Share

Bab 6

Aku menyusuri ruang demi ruang, tibalah dimana ruangan Amira dirawat. Aku masuk, Laila di sampingku. Jilbab syar'i yang menutupi kepalanya menambah kesan sholehah pada dirinya. Ada semacam rasa bangga di dampingi wanita seperti ini.

Tapi ketika aku masuk, di dalam sana tidak ada Amira. Kemana dia?

"Bu, kemana pasien yang tadi dirawat di sini?" Aku bertanya kepada salah-satu pasien di sana.

"Bukannya Mbak Amira masih di ruangan ICU?" Jawabnya

Ya Tuhaan. Aku lupa kalau istri tuaku itu kemarin di bawa ke ruang ICU.

"Oh iya, terimakasih, Bu." kataku. Ibu itu mengangguk.

Aku kembali berjalan menyusuri koridor, mencari ruangan ICU.

Tiba-tiba di ujung sana kulihat Yoona tengah duduk sendiri beralaskan tikar kecil. Didepannya tersaji sebungkus nasi. Nah, kan, nampak sekali keborosan ibunya menurun pada anak itu. Kalau dia mau berhemat, lebih baik dia masak sendiri daripada harus membeli nasi bungkus seperti itu. Itu lebih mahal tentunya.

Tapi ya sudahlah. Yang namanya tabiat tentu tak akan mudah untuk diubah.

"Nah itu Yoona." ujarku.

"Amira pasti dirawat di sana,"

Aku mempercepat langkah.

Aku menuju ke ruangan yang bertuliskan "RUANG ICU" di atas pintunya. Gagang pintu itu ku tarik, tapi,

"Maaf, Pak. Mau cari siapa? Ini ruang ICU tidak boleh sembarangan masuk. Maaf ya, Pak!" satpam mencegat langkahku.

"Aku mau mencari istriku, Pak. Ada hal penting yang ingin aku bahas," jawabku cepat.

"Maaf, pak. Pasien di ruangan ini rata-rata kondisinya sedang kritis, kalau tidak kritis, tentu tidak akan dirawat di ruang ini. Jadi mana bisa diajak untuk membahas sesuatu. Kalau memang mendesak, tunggu pasien pulih terlebih dahulu. Jadi maaf sekali." Satpam itu kembali berkata.

"Tapi dia istriku, Pak," aku keukeuh.

"Eh bukannya itu istrimu ada disampingmu?" tiba-tiba saja Yoona nyeletuk. Dasar anak nakal!

Aku menggeram. Tak mungkin juga jika aku mengatakan bahwa laila istri keduaku, bisa malu nanti Laila.

"Yoona, sopan sedikit bicara, Nak." aku menasihatinya.

"Baik, Pak. Terimakasih nasihatnya!" jawab Yoona seperti menyindirku saja. Tatapannya tak bersahabat. Mulai lagi dia.

"Yoona, kenapa kelihatannya kau memusuhiku? Aku ini ayahmu, lho!" Aku berkata menurunkan volume suaraku.

"Yah, kalau begitu aku juga mau tanya Ayah, mengapa ayah selalu ingin membuat masalah? Alih-alih bertanggung jawab, tapi malah selalu berusaha membuat keadaan ibu memburuk." Yoona berkata.

"Jangan katakan aku tidak bertanggung jawab pada ibumu, Yoona! Bukankah kemarin tanpa ia minta pun sudah kuberi dia uang? Berterima kasihlah padaku. Atau kalau tidak, tidak akan kuberi kalian uang lagi!" aku memelototi anak di depanku ini.

Tapi Yoona malah terkekeh. K*rang ajar sekali. Tak sopan.

"Iya ya, aku hampir lupa. Sebentar." ucapnya seraya merogoh kantong.

"Nih uang tiga ratus ribu yang kemarin ayah berikan pada ibu. Ayah simpan saja sendiri. Supaya Ayah tidak lagi mengingat-ingat dan membahasnya lagi. Capek aku kalau diingat-ingat dan di bahas terus." Ia meletakkan tiga lembar uang merah ke tanganku.

"Jangan berlagak tidak butuh uang dariku, Yoona!"

"Bukannya tidak butuh, tapi memang itu memang uangmu. Jadi ambillah kembali!" jawabnya.

"Astagfirullah ya Allah, maafkan Yoona, Dik Laila. Dia memang labil." Aku menoleh pada Laila-ku. Laila mengangguk.

"Nak, jangan jadi orang yang tidak berperasaan, jagalah perasaan Ummi Laila!" aku kembali menasehati.

Yoona tertawa. Apa ada yang lucu? Tentu tidak. Dianya saja yang tak bisa menghargai orang yang lebih tua. Hasil didikan yang benar-benar tidak berkelas.

"Benar sekali ayah. Sangat benar. Jangan jadi manusia yang tidak berperasaan. Aku setuju. Jadi sekarang bagaimana menurut Ayah, apa Ayah juga termasuk orang yang berperasaan?"

Astaga, kenapa Yoona jadi begini?

"Hormati ayahmu, Nak Yoona." Laila berujar lembut sekali.

"Terimakasih, Laila! Sayangnya, aku rasa tidak terlalu harus menghormatinya." Yoona menunjuk ke arahku.

"Ibumu memang ibu yang gagal mendidik anak." Sahutku.

"Lalu menurutmu kau ayah yang baik?"

Aku diam. Pertanyaannya ini kurasa selalu menyindir. Apa dia benci karena aku membawa Laila kemari? Apa dia cemburu aku mendapatkan pengganti istri yang jauh lebih memikat di banding ibunya?

"Kau jangan terlalu membenci Ummi Laila, Nak. Ayah tahu kau begini karena kecemburuanmu pada Ummi Laila, kan?"

Lagi-lagi Yoona terkekeh.

"Cemburu? Ha haa ... Dugaan yang terlalu berlebihan. Maafkan aku , ayah, justru kehadiran Laila di hidup ayah membuatku bersyukur. Artinya ayah akan lebih banyak menghabiskan waktu bersama Laila. Dan itu akan membuatku dan ibu bisa sedikit lebih tenang. Sebaiknya ayah tidak usah terlalu sering datang kemari. Aku serius." Yoona berkata dengan air muka sungguh-sungguh.

Aneh sekali ucapannya. Apa dia sungguh-sungguh lebih senang dengan ketidakberdaanku? Ah yang benar saja! Tidak mungkin! itu hanya kiasan bahasa saja. Salah satu ungkapan kecemburuannya.

"Memangnya siapa yang akan menanggung biaya hidup kalian bila aku tidak lagi peduli pada kalian, haa? Tidak usahlah berlagak seperti tak butuh!"

"Ayah lihat sendiri kan, kami masih hidup dan bernafas sekarang? Padahal sudah sejak sebulan kemarin Ayah tak menanggung biaya hidup kami." Yoona berujar santai sekali.

Aku terus bersabar pada tingkahnya. Seandainya tidak dilihat banyak orang, anak ini sudah pasti sudah kuberi pelajaran.

"Kau harus banyak belajar adab dari Laila, Yoona!"

"Ya, Ayah. Aku akan belajar pada Laila bagaimana caranya menikahi laki-laki yang istrinya sedang terbaring di rumah sakit. Itu hebat sekali, bukan?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
mantab laola ntar juga yoonaa sekarat di tinggal nikah lagi adil
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status