Share

Bab 3. Mimpi yang Dirindukan

“Wow, apakah kau mulai tertarik kepadaku? Sampai ingin secepatnya menikah denganku?” Dengan nada usilnya Alvian menggoda Dara, membuat gadis itu marah. Padahal jelas-jelas Alvian sendiri yang memberi syarat seperti itu.

“Terserah apa kata Anda, Tuan,” kata Dara dengan wajah memerah menahan marah dan juga malu.

“Baiklah, semua akan aku persiapkan. Kita akan menikah di rumahmu,” ucap Alvian dengan tenang.

Tanpa menunggu lebih lama, Dara pun gegas pergi setelah pamit terlebih dahulu. Rasanya, ia tidak ingin berlama-lama di sana.

Setibanya Dara di kantor, tiba-tiba ada panggilan masuk dari Mbok Susi.

[Halo, Mbok?]

[Halo, Non. Ini di rumah ada tamu. Katanya mau mendekor rumah, diperintah oleh Tuan Alvian. Gimana ini, Non?]

Mata Dara melebar setelah mendengar penjelasan Mbok Susi. Dara tidak menyangka, Alvian benar-benar melakukannya dengan cepat.

[Iya, Mbok. Tidak apa-apa. Karena malam saya akan menikah.]

Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, Dara langsung menutup telepon. Ia tahu pasti saat ini Mbok Susi sangat kebingungan dan terkejut, tapi mau bagaimana lagi.

Dara melenggang pergi dari ruang kerjanya setelah ia merapikan semua alat kerjanya. Tak lupa Dara berpamitan kepada Raisa, sekaligus mengundang untuk hadir ke acara pernikahan Dara dan Alvian yang akan berlangsung malam ini.

Begitu sampai di rumah, gadis itu langsung dibondong ke kamarnya oleh beberapa wanita tim MUA suruhan Alvian.

Tidak membutuhkan waktu lama karena pada dasarnya Dara sudah sangat cantik. Dara terlihat seperti putri raja dalam dongeng. Sangat memukau, membuat setiap orang yang melihat enggan untuk memalingkan pandangannya.

Setelah semua siap, dekorasi, catering, dan juga Pak penghulu sudah menunggu. Tepat pukul 7 malam, Dara telah sah menjadi seorang istri Alvian.

Alvian tak berhenti memandangi wajah Dara, dari semenjak pertama kali ia melihatnya. Pernikahan tersebut dihadiri oleh kedua orang tua Alvian, dan paman Dara sebagai wali, karena orang tua Dara sedang berada di New York dalam perjalanan bisnis. Sangat tidak mungkin untuk menghadiri acaranya.

Namun, Dara menceritakan semua permasalahan perusahaan kepada kedua orang tuanya, sehingga mereka memaklumi Dara menikah mendadak demi menyelamatkan perusahaannya.

Ketika Dara bersalaman dengan orang tua Alvian, Ibunya Alvian mencium dan memeluk Dara sengan erat, seperti orang tua yang merindukan anaknya.

“Kamu cantik sekali, Dara,” puji wanita paruh baya tersebut, membuat Dara tersipu.

“Kita makan dulu!” ajak Alvian tiba-tiba, membuat momen singkat itu langsung buyar.

Di meja, Dara mendapati sudah tersedia makanan kesukaannya, sup iga sapi dan jus tomat.

‘Dari mana Alvian tahu makanan kesukaanku?’ Ia bertanya-tanya sambil memperhatikan makanan di hadapannya.

“Tenang saja, sup itu tidak pakai bawang daun. Makanlah!”

Ucapan Alvian membuat Dara menatapnya terheran-heran. Sementara Alvian makan dengan tenang tanpa mempedulikan kebingungan yang melandanya.

“Dari mana Anda tahu makanan kesukaan saya? Dan tahu, saya tidak suka bawang daun?”

“Hampir semua wanita menyukai sup Iga dan juga tidak menyukai bawang daun.” Al menjawab dengan wajah datarnya. Namun, setelah pandangan Dara mengarah pada yang lain, Alvian menampakkan senyum tipis.

“Hmm,” ucap Dara sembari menganggukkan kepala. ‘Wajar saja dia tahu, dia kan dekat dengan banyak wanita,’ batin Dara.

Setelah acara selesai dan semua tamu undangan pamit pulang, Dara berkeliling rumahnya yang masih terpasang dekorasi mewah.

“Terima kasih, Dara. Semoga kita bisa menjadi keluarga yang baik,” ucap Alvian yang tiba-tiba muncul dari belakang.

“Ke-keluarga?” Dara mengangkat kedua alisnya. Tak bisa dipungkiri, jantungnya berdetak kencang.

“Maksud saya, semoga kita bisa jadi kolega yang baik,” kata pria itu sembari mengulurkan tangan.

Meski masih heran, Dara lantas mengangguk paham seraya tersenyum. Ia lalu melepas jabatan tangan mereka.

“Kalau begitu, mari kita istirahat. Saya antar ke kamarmu!” kata Alvian sambil melangkah terlebih dahulu. Belum sempat Dara bertanya, ia sudah berada jauh di depan.

Dara mengikutinya, lalu pandangannya tertuju pada lilin biru yang berjajar di sepanjang lorong menuju kamarnya. Seketika pandangannya nampak kabur dan samar. Kepalanya berdenyut saat kilasan-kilasan memori yang entah dari mana datangnya menghantam bertubi-tubi.

