Share

Bab 8a

“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh mau juga pada ikut suaminya.”

“Ya memang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.”

“Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.”

“Memangnya salah kalau suami mengantar istrinya pulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. 

Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku.

“Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?”

“Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutkanku.”

“Lah, di mana-mana nikah ya harus punya anak. Emangnya kalian kalau udah tua mau ngandelin siapa kalau bukan anak cucu.”

“Sudahlah Kang, mending aku pulang sendiri. Akang di sini saja sama ibu.”

Aku yang terlanjur emosi. Mendadak menarik paksa koper yang saat itu dalam genggaman suamiku. Lantas mulai memasukkannya ke bagasi.

Aku tak peduli lagi bagaimana reaksi suamiku. Apakah di akan tetap ikut denganku atau bertahan di sini. Aku sudah sangat muak dengan semua drama yang dibuat ibu mertuaku. Ia bahkan masih saja membanggakan anak perempuannya yang hanya bisa menyalahkanku setiap kali terjadi apa-apa dengan ibu.

Yang kerjaannya hanya bisa mengirim uang ratusan ribu rupiah dengan harapan bisa membantu biaya pengobatan ibu. Padahal, apalah arti uang yang tak seberapa itu, jika yang dibutuhkan adalah kehadirannya. Di saat sakit, bahkan ibu akan bertambah cerewet. 

Seolah penyakitnya datang dariku. Sudah tahu punya asam urat dan darah tinggi. Ia masih saja makan sembarangan, terkadang jika ada perkumpulan orang lain makan bakso ia pun ikut juga. Lantas, besoknya langsung mengeluhkan pusing kepala dan lain-lain.

Kau tahu apa yang dia katakan selanjutanya. Ia bilang ke semua orang kalau akulah penyebab utama sakitnya kambuh. Padahal, ia yang cari penyakit sendiri.

Tok tok!

tepat saat aku sudah ada di dalam mobil dan hendak pergi sendiri. Kang Dadan justru mengetuk kaca jendela dari arah luar.

“Buka!” pintanya.

“Apa lagi? Udahlah Akang disiniin aja, lagian haram hukumnya suami manjain istri.”

Astaghfirrullahaladzim, kalau kamu pergi Akang juga pergilah. Bukain pintunya!” pintanya lagi.

“Kalau kamu enggak bukain pintunya ya sudah Akang berdiri di depan!”

Dan benar saja pria itu malah nekat berdiri di depan.

Dari arah dalam. Ibu bahkan berteriak.

“Kamu ini gila ya, suamimu mau ditabrak?” ucap Ibu.

Anak dan ibu sama saja, kenapa sama-sama menyebalkan. Saat itu aku jengkel bukan main, jadi dari pada berlarut-larut aku memilih untuk keluar.

“Dadan sama Yasmin mau pergi, kita pamit dulu!”

“Ya sudah tinggal pergi aja!”

Setelah acara pamitan yang begitu dramatis. Akhirnya kami bisa meninggalkan rumah yang seperti neraka itu.

Di perjalanan, sudah sepuluh menit berlalu. Namun, aku masih memilih untuk menutup rapat-rapat mulutku. Bukan apa-apa hanya saja kesabaranku benar-benar dikuras habis. 

“Salat magrib dulu ya, Sayang!”

“Terserah,” ucapku.

“Udah dong jangan marah terus, ‘kan kita mau ke Bali.”

“Palingan sebentar lagi juga ibu telepon kata suruh pulang, kalau enggak sakit kepala ya bilangnya enggak bisa jalan. Asam uratnya kambuh.”

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Bunda Widi
padahal cerita di awal bagus.... ayooo Thor segera di edit
goodnovel comment avatar
evie kasmini
ganti baca yg lain aja ,bikin bingung ngabisin koin tp kacau
goodnovel comment avatar
evie kasmini
cerita alur, dan tokohnya berubah bikin binging dan inilah cerita Terburuk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status