“Sudah enggak bisa didik anak, enggak punya iman. Sekarang malah punya anak dari laki-laki lain.”
Ibu masih saja bersemangat membicarakan Nada. Tanpa peduli, apa yang dia katakan seolah sebuah kebenaran atau bukan.
“Ibu yang seharian di rumah, memangnya Nada sering keluar rumah tanpa seizinku?”
Saat itu pandangan ibu mendadak membulat, tampak seperti orang yang terkejut. Sesekali ia juga menggaruk tengkuk.
“Ya, jelas ibu tahu. Orang kemarin aja abis ke mana coba? Dari siang sampai sore keluyuran enggak jelas. Bilangnya mau beli sayur, tapi masa lama banget. Coba kalau enggak ketemuan sama selingkuhannya. Ngapain lagi?”
Benar juga, kemarin hampir seharian dia berada di luar. Meskipun ia mengatakan baru saja mengatakan habis menabrak mobil orang, bukankah sedikit tidak masuk akal. Siapa juga di zaman yang serba uang ini, orang dengan mudahnya mengikhlaskan mobilnya rusak begitu saja.
Sebaiknya aku menemukan Nada, untuk memperjelas semuanya.
“Baru sadar ‘kan kamu kalau istrimu itu main belakang?”
“Sudahlah Bu, yang terpenting sekarang aku harus bisa menemukan Nada dulu.”
“Buat apa dicari, istri sudah begitu. Masih saja kamu pedulikan dia.”
“Kami masih suami istri, ada pun kami harus berpisah. Aku enggak bisa meninggalkannya begitu saja. Emang sebagai wanita Ibu mau diceraikan Ayah begitu aja?”
“Kenapa kamu jadi bahas-bahas masalah itu. Ibu enggak suka ya, kamu bahas ayahmu itu.”
“Jika Ibu enggak mau diperlakukan seperti itu, cobalah untuk mengerti Nada sedikit. Setidaknya biarkan dia menjelaskan semuanya padaku.”
“Ibu ikut cari Nada!”
“Jangan, pulang saja. Aku masih belum tahu keberadaannya. Jadi lebih baik, tunggu di rumah. Ini bukan masalah kecil. Tolong kasih aku waktu buat sendiri. Bisa ‘kan?”
“Kamu ini, jadi laki-laki kurang tegas. Anak sama istri sama-sama enggak benar!”
Saat itu untunglah ibu memilih meninggalkan rumah sakit tanpa banyak kata lagi. Sungguh aku sangat lelah hari ini.
Namun, tak menunggu lama, seseorang justru muncul dari belakang pintu. Ia menatap dengan wajah yang datar, nyaris tanpa ekspresi,
“Sejak kapan kamu di situ?” tanyaku.
“Enggak penting.”
Sambil memegangi selang infusnya, ia kembali meneruskan langkah menuju ruangannya.
Aku berusaha membantunya menyematkan infusan pada tempat semula. Sedang, Nada masih terduduk sambil memastikan benda itu terpasang dengan benar.
“Kamu mendengar semuanya ‘kan? Bisakah kamu jelaskan sekarang?” tanyaku lagi.
“Untuk apa menjelaskan pada orang yang enggak mempercayaiku.”
“Aku enggak akan menuntutmu penjelasan detik ini, kalau aku mempercayai apa yang dikatakan ibu.”
“Oh.”
“Hanya itu? Seharusnya kamu bisa membela diri ‘kan? Kenapa malah pasrah?”“Terserah Mas aja, mau percaya siapa. Aku enggak peduli.”
“Kamu benar-benar menyerah sama pernikahan kita?”
“Kalau aku bilang iya, apa yang akan kamu lakukan?”
“Kamu tahu aku enggak akan melepaskanmu. Bagaimana pun caranya.”
“Egois.”
“Aku anak laki-laki, Nada.”
“Aku tahu.”
“Jadi, mengertilah posisiku!”
“Kapan aku enggak mengertikan posisimu?”
“Oke, salahkan saja aku! Tapi, bisa ‘kan ke depannya kamu enggak melakukan hal aneh lagi. Terlebih kamu sedang mengandung.”
Aku menatap perutnya yang kini bahkan terlihat lebih kurus. Entah apakah dia makan dengan benar atau tidak. Kenapa bisa aku baru menyadari sekarang, jika Nada telah kehilangan banyak berat badannya.
“Buat apa kamu peduli, bukankah kamu meragukan janin ini?”
“Aku tahu kamu bukan wanita yang seperti itu.”
“Seharusnya kamu katakan itu di depan ibu.”
“Kamu tahu ibuku enggak akan pernah berhenti bicara dengan mudah, selain membiarkan dia percaya kalau aku setuju dengan perkataannya, apa lagi yang bisa aku lakukan? Aku hanya mengkhawatirkanmu.”
Saat itu aku melihat Nada memalingkan wajahnya. Ia tampak menyunggingkan bibirnya, lalu kembali berbaring dan memunggungiku.
“Maafkan aku, enggak bisa bela kamu di depan ibu.”
“Hm.”
“Kamu ingin aku telepon Abah?”
