Share

Bab 5

“Apa maksud kamu bicara seperti itu, Nada?”

Kau tahu, saat itu ia bukan sedang berteriak melainkan bicara dengan begitu halus dan lembut. Namun, kenapa terasa menusuk.

“Istri yang seperti itu mau kamu bela Zayn, dia bahkan enggak menghormatimu lagi.”

“Satu hal yang enggak pernah bisa aku mengerti dari keluarga ini? Jika ibu sendiri enggak bisa berjauhan dengan Mas Zayn kenapa sejak dulu Ibu selalu melarangku mendidik Arnav? Dia anakku juga. Bukankah ini enggak adil?”

“Oh, jadi sekarang kalian kompak menyalahkan ibu.”

“Aku bukan sedang menyalahkan. Hanya bertanya, kalau memang pertanyaanku ini menyinggung perasaan Ibu, aku minta maaf.”

“Sekarang kamu berani ya, bentak Ibu seperti ini. Lihat istrimu, Zayn! Wanita yang selalu kamu banggakan ini bahkan enggak menghormati ibumu sama sekali.”

“Aku enggak membentak, apa nada bicaraku kasar? Aku hanya bertanya atas sesuatu yang tidak aku mengerti. Apa itu salah?”

“Nad, sudahlah! Salahkan saja aku, aku yang memang dari awal enggak tegas sama anak kita! Kamu kembali ke dalam ya, masalah ini biar jadi urusanku! Malam ini Mas akan bertemu dengan orang tua korban. Doakan saja semua berjalan lancar! Tolong bisakah kalian jangan menambah bebanku. Aku sudah cukup pusing dengan masalah Arnav, belum lagi pekerjaanku. Minggu depan aku harus pergi kunjungan ke luar kota. Masalah ini enggak bisa berlarut. Please, kali ini bisakah saling mengalah.”

“Memangnya sejak kapan aku enggak pernah ngalah, Mas?”

“Nad, ayolah!”

Aku masih berusaha merayunya, tetapi Nada benar-benar mengabaikanku. Tak seperti biasanya di mana ia akan menurut bahkan berinisiatif untuk meninggalkan perdebatan lebih dulu.

Aku sampai menarik paksa wanita itu menjauh hanya agar suasana tak semakin memanas.

“Kenapa narik aku?”

“Aku yang tanya, kamu kenapa begini? Kenapa enggak ngalah aja sih, ibu itu cuma orang tua!Suatu hari kalau kita tua nanti. Sikapnya akan kembali seperti anak-anak. Kita yang muda yang harusnya ngalah!”

“Maaf Mas, tapi untuk kali ini aku enggak bisa terus diam.”

“Lalu kamu mau apa? Marah-marah, apa bedanya kamu sama ibu kalau begitu?”

“Apa aku terlihat marah? Apa nada bicaraku tinggi? Aku hanya bertanya, tapi kenapa kamu semarah itu?”

“Nad, kamu tahu ‘kan, suatu hari kita juga akan merasakan menjadi orang tua. Marahnya mereka, semuanya bentuk kasih sayang dan perhatiannya ke anak-anaknya. Ayolah, bukankah dia ibumu juga?”

“Setakut itu kamu bikin ibu tersinggung, Mas? sungguh andai saja aku jadi ibumu. Maka, aku akan jadi ibu yang beruntung. Sayangnya aku hanya istrimu.”

Nada tersenyum lagi, senyum yang tak pernah ingin kunikmati. Perlahan Nada melepaskan genggamanku.

“Mau ke mana?”

“Kamu sudah tahu arah tujuanku.”

“Jangan gila, kamu baru aja pulang! Aku enggak akan membiarkanmu pergi.”

“Apa sekarang ibu dan anak ini bahkan kompak melarangku bertemu dengan darah dagingku sendiri? Lepaskan! Tenang saja, aku sudah cukup kuat sekarang. Seharusnya kau tidak sekonyol kemarin. Bagaimana mungkin aku bisa berpikir meninggalkan putraku sendirian di dunia yang seperti ini.”

“Kamu tahu perkataanmu menyakitiku, Nada.”

“Aku tahu, sesakit itulah yang aku rasakan selama tinggal bersamamu.”

