anak baik, semoga ibumu lekas sembuh." Dokter Albert berucap sambil mengembangkan senyum.Tidak beberapa lama kemudian, tiga orang perawat masuk. Satu di antara mereka menyuruhku untuk segera berkemas. "Apa nanti kami tidak kembali ke ruang ini, suster?" tanyaku."Tidak, Dek. Makanya segera kemas semua barang.""Baik, Suster." Tidak bertanya lagi, segera kutaruh semua barang ke dalam koper.Aku menuruti langkah kaki para perawat yang sedang membawa ibuku. Ibuku hanya diam dan terlihat seperti belum mampu bicara. Tadi ibu sempat pingsan kata dokter.Hingga para perawat itu berbelok ke sebuah ruangan yang lumayan besar, bersih, d
AmiraKupandangi punggung Yoona dengan rasa iba. Sebagai anak seusia kelas 2 SMA, anak itu terlalu dini untuk bisa mengurusku sejauh ini. Bahkan dia tak segan-segan menjual kue hanya untuk mencukupi keuangan kami. Aku merasakan jika Yoona memang mengharapkan kesembuhanku. Yoona, dia adalah alasan mengapa aku harus berjuang untuk tetap bertahan hidup. Aku harus sembuh dari penyakit ini. Aku harus memperjuangkan putri semata wayangku itu.Sebelumnya aku hampir saja berputus asa menghadapi kenyataan yang pahit ini. Aku pun tidak mengerti mengapa aku harus jatuh sakit di tengah-tengah himpitan ekonomi yang sedang tak baik. Boleh dikatakan Aku tak punya banyak tabungan untuk bisa kupakai berobat. Masalahnya tidak hanya sampai di sini, ketika aku berjuang untuk sembuh, justru mas habib suamiku sibuk dengan Laila. Wanita yang sejak dulu memang sering ia puji-puji. Bahkan tindakan mas habib didukung pula oleh ibunya. Dua ujian ini seolah menyergapku pada masa titik terendah. Membuatku tidak p
Yoona"Yoona, kamu nampak sedih, kenapa? Bagaimana kondisi ibumu sekarang?" Jordan menghampiriku. "Ya, ibuku lebih baik sekarang," jawabku singkat."Syukurlah kalau begitu. Aku turut senang mendengarnya," ucapnya kemudian."Kita ke kantin, yuk! Biar aku yang traktir," ajaknya.Aku menggeleng."Terimakasih, tapi aku sedang tidak lapar sekarang." jawabnya.Entahlah rasanya aku sangat tidak berselera. "Yakin tidak mau? Atau mau kubelikan lalu dibawakan kesini makanannya?"Lagi-lagi aku menggeleng."Tidak usah, Jordan! Aku beneran tidak lapar!" ucapku."Hmm.. baiklah kalau begitu. Aku tinggal dulu ya," dia tersenyum lalu melangkah meninggalkanku."Eh, Jordan! Tunggu dulu!" Sergahku cepat.Jordan sontak berhenti lalu memandangku."Kenapa?" katanya seperti heran."Menurutmu seperti apa wajahku?" tanyaku."Maksudmu?""Ah, tadi aku belum selesai bicara! Hmm, maksudku, menurutmu aku lebih mirip ibu atau mirip ayahku?" Tanyaku.Jordan tampak mengernyitkan dahi."Pertanyaanmu aneh, Yoona. Semu
Sudah dua minggu akhirnya aku terpaksa stop mengunakan skincare. Termasuk skincare paling basic sekalipun. Mas Habib sangat pelit mengeluarkan uangnya untuk itu. Tipe kulitku yang kering ini terasa semakin kusam tanpa adanya pelembab. Benar-benar aku tak memegang uang sepeserpun. Bagi seorang wanita yang terbiasa mandiri, tentu saja Ini adalah sesuatu yang sulit.Bahkan ketika aku meminta uang sedikit saja untuk membeli skin care termurah yang kuketahui, mas Habib menolak dengan halus."Uang dua Puluh ribu lebih bermanfaat kalau kita belikan bumbu dapur daripada untuk beli skin care, Sayang. Kan Mas sudah bilang sama kamu, kalau kamu tetap cantik apa adanya. Sehingga tidak perlu dipoles dengan bahan-bahan kimia buatan manusia, Aku khawatir nanti benda-benda seperti itu yang bisa merusak kecantikanmu. Tentu kamu sudah pernah lihat kan korban krim-krim yang katanya bagus itu? Aku tidak mau kalau kamu jadi korban selanjutnya." Begitulah jawaban yang ia berikan."Lagi pula, lebih baik
"Mas, aku tidak pernah melarang niatmu untuk membahagiakan keluargamu. Tapi tolong, jangan abaikan kami, Mas!" Aku berkata jujur dari lubuk hati yang paling dalam."Jadi kamu anggap aku abai? Mir, jangan jadi istri yang tidak pandai bersyukur! Kamu lihat sendiri, setiap hari kalian masih bisa makan dengan kenyang! Kalian belum pernah merasakan kekurangan. Kamu tahu itu! Aku mencukupi semuanya dengan tanpa kurang suatu apapun. Tapi sekarang kamu malah menganggapku abai. Apa maksudmu?" ujar Mas Habib."Iya aku tahu kami tidak pernah kelaparan! Tapi apa yang kami dapatkan memang sungguh benar-benar sekedar makan, tanpa memikirkan apa kandungan gizi yang kami makan. Tapi, Mas, hidup ini bukan hanya tentang bisa makan! Bahkan yang dimakanpun lseharusnya dipikirkan kelayakannya.""Jadi kamu pikir makan kalian tidak layak?" Mata Mas Habib melotot.Aku mengucapkan istighfar dalam benak ini. Sepertinya perselisihan tidak akan mudah selesai meski berdebat seharian."Sebenarnya aku hanya ingin M