“Enggak perlu.”
“Baiklah, kalau begitu Mas di sini tunggu kamu sampai sembuh. Oh ya, kamu mau makan apa? Katakan saja, Mas akan belikan buat kamu. Barangkali kamu mau buah mangga muda atau kedongdong. Bukankah dulu kamu suka buah yang asam? Mas belikan saja, ya?”
“Aku cuma istirahat. Pergilah bekerja atau temani ibu di rumah. Aku merasa lebih baik sendirian di sini.”
Kenapa kamu masih begitu keras Nad, tahukah kamu jika anak kita sekarang telah melakukan kesalahan yang fatal. Aku sungguh ingin memarahinya Nada, tak bisakah kamu memaafkanku? Kalau bukan padamu, bersama siapa lagi aku akan mendapatkan ketenangan?
Saat itu dokter datang. Ia mengatakan jika Nada sudah bisa dibawa pulang. Hanya saja ia tidak diperkenankan melakukan pekerjaan yang berat-berat.
Hari itu juga aku mengantar Nada untuk pulang. Namun, mengingat sikap ibu yang begitu keras kepala. Aku sedikit khawatir jika mungkin, wanita itu akan mempersulit istriku untuk ke sekian kali.
Tiba di rumah, aku berinisiatif memapah Nada, meski berkali-kali ia menolak.
“Sudahlah Mas, aku bisa jalan sendiri!”
“Jalanmu aja masih sempoyongan, menurut aja, oke!”
Selain pasrah, Nada tak punya pilihan lain. Di ruang tamu tampak ibu sudah menyambut Nada dengan tatapan masamnya.
“Masih hidup aja!” sindirnya.
“Bu, sudahlah! Maksudnya apa bicara seperti itu?”
Nada hanya diam saja, sepertinya ia benar-benar tak peduli. Atau memang sudah terlalu lelah? Terkadang aku mempertanyakan apa yang sebenarnya ada dalam benaknya. Ia selalu tampak kuat dari luar. Namun, secara tiba-tiba melakukan sesuatu yang mengejutkan.
“Kita ke kamar aja, Sayang!”
“Permisi, Bu!” sapa Nada ramah.
Ia bahkan masih saja berusaha meraih lengan ibu, untuk sekedar bersalaman dengannya. Meski, kenyataannya ibu terlihat seperti ogah-ogahan.
“Omongan ibu enggak perlu dimasukkan ke hati ya, anggap aja hanya angin lalu.”
“Hm.”
“Istirahat, tubuhmu masih terlalu lemah. Enggak perlu masuk, selama kamu belum baikkan. Kita pesan makanan saja, oke?”
“Terserah.”
“Jangan terserah, dong! Senyumnya mana?”
Bukannya tersenyum, Nada justru memalingkan wajahnya. Kau tahu dia bahkan sudah seperti raga tanpa jiwa. Tatapannya, wajahnya sudah seperti tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di sana. Aku mungkin berhasil menyelamatkan nyawanya, tetapi tidak dengan jiwanya. Ia seperti tertinggal entah di mana.
“Sudah mau maghrib. Kenapa Arnav belum kelihatan?” tanya Nada.
Sungguh aku bahkan belum menyiapkan jawabannya. Tak mungkin rasanya, mengungkap kejadian yang sebenarnya.
“Dia sekolah ‘kan?”
“Kenapa diam, Mas?”
“Bolos lagi?”
“Alah, tinggal jawab aja apa susahnya toh! Anakmu itu tertangkap polisi lagi tawuran! Makanya kalau jadi orang tua itu yang tegas, baru anak satu aja enggak bisa diatur, mau tambah anak lagi.”
Dari arah luar terdengar suara Ibu. Mungkinkah wanita itu mencuri dengar pembicaraan kami?
Seketika Nada menajamkan pandangan, ia menatapku dengan wajah yang menuntut penjelasan.
“Tenang Sayang, semua enggak seperti yang kamu pikirkan.”
“Memang kenyataannya seperti itu, kok. Mau disembunyikan, buat apa? Biar aja dia bunuh diri lagi, jadi ibu kok lemah. Lihat anakmu jadi begitu, ternyata nyontoh ibunya!”
Ibu masih saja menggerutu dari luar, bahkan suaranya semakin mengeras lagi. Aku bisa melihat tangan Nada langsung gemetar, sekarang bukan hanya tangan bahkan matanya menjadi nanar. Seiring dengan nafasnya yang mulai tak teratur.
Pelan, nada menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Nad, tenang oke. Sudah aku tangani kok.”
Nada benar-benar tak peduli. Sekarang ia malah menutup kedua telinganya. Dengan kedua sudut mata yang basah, sungguh kenapa rasanya begitu sakit melihatnya serapuh ini.
“Tunggu di sini, aku tenangkan ibu dulu!”
Aku mengusap pundaknya, lantas bergegas pergi ke luar, untuk menghentikan ibu yang terus menghujani Nada dengan kalimat yang sungguh tak enak didengar itu.