“Jadi, kamu ingin aku merasakan hal yang sama?”

“Enggak, aku enggak bukan orang yang suka membalas dendam. Jaga ibumu, aku pergi dulu.”

“Aku antar kamu pulang! Ingat istri itu enggak akan diridai, kalau pergi tanpa izin suaminya.”

“Lalu, ibumu? Apa kamu ingin menjadi anak durhaka yang tega meninggalkan ibumu? Dia mungkin akan menangis seperti biasanya, tenangkan dia dulu! Pergilah, aku tidak selemah itu!”

Sejenak pandanganku menoleh ke belakang, benar saja apa yang dikatakan Nada. Wanita itu tengah terisak di sofa.

“Maaf jika aku enggak bisa menjaga hati ibumu, pergilah! Setidaknya dia enggak akan terlalu membenciku jika kamu tetap tinggal.”

“Aku akan menyusulmu.”

Nada berbalik, setelah ia memunggungiku bahunya bahkan terlihat naik turun, karenanya. Mungkinkah dia menertawakanku.

‘Kamu benar Nada, aku telah gagal menjadi suamimu. Andai kamu juga tahu, bagaimana perlakuan Ayahku dulu padanya. Bukan aku tak menyayangi kalian, hanya saja sejak dulu, ibuku telah mengalami begitu banyak penderitaan. Aku hanya ingin membahagiakannya. Namun, kenapa harus kubayar dengan kehancuran keluargaku?’

Setelah menikah jujur saja terkadang aku iri pada pasangan lain yang bisa bersenang-senang dengan pasangannya di rumah. Pernah suatu hari aku menunjukkan kemesraanku pada Nada, hanya mengusap kepalanya saja. Namun, ibuku selalu saja melontarkan kata-kata yang tak enak untuk didengar.

“Memangnya enggak ada tempat lain buat bermesraan?”

Atau terkadang Nada akan tiba-tiba murung dan menjauh sendiri. Mungkin ibu menegurnya. Hanya saja Nada tak berani mengatakannya padaku. Wanita itu lebih suka menyimpan kesedihannya sendiri. Padahal dulu, ketika ia bekerja Nada wanita yang sangat ceria.

Namun, setelah kami membangun rumah ini. Di mana ia ikut andil besar, dengan menguras semua uang tabungannya. Sikapnya jauh berbeda, apa lagi saat ibu memilih menetap tak lama setelah rumah itu di bangun.

Dan sekarang aku seperti terjebak di sini. Aku tak mungkin mengusir ibu, tetapi tak sanggup jika terus menyaksikan istriku terus murung dan bersedih. 

Istigfar Bu, lagi pula Nada cuma bertanya.”

“Dia itu udah berani marah sama Ibu.”

“Nada enggak marah, bukankah dia masih bicara dengan nada yang biasa. Apa salahnya ibu menjawabnya juga. Aku rasa kalian juga harus saling terbuka.”

“Ibu cuma ingin memanjakan cucu sendiri, apa itu salah? Istrimu itu setiap kali Arnav melakukan sesuatu selalu di larang. Dia itu masih anak-anak. Ibu jauh lebih berpengalaman dibandingkan dia, tapi dia selalu saja beda pendapat. Sekarang anaknya jadi begini juga gara-gara siapa juga.

“Zayn ngerti, cuma masalahnya anak sekarang sama dulu itu beda. Lain kali biarkan saja Nada mendidik anaknya sendiri.”

“Alah, pasti Nada ngadu macam-macam ‘kan sama kamu? Dia pasti enggak suka ibu tinggal di sini. Lagi pula Ibu tinggal di sini juga enggak diam aja. Ibu sering bantu-bantu. Ibu yang nyapu dan ngepel. Kalau enggak ada ibu, rumah ini juga enggak akan sebersih ini. Orang kerjaan Nada, cuma main hp. Harusnya kamu tegur istrimu juga, jangan hanya ibu aja yang kamu tegur!”

“Kamu pikir Zayn, kalau sekarang aja dia udah berani bentak ibu, bagaimana kalau enggak ada kamu? Bisa saja ibu didorong kalau kamu enggak ada.”

“Nada enggak akan sekasar itu.”

