Share

Rainy Season
Rainy Season
Author: Kingvillage

1. Welcome to Nusantara

2017

Aku meihat sekelilingku, daerah yang kutempati. Tidak banyak penghuni yang tinggal disini. Beberapa rumah yang kulihat dari sini jaraknya cukup jauh.

Aku kembali melihat sekelilingku. Hanya ada gumpalan salju. Merasakan ketenangan ini cukup membuatku nyaman. Namun aku ingin merasakan hal baru.

Kesepian yang aku rasakan sudah terlalu lama. Aku terkurung dirumah ini, sendiri. Dengan semua fasilitas yang mereka berikan aku tidak dapat mengusir kesepian ini.

Temanpun hanya melalui email karena jarak mereka yang terlalu jauh.

Aku menguatkan tekadaku, aku akan merubah keadaan ini.

Bukan karena aku tidak menyayangi mereka, mungkin ini bisa disebut sebagai pemberontakan atas sikap mereka kepadaku. Yang aku inginkan hanya sedikit rasa peduli mereka.

Kekanak-kanakan? Mungkin saja. Untuk gadis berumur 18 tahun hal yang wajar menginginkan perhatian lebih dari mereka.

Ya, yang aku sebut mereka adalah orang tuaku. Orang yang sangat sibuk dengan dunianya sendiri. Sejak menginjak umur 9 tahun, aku dan Kakakku selalu ditinggal. Entah itu pekerjaan ataupun  keperluan lainnya. Dalam seminggu aku hanya bisa melihat mereka hanya sepersekian jam.

Lalu? Untuk apa aku ada disini? memikirkannya saja membuatku kesal.

Aku mencari cara bagaimana aku bisa pergi dari tempat ini. Tabunganku mungkin akan cukup hanya untuk satu kali perjalanan.

Keputusan sudah kubuat, aku akan menerima konsekuensi dari semua yang aku lakukan. Mereka tidak akan menyadari keberadaanku juga. Aku sangat yakin akan hal itu.

Mom, Dad. I’m Sorry. I will go. I hated what was happening. Please do not look for me, because I want to  be independent  and I can save myself well. Don’t  worry for me. I don’t  forget  every moment with you.

I love you mom.

I love you dad.                                        

You’re child

     Yuri

Pikiranku melayang entah kemana. Memikirkan hidup yang tidak berarti apa-apa. Di dunia ini aku seperti orang yang hanya tinggal sendirian. Tak ada warna yang hidup di dalam diriku. Hanya gelap, hitam dan penuh dengan sesak.

Aku tidak tahu kenapa aku harus pergi dari tempat yang begitu kusukai ini. Tempat yang menjadi favorite ku. Salju terus turun dari langit, dan suasana yang begitu dingin.

Kutulis surat itu dengan cepat, kubereskan semua pakaian dan memasukkan kedalam koper. Aku tak pernah berfikir akan pergi dari rumah ini. Tepatnya Greenland.

Tujuanku adalah Seward, bukan nama kota di daerah Amerika ataupun akuarium raksasa dengan banyak ikan. Seward nama Kakak-ku satu-satunya.

Sikapnya memang menyebalkan, tapi dibalik itu semua dia begitu menyayangiku dan dia juga mengerti bagaimana perasaanku.

Yang aku tahu dia sekarang tinggal di Nusantara, tepat di garis khatulistiwa di dalam planet ini.

Seward juga pergi dari rumah, persis sepertiku. Seward selalu berfikir bahwa Mom dan Dad tidak menyayanginya lagi karena sibuk oleh pekerjaan mereka sendiri. Tak pernah memperhatikan kami.

Seward adalah orang yang sangat jenius, entah bagaimana dia bisa menyelesaikan Study nya dengan cepat.

Jadi setelah seward lulus dari perguruan tinggi di fakultas manajemen bisnis, dia pergi dari rumah.

Seward juga pernah mengajakku pergi dari rumah, tapi saat itu aku masih berumur 15 tahun dan aku menolaknya.

Hampir saja aku menggagalkan semua rencananya, aku begitu menyesal karena tak mendengarkan ucapannya. Dan ikut pergi bersamanya.