“Akh!” Dara meringis sambil memegangi kepalanya yang terasa seperti ditusuk seribu jarum.

“Dara!” Alvian dengan sigap memegang tubuh Dara yang limbung.

Alvian langsung menggendong gadis yang tidak sadarkan diri itu, dan membawanya masuk ke dalam kamar. Tubuh Dara yang mungil ia baringkan di atas kasur.

“Dara …. sadarlah! Dara!” Ia mengusap kepala Dara dengan lembut, lalu membubuhkan minyak kayu putih.

Tak lama kemudian, Dara mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Ah ... kepalaku sakit sekali,” katanya dengan suara lemah, sambil mengernyitkan dahi dan memegangi kepalanya. Gadis itu mencoba bangun saat melihat Alvian.

“Jangan banyak bergerak dulu Dara. Berbaringlah, istirahat,” ujar Alvian sambil membantu Dara untuk kembali berbaring.

“Aku di mana ini, Pak?”

“Di kamarmu,” jawab Alvian, raut wajahnya masih tampak khawatir.

“Apa yang Bapak lakukan di kamarku?”

Dara ingin bangun lagi, dan kali ini Alvian membantunya. Tapi wajah mereka terlalu dekat, mata mereka bertemu cukup lama di posisi itu membuat hati Dara berdesir.

‘Mata pria ini, entah kenapa sepertinya sangat kukenal…’ Dara bergumam dalam hati.

Ia merasa heran, mengapa hatinya merasa aneh saat bersama Alvian?

‘Tidak! Aku tidak boleh suka padanya!’ batin Dara, sambil mendorong Alvian menjauh darinya.

“Maaf. Tapi aku tidak melakukan apapun, hanya menunggumu bangun,” kata Alvian saat melihat Dara begitu defensif.

“Sebaiknya Bapak pergi dari—”

“Berhentilah memanggilku Bapak,” sela Alvian. “Aku suamimu, Dara, bukan bapakmu. Panggil Al saja.”

Dara mengerjapkan matanya dua kali. “Kenapa aku harus panggil begitu? Kita hanya rekan bisnis,” jawabnya ketus.

Alvian tidak langsung menjawab. Ia menatap Dara lekat, ada keseriusan dalam nadanya ketika dia berkata, “Karena aku ingin lebih dekat denganmu, Dara.”

Jantung Dara seperti melompat ke perut saat mendengar ucapan Alvian. Namun, ia segera menepis semua pikiran yang berkecamuk, tidak ingin salah mengartikan ucapan pria yang notabene adalah rival bisnisnya sendiri.

“Maaf, Pak. Saya tidak tertarik,” ujar Dara sambil memalingkan wajah ke arah lain karena Alvian terus menatapnya lekat.

“Baiklah,” kata Alvian. “Sebaiknya kamu istirahat, Dara.”

Setelah mengatakan itu, Alvian langsung keluar dari kamar Dara tanpa menoleh lagi.

Mata Dara terbelalak atas sikap ‘suaminya’ itu. Setelah tadi ia mengatakan ingin mendekatinya, sekarang bahkan pergi tanpa permisi!

“Maunya apa sih!” Dara menggerutu sebal.

Sementara itu, Alvian berlalu pergi ke kamar mandi, menghidupkan kran shower. Ia berdiri di bawahnya, membiarkan air dingin mengguyur tubuhnya yang terasa panas.

“Sial!” Alvian memaki tertahan sambil meninju dinding di hadapannya.

“Seandainya kamu tahu, Dara …” bisik Alvian sambil memejamkan mata, berusaha menenangkan diri.

Tak lama kemudian, Alvian menyudahi mandinya setelah badannya tidak lagi terasa panas. Alvian berpakaian santai, keluar dari kamarnya dan berjalan ke arah kamar Dara.

“Dara? Kamu sudah tidur?” tanya Alvian sambil memasuki kamar yang tampak gelap gulita.

Alvian tahu, Dara memang tidak suka tidur dengan lampu menyala.

Pria itu lantas menyalakan sebuah lilin berwarna biru dengan aroma yang khas … aroma yang bisa membangkitkan gairah sensual.

Setelah itu, Alvian menghampiri Dara yang masih terlelap. Ia duduk di tepi kasur, memandang wajah cantik istrinya. Tangan Alvian terulur untuk membelai pipinya yang mulus, ada perasaan rindu yang terpancar di sepasang matanya.

Merasakan ada sentuhan, Dara tampak menggeliat. Detik berikutnya, matanya mengerjap terbuka.

Ia tampak bingung. Tapi tidak bereaksi apapun saat merasakan keningnya dikecup oleh pria yang tak bisa ia lihat dengan jelas wajahnya.

Kecupan itu turun ke hidung, kedua pipinya, hingga akhirnya berhenti di bibir.

Dara mengerjapkan mata beberapa kali.

‘Ah, aku bermimpi lagi?’ batinnya.

Dara tidak melakukan penolakan saat pria itu melumat bibirnya dalam. Ia justru kembali memejamkan mata, menikmati sentuhan yang membuatnya terbuai.

‘Aku nikmati saja … toh ini hanya mimpi …’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status