Share

Bab 2. Keputusan Gila

“Menikahlah denganku!”

Deg!

Jantung Dara berdetak cepat, dengan keringat dingin mengalir di dahinya. Sedang matanya membulat sempurna, tanpa berkedip menatap Alvian. 

“A-apa? Menikah?!” 

Bagaimana mungkin rival bisnisnya bisa menjadi suaminya? Yang benar saja!

“Iya, itupun kalau kamu mau. Aku tidak memaksa,” kata Alvian dengan wajah datar.

Walaupun suhu di ruangan itu begitu dingin, tapi suasana terasa panas bagi Dara.

“Yang benar saja! Itu tidak ada hubungannya dengan ini, Pak Alvian yang terhormat.” Dara meninggikan suaranya, karena ia begitu geram dengan tawaran yang diberikan, sedangkan ia sangat membutuhkan pertolongannya.

“Aku tidak memaksa Dara,” Alvian sekali lagi mengulangi ucapannya, lalu tersenyum santai menanggapi gadis itu.

“Aku tidak sudi!” sentak Dara kesal. Ia lantas melenggang pergi, membanting pintu ruang kerja Alvian untuk menyalurkan rasa kesalnya. 

Langkahnya terhenti saat ponselnya tiba-tiba berdenting, pertanda apa pesan baru yang masuk. Rupanya itu dari Alvian.

[Kalau berubah pikiran, silahkan datang kembali. Tawaran ini tidak ada masa kadaluarsa!] 

“Hish! Tak akan pernah aku menerima tawaran konyol itu!” gerutu Dara sebelum memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. 

Mengingat bagaimana mudahnya Alvian menawarkan pernikahan seolah itu adalah hal biasa membuat rasa kesal Dara semakin besar. 

“Beraninya dia mempermainkanku?!”

Dara mengendarai mobil menuju kediamannya dengan kecepatan penuh. Sesampainya di rumah, Mbok Susi langsung membuka gerbang.

“Terima kasih, Mbok,” ujarnya setelah turun dari mobil.

“Sama-sama, Non. Oh iya, Non, tadi ada paket lagi,” ucap Mbok Susi sembari memberikan satu buah kotak dan buket bunga daisy merah muda.

“Oh iya, Mbok. Terima kasih ya!”

Dara tampak memperhatikan bunga daisy berwarna merah muda yang dikirim seseorang entah siapa itu, dan membolak-balikkan bunganya, mencari catatan yang mungkin ditinggalkan pengiriman. 

Namun, tidak ada catatan apapun di sana. Dara penasaran dengan isi kotak, dan segera membuka, ternyata isinya lilin biru dan sebuah cincin. Dara mengambil isi kotak itu dan memperhatikannya dengan serius.

‘Apa arti semua ini? Siapa yang mengirimnya?’ batinnya bertanya-tanya. Dara sampai lupa dengan kekesalannya sesaat yang lalu karena kehadiran hadiah misterius itu. 

“Mbok, selama ini siapa yang mengirim paket ini? Kenapa setiap tanggal 21 selalu ada paket seperti ini?” tanya Dara, sembari memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit.

“Mbok juga ngga tau, Non. Kurir ekspedisi yang mengantarnya. Saya udah tanya siapa pengirimnya, dia bilang ngga tau, Non.”

Dahi Dara mengernyit. “Hmm ya sudah kalau begitu. Tolong buang paket ini ya, Mbok. Aku mau istirahat dulu,” kata Dara sambil berlalu. 

Gadis itu duduk di tepi ranjang, memijit keningnya yang berdenyut-denyut. Terlintas bayang-bayang semu, seperti sepasang kekasih yang sedang makan bersama dengan lilin biru.

‘Lilin biru?’ batin Dara tersentak. ‘Ya, lilin biru! Itu juga yang ada di mimpiku tadi saat di kantor. Apakah ada hubungannya denganku?’ 

Dara menggigit bibir gelisah. Apakah mimpi itu ada hubungannya dengan hadiah yang diterimanya?

“Memikirkannya benar-benar menyiksa!” gerutu Dara. Ia merebahkan dirinya di atas kasur.

Hari ini benar-benar menguras energi dan pikirannya. Kebun teh terbakar habis, tawaran Alvian yang gila, ditambah mystery box yang tidak tahu siapa pengirim dan apa maksudnya.

Tiba-tiba, ia teringat mimpinya tadi sore. Mimpi itu terasa begitu nyata, membuat wajah Dara memanas. Ia menyentuh bibirnya, membayangkan bagaimana bibir pria itu memagutnya dengan begitu lembut. 

“Astaga! Apa yang kupikirkan?!” Dara segera menggelengkan kepala untuk menyingkirkan pikiran kotor itu dan menepuk-nepuk pipinya.

Keesokan paginya, tubuh Dara terasa segar, karena tadi malam tidak memimpikan apapun. Dara meregangkan tubuhnya, lalu pergi bersiap untuk bekerja, karena hari ini begitu padat jadwalnya.

Ketika masih dalam perjalanan, Raisa menelpon. Dari suaranya, sekretarisnya itu terdengar panik.

“Halo, Bu. Gawat, semua pemilik saham terus-menerus telepon, Bu. Saya tidak bisa menghadapinya lagi!”

“Matikan semua saluran telepon sekarang. Saya sedang dalam perjalanan menuju kantor!” kata Dara lalu mengakhiri panggilan.

Ia mempercepat laju mobilnya membelah jalan raya. Dara menggigit bibir gelisah, bingung mencari jalan keluar atas masalah ini. 