“Mana kamu tahu, pokoknya ibu enggak tenang tinggal sendirian. Ibu telepon Kakakmu ya, pokoknya dia harus tinggal di sini.”

Tanpa persetujuan dariku. Ibu sudah merogoh saku celananya, lantas mulai menekan layar. Ia bahkan meminta Bang Gavin ke sini.

“Bu kenapa melakukan itu? ini rumah Nada juga, setidaknya aku harus berdiskusi dengannya juga.”

“Kamu kenapa jadi takut istri? Kayak Gavin dong punya istri tuh yang nurut sama suami.”

“Terserah ibu saja,” ucapku

Akhir-akhir kurasa kepalaku sering sekali merasa sakit. Apa lagi kali ini, bahkan masalah Arnav saja masih belum selesai. 

Memikirkan ibu yang semakin tak masuk akal dan bertindak semaunya, aku lebih memilih meninggalkan rumah dan menyusul Nada ke kantor polisi. Namun, di sana Nada justru tengah bicara pada seorang laki-laki dengan pakaian hoodie hitam dan masker yang menutupi sebagian wajahnya. 

Yang lebih tidak masuk akal, dia bahkan menggunakan kaca mata hitam meski di ruangan tertutup. Aku berinisiatif untuk mendekat ke arah mereka yang tampak serius. Sampai-sampai, Nada bahkan tak menyadari keberadaanku..

“Kamu suaminya?” tanya pria itu.

“Anda ini siapa? Kenapa cara bicara Anda seperti itu?” ucapku.

“Dia orang tua korban,” lirih Nada.

Ya Tuhan, gara-gara menenangkan Ibu aku sampai lupa harus bertemu dengannya.

“Kenapa kamu enggak menghubungiku, Nad? Kamu enggak perlu bertemu dengannya sendirian,” bisikku.

“Sudahlah bukankah Mas sibuk sama urusan Ibu,” ucap Nada sangat halus, tetapi begitu menusuk.

“Maaf, karena saya sedikit terlambat,” ucapku.

Namun, pria misterius itu yang justru memandangku dengan pandangan yang merendahkan. Ia bahkan menepuk tangannya sambil membuka kaca mata yang sejak tadi tersemat di wajahnya. Bisa kulihat jika ia menertawakan kami di baik maskernya itu.

“Anak yang berbakti, tapi enggak tahu cara melindungi anak dan istri. Bagaimana kalau aku meminta sesuatu dengan istrimu sebagai ganti, karena perbuatan anak Anda?”

“Seharusnya Anda cukup bijak, untuk tidak melakukan hal seperti itu!”

“Ya, tentu saja. Setidaknya saya tidak pernah berlindung di punggung perempuan. Didik anak Anda dengan benar!”

Pria itu lantas pergi begitu saja, tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan tanda tanya besar tentang apa yang telah ia minta pada Nada, sebelum aku datang ke tempat ini.

Namun, begitu aku berbalik. Nada sudah tak ada di sana. Aku mencarinya ke dalam dan rupanya ia tengah menggandeng putranya yang tampak pucat dan kelelahan.

“Biarkan saja aku di sini Bun, aku memang pantas mendapatkan pembinaan ini. Bunda enggak perlu menghabiskan tabungan demi Arnav.”

“Tempat kamu bukan di sini, Bunda mau ajak kamu ke tempat yang lebih indah.”

“Kenapa Bunda enggak marah, padahal aku udah jadi anak yang nakal?”

“Kamu mau ajak dia ke mana, Nad? Bukankah dia masih harus tinggal? Aku bahkan belum membayar denda. Atau jangan-jangan …, apa yang kamu janjikan sama laki-laki itu? Jawab,Nad! Apa kamu menyerahkan tubuhmu padanya? bisa-bisanya kamu bertingkah seperti itu!”

"Kenapa enggak kamu ceraikan saja istrimu Zayn, bukankah dia sangat murahan?" 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Nada butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi mertua nya yang toxic
goodnovel comment avatar
Ali Irmansyah
gak paham.. cerita koq langsung loncat..
goodnovel comment avatar
Dhhe Ma
teu nyambung ujug2 ka carita akang dadan jg yasmin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status