Share

Ranjang Panas Sang Presdir
Ranjang Panas Sang Presdir
Author: Nuga Reader

Bab 1. Jerat Rival Bisnis

Di sebuah ruangan gelap yang asing, hanya ada satu lilin biru yang menyala sebagai penerangan. Panik, Dara mengedarkan pandangannya untuk mencari jalan keluar. 

"Aku merindukanmu, Dara..." 

Gadis itu berjengit kaget saat sebuah suara khas yang berat berbisik di telinganya. 

Ia segera menarik diri, tapi pria misterius itu dengan cepat meraih lengannya. 

"Siapa kamu?!" tanya Dara dengan nafas tersengal, berusaha melepaskan cekalan di tangannya. “Lepaskan aku!”

"Ssshh!" bisik pria itu berusaha menenangkan. 

Aroma maskulin yang menguar dari tubuh pria itu terasa familiar. Dara mencoba mengingat-ingat di mana ia pernah mencium aroma khas itu, tapi ingatannya tidak menemukan apapun.

Ia berusaha memberontak dengan memukul dada bidang pria itu saat tubuhnya digendong dan dihempaskan ke atas kasur yang empuk.

"Tidak, aku mohon. Jangan lakukan ini. Lepaskan!" ucap Dara frustrasi. Lelehan bening mengalir tanpa permisi dari sudut matanya. Ketakutan menjalar di sekujur tubuhnya hingga membuatnya gemetar.

"Jangan menangis, Dara,” bisik pria itu sambil mengecup sudut mata Dara.

"Tidak!" Dara masih berusaha memberontak. "Lepaskan ak—" ucapannya terputus, dibungkam dengan ciuman lembut pria itu, membuat mata Dara membulat sempurna. 

Pria itu terus mencumbunya penuh rasa, hingga tanpa sadar, Dara tidak lagi memberontak. Pria itu tersenyum di sela-sela ciuman yang semakin lama semakin intens. Jemarinya dengan lihai menelusup ke balik gaun tidur yang dikenakan Dara, bermain di bawah sana, membuat Dara tak sanggup lagi melawan. 

“He-hentikan …" cicit Dara di sela permainan pria itu. Namun, berlawanan dengan bibirnya yang menolak, tubuhnya justru bereaksi sebaliknya. Ia merasakan gelenyar aneh, tak kuasa atas nikmat yang pria itu berikan. 

"Lihat, kau sangat basah, Dara," bisik pria itu. 

Dengan penerangan seadanya, Dara melihatnya tersenyum. Ia mencoba untuk mengenali wajah tampan itu, tapi permainan pria itu mengacaukan akal sehatnya. 

Pria itu semakin gencar, tidak memberikan waktu bagi Dara untuk memproses apa yang terjadi. Saat gelombang putih itu hampir menghantamnya, Dara tersentak.

“Hah hah hah, astaga!” Dara terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal. Jantungnya berdegup kencang. “Mimpi itu lagi?” 

Dara menyugar rambutnya yang terasa lengket karena keringat. Entah sudah berapa kali ia bermimpi hal erotis dengan orang yang sama. Walaupun wajah pria itu tidak jelas, tapi Dara ingat betul suara baritonnya yang khas. 

“Sebenarnya siapa pria itu?” gumam Dara bertanya-tanya. Tapi, lamunannya langsung buyar saat ponselnya tiba-tiba berdering nyaring.

“Halo?”

“Bu, saya sudah telepon Ibu lebih dari 20 kali!” kata Raisa—sekretaris sekaligus sahabatnya—terdengar panik. 

“Jangan berlebihan,” dengus Dara. “Ada apa, Raisa?” 

“Perkebunan teh kita terbakar, Bu. Apinya sulit dipadamkan karena aksesnya sulit dijangkau damkar, terlebih lagi angin sangat kencang membuat api sangat cepat menyebar, Bu. Kita harus bagaimana, Bu?” 

Mendengar kabar itu, Dara bergegas bangun dan merapikan pakaiannya. Ia keluar dari ruang kecil rahasia yang biasa ia gunakan untuk beristirahat di sela-sela kerja.

“Ke ruanganku sekarang. Kita bicarakan di sini. Jangan lupa beritahu direktur produksi dan direktur pemasaran, juga manajer gudang untuk segera ke ruanganku.”

Telepon terputus. Tidak bisa dipungkiri, Dara begitu cemas. Perkebunan itu adalah aset terbesarnya. Hampir 80% supply teh berasal dari perkebunan yang saat ini terbakar. 

'Semoga masih bisa diselamatkan,' batinnya.

Tak lama kemudian, Raisa datang ke ruangannya bersama para direktur dan juga manajer gudang. Mereka duduk di sofa yang berada di ruangan Dara. 

