Share

Kasat dan Tak Kasat Mata

Sekonyong-konyong hendak memberi penghiburan, kedua perawat tersebut bergantian menyunggingkan senyuman kilas mereka padanya di sepanjang perjalanan menuju ruang perawatan. Namun ia tak memberi tanggapan apapun. Hati kecilnya menyadari jawaban apapun tidak akan mampu menghiburnya saat ini hingga ia tak berkeinginan untuk menanyakan apapun. 

Dilayangkannya pandangan menyusuri sepanjang selasar lorong, menatap ke arah pintu demi pintu yang dilewati dengan tatapan tanpa hasrat. 

Sesaat sempat berkelebat keinginan memutar otak untuk mencoba kembali menggali ke dalam ruang ingatnya, namun seketika ia mengurungkannya. Entah dikarenakan tengah kehilangan daya pada tubuhnya atau memudarnya hasrat pada batinnya. 

Ia masih tetap diam nir tanggapan saat digiring memasuki sebuah ruangan yang lebih private dengan jendela pada salah satu sisinya. Ruangan tersebut juga tampak lebih sederhana tanpa kehadiran peralatan-peralatan medis yang kompleks nan riuh sebagaimana tempat ia dirawat sebelumnya. Dalam waktu singkat kedua perawat tersebut tampak dengan sigap membenahi segala sesuatunya. Dan dalam waktu singkat pula keadaan ruangan menjadi senyap. Hanya tinggal seorang perawat senior yang masih berada di dekatnya, memastikan semuanya telah terpasang dengan baik dan kemudian memantau selang infusnya untuk beberapa saat. Menjelang meninggalkan ruangan, sang perawat tak lupa meninggalkan sebuah info padanya sembari menjulurkan tombol pemanggil di dekat bantalnya. "Apabila butuh bantuan Anda cukup tekan tombol ini untuk memanggil para perawat jaga. Selamat malam dan selamat beristirahat, Tuan Anderson..."

Keheningan yang memekakkan telinga sontak menyergapnya begitu pintu ruangan menutup. Seakan lupa untuk menggeser pandangan dari pintu biru pada kanan depannya tersebut, ia masih tetap pada keterbungkamannya. Seakan enggan untuk bergeming, ia membiarkan diri terjeda. 

Berkutat dengan benak sendiri bersama pertanyaan-pertanyaan sama yang belum menemukan jawaban.  

Mengapa aku bisa berada di rumah sakit dalam keadaan begini? Mengapa aku bisa mengalami kecelakaan? Kecelakaan apa? Dimana kejadiannya? 

Denyutan nyeri yang mulai mengerayapi dalam kepalanya menyadarkannya. Lagi-lagi ia tanpa sadar mencoba menggali ingatannya. 

Semakin ia bersikeras, semakin intens rasa tersebut menghajarnya. Ia mengerang dan merintih. Sekalipun ia menekan kepalanya yang dipenuhi balutan perban tersebut di segala arah, tetap tak dapat menjangkau pusat rasa sakit apalagi menghentikannya. Diputuskannya untuk segera berhenti memaksa diri mengingat. Semuanya hanya nihil belaka. 

Sembari mendesah dengan nafas memburu, dilemparnya pandangan ke luar jendela. Dunia telah sangat gulita di luar sana. Apakah jika mentari telah menyingsing benderang esok hari ingatannya akan lebih mudah dipanggil kembali? Apakah jika dunia telah menunjukkan warna aslinya esok hari sepasang kakinya akan lebih berdaya untuk melangkah? 

Sosok di kejauhan itu tampak samar-samar. Ia memicingkan tatapan mencari tahu sembari melangkah satu satu dengan perlahan. 

"Siapa di situ?" tanyanya was-was pada sosok tersebut.

Sayup-sayup terdengar sosok itu berbicara. Namun ruang dengarnya tak mampu menangkap ucapan dari sosok tersebut meskipun hanya segelintir. Ia tetap melangkah menghampiri sosok itu hingga akhirnya berada dalam jarak yang cukup dekat. 

Ia terhenyak. Sosok tersebut tak lain tak bukan adalah seorang wanita yang tengah meratap pilu. Sontak langkahnya terhenti.

"Si...siapa Anda?"

Kali keduanya ia bertanya dengan suara gagap penuh kewaspadaan. Dicondongkannya tubuh hendak meraih tangan wanita itu sebelum kemudian ia menyadari sebuah kilatan cahaya yang menyilaukan mata tengah bergerak liar menghambur ke arah mereka. Dan siap menerjang...

Ia memekik dan seketika tersadar. Setelah terkesiap sembari membuka pelupuk matanya dengan sekali hentakan, ia segera mengedarkan pandangan menyapu sekeliling ruangan. Bersama nafas yang tersengal-sengal ia berkali-kali mengerjapkan mata seolah hendak memastikan telah berada di alam sadar bersama tubuh dan jiwanya. 

Apa itu tadi? Apakah tadi aku bermimpi? Mengapa mimpi terasa demikian nyata hingga-hingga bagai tengah mengalaminya?  

Siapa wanita itu tadi? Apakah ada hubungannya denganku? Ataukah hanya cerminan imaginasi dari rasa tak nyamanku? Berjibun pertanyaan yang dipenuhi rasa haus akan jawaban memenuhi benaknya dalam satu waktu. Gemeretak giginya menahan erangan resahnya. 

Diremasnya kepalannya menahan rintihan gelisahnya. Mengapa aku tak bisa mengingat apapun? Mengapa pikiran ini terasa demikian hampa sekalipun hatiku terasa gundah. Lagi-lagi ia meringkuk dan merintih didera oleh rasa sakit yang kembali menghampiri kepalanya. 

Seorang perawat menghampirinya saat cahaya mentari tampak telah meninggi. Perawat berwajah ceria tersebut memberinya salam selamat pagi ditenggarai sebuah senyuman ramah. "Apakah Anda sudah siap untuk menjalani rangkaian pemeriksaan hari ini, Tuan?"

Dengan memicing mengatasi cahaya mentari yang menerabas masuk ke dalam ruangan, ia menatap ke arah sang perawat yang telah siap bersama sebuah kursi roda tersebut.  Sekonyong-konyong menyatakan kesiapannya secara tersirat, ia segera menarik tubuh beringsut perlahan ke posisi duduk. Dikulumnya bibir menahan agar erangannya menahan rasa sakit tidak sampai terdengar. 

Sang perawat tadi dengan tanggap memapahnya untuk memindahkan diri ke atas kursi roda serta mulai membawanya menuju ruang pemeriksaan. 

Penasaran dengan kedua tungkai kakinya, di sepanjang perjalanan diam-diam dicobanya menggerakkan keduanya bergantian. Sontak rasa sakit dari kedua tungkai kaki tersebut menyergapnya tanpa ampun. Ia mengerang tertahan. Dalam seketika beragam rasa kekesalan bercampur keputusasaan pun turut berkecamuk dalam dirinya. 

“Ada masalah,Tuan?” terdengar teguran sang perawat dari balik punggungnya. 

Digigitnya bibir juga mengeratkan kepalan tangan menahan keresahan yang kian membuncah. Kemudian ia hanya menanggapi perawat tersebut dengan melontarkan sebuah gumaman pelan tak jelas yang diikuti dengan kebungkamannya.

Di siang harinya ia diantar kembali ke ruangan. Efek obat yang disuntikkan padanya saat pemeriksaan organ dalam tadi masih menyisakan rasa mual yang menekan uluhati. Ditambah dengan rompi penyangga yang dipasang di depan dada membuatnya semakin tidak nyaman sekalipun rasa sakit yang menderanya berkurang drastis.

“Makan siang Anda...” sahut perawat padanya sembari mendekatkan meja penyaji pasien ke dekat pembaringan. 

Ia lagi-lagi hanya bergumam sekenanya tanpa menoleh. Ruang dengarnya menangkap keriuhan kicau burung ditenggarai tawa anak-anak di luar jendela. Dan serta merta membangkitkan keinginannya untuk menghampiri jendela menatap dunia luar. 

Ketika perawat menyodorkan pundak hendak memapahnya kembali ke atas pembaringan, ia bergeming menjauhkan tubuh. 

“Biarkan aku tetap begini untuk sementara...”pintanya sembari melekatkan kedua tangan ke atas pegangan kursi roda. 

Dalam bungkam, dilayangkannya tatapan ke arah jendela tanpa terusik oleh kehadiran perawat tersebut.  

“Anda sebaiknya bersantap dulu agar dapat melanjutkan pemeriksaan selanjutnya...” terdengar perawat itu berusaha membujuknya dengan mengingatkan. 

Alih-alih terbujuk, kali ini ia bahkan hening tanpa tanggapan. Sikapnya yang minim reaksi tersebut tampaknya berhasil membuat perawat itu menyerah. Wanita berseragam hijau tersebut terdengar meninggalkan pesan –sebagaimana yang selalu dilakukan para perawat umumnya sebelum bergegas meninggalkan ruangan. 

“Anda dapat menekan bel pemanggil jika butuh bantuan...”

Seakan mulai terbiasa dengan kesenyapan, batinnya diam-diam menikmati suasana hening yang memekakkan telinga kala pintu ruangan tertutup itu. Dikayuhnya kursi roda mendekati depan jendela. Disingkapnya gorden tipis yang terbuka separuh jalan dan menatap ke luar jendela. Dan menemukan sebuah taman kecil rumah sakit berada tepat di bawah jendelanya. 

Berusaha menenggarai ketidaknyaman yang bercokol di dirinya, ia melempar pandangan luas menyusuri taman. Berusaha mencari penghiburan bagi kekosongan batinnya, ia mengamati setiap pergerakan yang ada di tempat tersebut dengan lekat. Sejenak menyimak kebahagiaan beberapa anak yang tampak tengah bercanda di tengah taman. Kemudian menggemingkan pandangan ke sisi lain. Pandangannya tertarik pada seorang anak perempuan yang tengah duduk menyendiri di bawah sebuah pohon oak tua nan rindang. 

Menyadari arah tatapan anak perempuan itu yang seolah terasing dari kumpulan anak-anak yang tengah bermain tadi membuat dirinya sekonyong-konyong mampu merasakan perasaan anak tersebut. Kesendirian. Kehampaan. Sebuah perasaan yang membuat diri merasa bagai tengah berada di dunia terpisah sekalipun berada di tempat yang sama. Ia menghela nafas panjang dengan erangan gusar. Bersama batin yang tiada henti-hentinya mempertanyakan apa dan kenapa, ditopangkannya dahi pada kaca jendela yang terasa hangat di hadapannya itu. 

Yah, apapun itu aku tak berdaya untuk menyudahi masalah-masalah pelik yang tengah kuhadapi saat ini...

Diliriknya balutan gips pada kedua kakinya. 

Baik masalah yang kasat mata... 

Kemudian diangkatnya wajahnya, menatap ke arah pantulan diri pada kaca jendela. Juga masalah yang tak kasat mata...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status