Kebun teh itu adalah sumber utama untuk produksi white tea kemasan botol di perusahaan. Karena kebun teh terbesar sudah terbakar, maka operasi kantor pun akan berhenti. Belum lagi para customer meminta segera dikirim produk yang telah dijanjikan. Jika tidak dikirim segera, maka perusahaan sudah melanggar kontrak, dan harus ganti rugi sebesar lima kali lipat.

Perusahaan akan benar-benar bangkrut jika sampai terjadi seperti itu. Belum lagi para pemilik saham yang meminta uangnya dikembalikan. Memikirkannya membuat kepala Dara sakit. 

Tak lama, Dara pun sampai di kantor, dan disambut oleh Raisa yang sedikit berlari menghampiri Dara.

“Bu, bagaimana ini? Kemarin gimana, Bu? Apa berhasil meminta bantuan kepada Pak Alvian?” tanya Raisa yang mengikuti bosnya masuk ke dalam ruang kerjanya.

Dara hanya menggelengkan kepala, seketika emosinya membucah mengingat kejadian kemarin.

“Alvian itu sudah gila, Ra! Dia minta syarat yang mustahil aku penuhi,” ucap Dara begitu kesal.

“Memang apa syaratnya, Bu?” tanya Raisa.

“Aku harus menikah dengannya.” Jawaban Dara berhasil membuat mata Raisa membulat.

“Apa?!” Raisa terkejut mendengar penjelasan Dara.

“Gila, kan?!”

Raisa terdiam sejenak. “Tapi kalau dipikir-pikir, itu adalah tawaran yang menarik. Kenapa Ibu nggak terima aja? Toh Pak Alvian itu tampan dan juga mapan. Dari yang saya dengar, dia juga nggak pernah main wanita loh, Bu,” kata Raisa, membuat Dara langsung mendelik padanya.

“Kalau begitu, kamu saja yang menikah dengannya!” sentak Dara kesal. “Sudah, nyalakan kembali sambungan teleponnya!” 

Dengan sigap Raisa meletakkan kembali gagang telepon yang semula ia biarkan terbuka untuk menghindari telepon.

Benar saja, telepon berdering begitu sudah terhubung kembali.

Satu demi satu panggilan terus berlanjut. Semua pihak yang bekerja sama dengan perusahaan meminta pertanggungjawaban sesegera mungkin. Mereka tidak mau ikut dirugikan atas masalah yang terjadi. 

“Iya, Pak. Kami mohon maaf atas musibah ini. Perusahaan kami sedang mengupayakan yang terbaik. Kami akan usahakan kirim pesanan bapak secepatnya, tapi kami mohon kelonggaran waktunya, Pak.”

Dara mendengar Raisa menjawab panggilan dengan salah satu mitra mereka. 

Kedua gadis itu menghela nafas bersamaan saat panggilan berakhir. Mereka sama-sama putus asa. 

“Apakah aku harus benar-benar terima tawaran Alvian?” Dara memijit keningnya yang tampak kesakitan, membuat Raisa tak tega melihatnya.

“Bu, sebaiknya Ibu menemui Pak Alvian, kasihan para karyawan yang menggantungkan nasib pada perusahaan ini.”

“Kamu benar, Raisa. Aku tidak boleh egois. Banyak karyawan yang menggantungkan nasib di perusahaanku. Aku akan menemui Alvian. Selama aku pergi, aku titip kantor kepadamu!” 

Mendengar itu, Raisa tersenyum senang dan menghela nafas lega.

Setibanya di kantor Alvian, Dara mengetuk pintu sekali dan langsung membukanya tanpa menunggu izin dari si empunya kantor.

Melihat Dara datang dengan ekspresi dingin tak membuat Alvian merasa takut. Ia justru menyambutnya dengan sebuah senyum miring. 

“Hai, bagaimana Ibu Dara yang terhormat? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada yang menyebalkan di telinga Dara.

“Aku menerima tawaranmu. Tapi dengan beberapa syarat,” kata Dara to the point, membuat Alvian menaikkan kedua alisnya ke atas.

“Hmm? Syarat yang kuberikan masih belum cukup? Ada syaratnya juga darimu?” katanya sambil terkekeh. “Baiklah, apa itu?”

Dara memberikan kertas perjanjian pernikahan kepada Alvian.

“Apa ini?” tanya Alvian.

“Baca saja!” jawab Dara dengan nada kesal yang tidak bisa disembunyikan.

“Point pertama, kedua, dan ketiga oke. Apa ini point keempat? Tidak ada sentuhan fisik?” tanya Alvian sambil menatap Dara lekat. “Itu sesuatu yang halal dalam pernikahan, Dara.”

Dara menghela napas panjang. “Aku mohon, turutilah permintaanku. Lagipula kita menikah bukan karena cinta. Aku melakukan ini demi bisnisku,” katanya dengan suara bergetar.

Melihat keputusasaan Dara, Alvian justru menyunggingkan senyum miring. “Baiklah. Aku setujui semua yang ada di kertas ini.”

Dara menghela napas lega. Tapi raut wajahnya tampak bingung ketika menatap Alvian. 

“Aku penasaran kenapa syaratnya harus menikah? Apa kau setidak laku itu?” tanyanya dengan polosnya, membuat Alvian terbahak mendengarnya. Tapi tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. 

“Jadi, kapan kamu bisa membantuku? Aku membutuhkannya segera,” desak Dara.

“Sabar, Dara. Aku akan membantumu setelah kita resmi menikah,” ujar Alvian dengan santai, membuat Dara berdecak kesal.

“Kalau begitu, kita menikah saja malam ini!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status