"Baiklah, kita langsung saja ke topik pembahasan. Raisa, bagaimana kabar terkini dari lokasi kebakaran?" tanya Dara kepada sekretarisnya, karena Raisa yang mendapat kabar terlebih dahulu.

"Barusan saya ditelepon oleh Pak Dika, karena beliau kebetulan sedang bertemu mitra di dekat lokasi. Beliau mengatakan bahwa api sudah melahap 90% kebun teh kita, Bu." Raisa nampak sedih sekaligus panik saat mengatakannya.

Dara menarik napas sejenak dan menghembuskannya perlahan. Kondisi seperti ini harus dihadapi dengan tenang.

"Berapa yang harus kita produksi dalam waktu dekat ini?" tanya Dara pada direktur pemasaran.

"100.000 botol, Bu. Sudah kontrak dan sudah masuk pembayaran 75%," jawab pria itu.

“Lalu bagaimana stok persediaan saat ini?" Kali ini, Dara bertanya pada manajer gudang.

"Tersedia 20.000 pieces, Bu. Itu pun yang 5.000 pieces akan dikirim besok. Jadi persediaan ada 15.000, sedangkan bahan mentah hanya ada untuk 1.000 pieces lagi.”

Dara langsung lemas mendengar jawaban dari pria itu. 

"Berarti kita harus memproduksi 84.000 pieces lagi dalam satu minggu. Sedangkan kita tidak memiliki stok sebanyak itu," lirih Dara, yang semula ia berdiri, kini terduduk lemas di kursinya.

"Bu, kalau boleh saya usul. Kita minta bantuan Pak Alvian saja!" ucap Raisa tiba-tiba, menarik perhatian setiap orang yang berada di ruangan itu. 

"Yang benar saja, Raisa! Dia itu rival kita. Mana mungkin meminta bantuan kepadanya?” sahut Dara, menolak ide itu mentah-mentah. 

"Tapi saya setuju, Bu. Jalan kita sudah buntu. Jika tidak segera, perusahaan ini bisa gulung tikar karena bayar denda yang lima kali lipat itu," ucap sang manajer gudang, yang disetujui oleh semua orang dengan anggukan kepala.

Dara menggigit bibir gelisah. Meski enggan, ia harus mengakui bahwa pria itu ada benarnya. 

Tapi, meminta bantuan pada Alvian sama saja dengan mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Membayangkan Alvian merasa menang atas keputusasaannya membuat Dara merasa geram sendiri. 

“Ibu harus segera membuat keputusan. Kita sudah sangat terdesak dan tidak punya pilihan yang lebih baik.” 

Dara pasrah. Ia juga tidak bisa memikirkan jalan keluar lain. Mereka harus bergerak cepat untuk menyelamatkan keadaan. 

Raisa akhirnya keluar untuk membuat panggilan pada Alvian dan menjelaskan kondisi perusahaan Dara saat ini.

"Bu, Pak Alvian meminta Ibu untuk ke kantornya. Tapi hanya Ibu saja," jelas Raisa begitu ia sudah kembali. 

"Kenapa begitu?" tanya Dara bingung. Tapi ia segera gegas meninggalkan mereka semua, menuju kantor Alvian yang letaknya tak jauh dari kantornya.

Beberapa menit kemudian, Dara tiba di sebuah gedung pencakar langit di tengah kota. 

Ia tidak membuang waktu lama untuk sampai di depan ruangan pria yang sangat ingin dihindarinya itu. 

Sekretaris Alvian sudah menunggunya di depan pintu dan mempersilakannya masuk ke dalam ruangan. 

"Permisi, Pak Alvian." Dara memberikan senyuman manis, walaupun hatinya malas untuk melakukan itu.

"Ya, silahkan duduk,” kata Alvian dengan nada datar. “Aku tidak suka berbasa-basi, jadi langsung saja. Aku sudah mendengar semua dari sekertarismu. Aku bisa membantumu dengan meminjamkan perkebunan tehku." 

Dara terkejut mendengar ucapan Alvian yang to the point. Pria itu menatap Dara tanpa senyum sedikit pun di wajahnya, tapi tatapan lekatnya lah yang membuat Dara membeku. 

'Semudah itu?' batin Dara bingung, tapi ada rasa lega karena akhirnya bisa menangani masalah ini.

'Ternyata dia tidak seburuk yang kukira,' batinnya lagi. Dara hendak mengucapkan terima kasih saat Alvian lebih dulu menyela.

"Tapi ada satu syarat," ucap Alvian sambil menyunggingkan seulas senyum miring.

"Syarat? Syarat apa, Pak Alvian?" tanya Dara dengan kening berkerut. 

"Menikahlah denganku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status