Saat itu aku tidak mengerti dengan ucapan yang Seward ucapkan tentang orang tua kami, aku kira itu hanyalah perasaannya saja. Namun setelah Seward pergi dan beberapa bulan aku tinggal dirumah bersama mereka. Aku merasakan hal yang sama.

Dirumah meskipun mereka ada didekatku tapi yang kurasakan hanya keheningan. Tidak seperti layaknya keluarga yang lainnya.

Perjalananku dari Greendland ke Nusantara cukup lama, aku tak sabar ingin melihat Seward. Dua tahun terakhir ini dia tak pernah datang menemuiku ke Greendland. Rasanya aku sangat merindukannya.

Aku turun untuk yang pertama kalinya di bandara yang tidak kukenal, yang terlintas difikiranku hanya Seward. Setelah menukar sejumlah uang  aku mencari bilik telepon agar bisa menghubunginya.

“Hallo,” Suaranya sudah begitu kukenal.

“Hallo Se ... mmm, Kak aku ada dibandara.”

“Bandara? Kou becanda?” Terdengar nada cemas dalam suaranya. Hanya dengan beberapa kata dia sudah tahu bahwa itu adalah suaraku.

“Yah, bandara yang begitu asing menurutku. Bandar Udara International Soekarno-Hatta. Dan aku tidak becanda. Aku datang menemuimu,” Aku membaca plang yang ada didepanku.

“Ok. Kalau begitu kau tunggu sebentar. Aku segera menjemputmu.”

Suaranya terdengar antusias. Dan itu memang benar, tapi bukan dia saja yang antusias. Aku lebih antusias lagi bisa bertemu dengannya setelah dua tahun lebih tidak bertemu.

***

Wajahnya selalu teringat setiap kali aku merindukannya. Apakah dia masih sama seperti dahulu? Atau dia sudah sedikit lebih tampan? Aku tersenyum geli memikirkannya. Yang pasti sikapnya akan selalu menyebalkan. Aku sangat yakin akan hal itu.

Pertanyaanku sebentar lagi akan terjawab. Dan ternyata dia masih sedikit mirip seperti di umur 18 tahunan, tingginya 180 cm. Hanya berbeda 15 cm denganku, rambutnya sedikit ikal, memakai jas dan sepatu yang sangat serasi dengan kulit kecoklat-coklatannya.

Seward langsung memelukku ketika melihatku ada di depannya. Dia menatapku dari rambut sampai kaki, seolah aku kehilangan satu anggota tubuhku.

Setelah memastikan keadaanku baik-baik saja. Dia menuntunku untuk duduk dikursi yang ada disana.

“Kenapa kamu pergi dari rumah?” Itulah ucapan pertama yang keluar dari mulutnya. Bukan menanyakan kabarku atau bagaimana perjalananku sampai di Nusantara.

“Aku tidak ingin hidup sendirian. Hanya kakak yang bisa mengerti bagaimana kesepiannya aku. I miss you so much.”

I miss you too. Baiklah, sebaiknya kita pergi dari sini. Kau kelihatan lelah dan lihatlah penampilanmu ... mmm tak enak untuk dilihat,” Aku hanya tersenyum dan  berjalan disampingnya.

Seward memang orang yang suka memperhatikan penampilan. Jadi kalau aku ingin tinggal bersamanya, aku harus bisa memerhatikan penampilanku sendiri. Hal yang menurutku tidak terlalu penting. Seorang perfeksionis.

Pemandangan alam di Nusantara sangatlah indah. Masih banyak pohon-pohon besar dan jalanan yang memotong hutan, jadi suasana sejuk begitu terasa disini.

“Apakah kau lelah?”

“Aku sangat lelah. Sembilan jam aku berada di pesawat, belum lagi perjalanan dari rumah ke bandara. Mungkin sekitar sebelas jam lebih.” Aku memberitahunya dengan detail.

Dia hanya tertawa mendengarnya. “Kalau begitu kau bisa tidur dulu. Nanti aku bangunkan setelah sampai rumah.”

“Kakak memang yang terbaik.” Aku memberikan satu jempol untuknya.

Aku mulai menyandarkan kepalaku di kursi mobil. Menatap jalanan yang begitu lengang oleh kendaraan. Dan beberapa rumah yang berada disana. Tidak lupa dengan orang-orang yang sekedar berjalan kaki di trotoar. Warna kulit yang eksotis menurutku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status