“Aku mengizinkannya Al, lakukan saja!”
“Terima kasih Nad. Kalau, kamu masih bingung mau pilih yang mana. Besok staff yang menjual perhiasannya akan datang ke rumahmu. Pilih saja yang kamu suka.”
“Bagaimana kalau seleraku enggak sesuai sama kamu?”
“Aku yakin pilihanmu pasti yang terbaik.”
“Baiklah. Aku akan pilih yang termurah kalau begitu.”
“Nad, yang benar saja. Aku akan meminta staff untuk enggak mencantumkan harganya.”
Aku sampai dibuat terkekeh dengan kepanikan Ali. Ada apa dengannya, padahal aku hanya bercanda.
“Kenapa malah ketawa? Aku serius juga.”
“Uangmu pasti banyak sekali Al, sampai-sampai membuangnya dengan begitu mudah.”
“Siapa juga yang sedang membuang uang, jelas-jelas aku sedang membelikanmu mahar. Apa kamu akan membuang mahar setelah akad berlangsung? Enggak mungkin ‘kan.”
Tak pernah terbayangkan aku akan sesakit ini mendengar kabar pernikahan Nada dengan Ali yang disampaikan langsung oleh Arnav. Putraku tak lagi menentang hubungan mereka. Aku tidak tahu, kapan tepatnya anak it berubah pikiran. Padahal, jelas saat ia datang untuk membantu acara tahlilan ibu, aku melihatnya begitu antusias menjodohkanku kembali dengan Bundanya.Bagaimana bisa ia berubah secepat itu?Ia bahkan mengatakan padaku, jika akan jadi pengantar pengantin, kala Bundanya menikah. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah ia mengatakan itu semua dengan bangga.Aku yang menghidupinya selama ini. Kenapa ia malah lebih percaya pada orang lain yang justru baru ia kenal.Sejujurnya aku masih tak percaya jika Nada benar-benar menikah. Jadi, hari di mana akadnya dilangsungkan aku mendatangi hotel tersebut. Sayangnya tak sembarangan orang bisa masuk ke acara pernikahannya. Penjagaannya cukup ketat. Aku bahkan harus check in hanya untuk mendapatkan in
“BUNDA KENAPA BAWEL BANGET SIH! KALAU ENGGAK TAHU APA-APA. DIEM AJA BISA ENGGAK SIH!” sentak Arnav pada Nada istriku. “Minta maaf sama Bundamu, Arnav!”“OGAH!” “Kalian itu apa-apan, namanya anak kecil wajar salah. Kamu juga Nada, anak-anak juga butuh hiburan. Apa salahnya dukung hobi anak. Sudah sana kalian, pergi dari sini!” Ibuku yang berada tak jauh dari sana, lekas memeluk anak laki-laki itu. Tak ada penyesalan di wajah Arnav, padahal saat itu Nada sudah menitikkan air matanya. “Sebagai Bundanya, aku berhak didik anakku ke arah yang benar Bu. Dia bukan anak kecil yang enggak bisa dikasari.” “Tapi, caramu ini salah.” Nada tampak menghela nafasnya, terlihat sekali jika ia berusaha meredam emosi. Sesekali tampak, lengannya meremas erat ujung piyamanya. “Lebih pengalaman aku atau kamu, dalam mengurus anak? Lihat suamimu, bisa sesukses ini juga karena didikanku ini benar!" “Enggak ada namanya bekas ibu atau saudara, yang ada hanya bekas istri. Makanya, jangan samakan mertua den
“Kenapa begini, kamu bisa mati. Gila ya!” Aku lekas menggendong Nada yang sudah lemah, bahkan nyaris kehilangan kesadarannya. Gamis berwarna hitam itu bahkan telah berubah warna menjadi lebih pekat, bercampur dengan darah dari pergelangan tangan Nada yang tersayat.Bahkan tanganku ikut gemetar mana kala melihat begitu banyak darah di lantai. Namun, meski begitu Nada masih memberikan perlawanan dengan sedikit tenaga yang tersisa. Ia mencengkeram lenganku dengan tangan kirinya, yang juga ikut berlumur darah, karena sejak tadi ia gunakan untuk menahan tetasan darah itu agar tak terlalu menjejak di lantai.“Jangan bawa aku pergi!”“Gak gini caranya menyelesaikan masalah, kamu enggak punya iman, hah?”Kau tahu bahkan rasanya saat itu tulangku seperti dipatahkan. Sakit sekali melihatnya tak berdaya. Seharusnya sejak awal aku tak membiarkan masalah ini berlarut-larut. Aku benar-benar tak peduli penolakan Nada. Sambil berlari secepat yang aku bisa, aku membawa tubuhnya ke mobil, tanpa memed
“Aku ada urusan sebentar, tolong jangan melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri!” ucapku.Namun, sepertinya Nada benar-benar tak peduli. Jangankan menjawab, ia bahkan kembali memejamkan matanya.Aku merasa lebih baik ia tak tahu masalah ini. biarlah dia berpikir kalau aku mendatangi ibu, karena hal lain. Dari pada anak nakal itu kembali membuatnya sakit hati, hingga memancingnya melakukan hal-hal yang mengerikan.Aku buru-buru ke kantor polisi. Rupanya di sana bukan hanya Arnav yang ditangkap ada banyak remaja yang ikut diamankan. Aku menghampiri ibu yang terduduk lesu, bersama wali murid lain yang anaknya ikut diamankan di kantor polisi.“Di mana anaknya, Bu?” tanyaku.“Lagi di intogerasi, di dalam, hiks. Bagaimana ini Zayn, Arnav masih kecil. Masa depannya masih panjang. Kasihan dia kalau harus masuk penjara?”“Memangnya Arnav habis melakukan apa sampai ditahan?”Ibu hanya terdiam begitu juga dengan wanita yang sejak tadi berada di sampingnya. Sampai seorang polisi mendat
“Sudah enggak bisa didik anak, enggak punya iman. Sekarang malah punya anak dari laki-laki lain.”Ibu masih saja bersemangat membicarakan Nada. Tanpa peduli, apa yang dia katakan seolah sebuah kebenaran atau bukan.“Ibu yang seharian di rumah, memangnya Nada sering keluar rumah tanpa seizinku?”Saat itu pandangan ibu mendadak membulat, tampak seperti orang yang terkejut. Sesekali ia juga menggaruk tengkuk.“Ya, jelas ibu tahu. Orang kemarin aja abis ke mana coba? Dari siang sampai sore keluyuran enggak jelas. Bilangnya mau beli sayur, tapi masa lama banget. Coba kalau enggak ketemuan sama selingkuhannya. Ngapain lagi?”Benar juga, kemarin hampir seharian dia berada di luar. Meskipun ia mengatakan baru saja mengatakan habis menabrak mobil orang, bukankah sedikit tidak masuk akal. Siapa juga di zaman yang serba uang ini, orang dengan mudahnya mengikhlaskan mobilnya rusak begitu saja.Sebaiknya aku menemukan Nada, untuk memperjelas semuanya.“Baru sadar ‘kan kamu kalau istrimu itu main b
“Apa maksud kamu bicara seperti itu, Nada?”Kau tahu, saat itu ia bukan sedang berteriak melainkan bicara dengan begitu halus dan lembut. Namun, kenapa terasa menusuk.“Istri yang seperti itu mau kamu bela Zayn, dia bahkan enggak menghormatimu lagi.”“Satu hal yang enggak pernah bisa aku mengerti dari keluarga ini? Jika ibu sendiri enggak bisa berjauhan dengan Mas Zayn kenapa sejak dulu Ibu selalu melarangku mendidik Arnav? Dia anakku juga. Bukankah ini enggak adil?”“Oh, jadi sekarang kalian kompak menyalahkan ibu.”“Aku bukan sedang menyalahkan. Hanya bertanya, kalau memang pertanyaanku ini menyinggung perasaan Ibu, aku minta maaf.”“Sekarang kamu berani ya, bentak Ibu seperti ini. Lihat istrimu, Zayn! Wanita yang selalu kamu banggakan ini bahkan enggak menghormati ibumu sama sekali.”“Aku enggak membentak, apa nada bicaraku kasar? Aku hanya bertanya atas sesuatu yang tidak aku mengerti. Apa itu salah?”“Nad, sudahlah! Salahkan saja aku, aku yang memang dari awal enggak tegas sama a
“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah enggak diajak jalan-jalan?” tanya salah se