“Bu bisa enggak sih bicaranya jangan seperti itu. Nada itu istriku, kalau Ibu terus saja bersikap seperti itu, sama saja menyakitiku.”
“Aku juga seorang Ibu, Zayn. Jadi ibu itu harus kuat, jangan lemah!”
“Ya Allah Bu, Nada baru aja keluar dari rumah sakit. Bisa enggak kita bahas nanti.”
“Heh, anak kalian itu di rumah sakit. Kamu malah sibuk ngelonin wanita ini. kamu itu Ayah macam apa? Enggak peduli sama anak sendiri!”
“Ibu sadar enggak Arnav bertindak seperti itu atas dukungan siapa?”
Tiba-tiba saja Nada sudah berada di dekatku.
“Kamu mau nyalahin Ibu? Jelas-jelas kamu orang tuanya. Lihat Zayn, waktu sekolah mana pernah dia ikut tawuran. Dia anak baik. Punya karier yang bagus juga. Jelas didikanku benar.”
“Mas Zayn mungkin sukses menjadi seorang anak yang berbakti, tapi menurutku dia gagal menjadi seorang suami dan ayah untuk keluarganya.”
“Apa maksud kamu bicara seperti itu, Nada?”Kau tahu, saat itu ia bukan sedang berteriak melainkan bicara dengan begitu halus dan lembut. Namun, kenapa terasa menusuk.“Istri yang seperti itu mau kamu bela Zayn, dia bahkan enggak menghormatimu lagi.”“Satu hal yang enggak pernah bisa aku mengerti dari keluarga ini? Jika ibu sendiri enggak bisa berjauhan dengan Mas Zayn kenapa sejak dulu Ibu selalu melarangku mendidik Arnav? Dia anakku juga. Bukankah ini enggak adil?”“Oh, jadi sekarang kalian kompak menyalahkan ibu.”“Aku bukan sedang menyalahkan. Hanya bertanya, kalau memang pertanyaanku ini menyinggung perasaan Ibu, aku minta maaf.”“Sekarang kamu berani ya, bentak Ibu seperti ini. Lihat istrimu, Zayn! Wanita yang selalu kamu banggakan ini bahkan enggak menghormati ibumu sama sekali.”“Aku enggak membentak, apa nada bicaraku kasar? Aku hanya bertanya atas sesuatu yang tidak aku mengerti. Apa itu salah?”“Nad, sudahlah! Salahkan saja aku, aku yang memang dari awal enggak tegas sama a
“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah enggak diajak jalan-jalan?” tanya salah se
“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh mau juga pada ikut suaminya.”“Ya memang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.”“Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.”“Memangnya salah kalau suami mengantar istrinya pulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku.“Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?”“Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutkanku.”“Lah, di mana-mana nikah ya harus punya anak. Emangnya kalian kalau udah t
Dan ajaibnya benar saja. Saat kami telah sampai di masjid untuk menunaikan salat magrib. Ponsel Kang Dadan berdering. Begitu dilihat ternyata panggilan dari ibu.“Angkat aja!” ucapku yang kala itu tak sengajamelihat ke layer ponsel miliknya.“Waktu salatnya bentar lagi mau habis. Nanti ajalah abis maghriban. Biar tenang.”Saat itu memnag waktu sudah menunjukkan pukul 7 kurang 10 menit lagi. Bayangkan saja, ketika orang lain sedang menunaikan salat maghrib kami malah sedang ribut-ribut di luar rumah.Sebenarnya malu, tetapi mau bagaimana lagi? Kurasa tetangga pun sudah hafal dengan kebiasaan ibu yang suka mencari masalah, bahkan kudengar dari Lisa. Sebelum Kang Dadan menikah, mertuaku ini kerap kali mencari masalah dengan tetangga sekitar. Ada saja yang diributkan, padahal hanya masalah sepele.Sekarang setelah ada aku, ia sudah jarang membuat onar di luar. Dan, ya sekarnag akulah yang jadi sasarannya.Entah kena
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
“Ibu tuh cuma lagi panas, karena kamu beliin istrimu mobil. Sudahlah tebelin aja kupingmu!” “Enggak bisalah, kasihan Yasmin. Kalau, aku diem terus masa iya aku biarin anak orang jadi bulan-bulanan ibu setiap hari.” “Susah, udah watak mau bagaimana lagi?” “Nanti aku minta Ismail anterin ibu ke rumah Teteh.” “Emangnya ibu mau dianter Mail?” “Ya, harus mau. Kalau, enggak mau sama siapa di rumah, tahu sendiri ibu penakut.” “Terserah saja, tapi tolong kabari Teteh, kalau udah ibu udah jalan mau ke sini.” “Oke, makasih banyak ya.” “Hm.” Panggilan pun dimatikan. Kau tahu meski nada bicaranya paling ketus. Bahkan raut wajahnya yang jutek, kurasa di antara yang lainnya hanya ia iparku yang tak banyak omong. “Kang….” “Kenapa kok wajahmu sedih begitu?” “Kalau demi membelaku, Akang harus memusuhi semua keluarga. Apa lebih baik aku yang ngalah aja?” “Apa maksud kamu ngomong begit
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny