Bagai para maling yang tertangkap basah di tengah aksi mereka, serta merta kedua sobat itu terlonjak kaget. Susah payah ia mengatasi degupan galau jantungnya kala melihat seorang petugas penjaga menghampiri mereka dengan langkah bergegas. "Kalian tidak seharusnya berada disini," ujar sang petugas dengan wajah mengernyit dalam. Seketika ekspresi sang petugas tampak bergeming kala beradu pandang dengannya. Nada suara pria tersebut mendadak terdengar melembut setelah menyempatkan diri berdeham pelan."Tuan Anderson, ini daerah steril. Sebaiknya Anda tidak berada di sini," usir halus petugas itu padanya dengan kalimat tersirat. Petugas itu tampak mengulurkan tangan hendak menuntun kursi roda miliknya. Namun dengan cepat ia menolak.“Tunjukkan saja arahnya, kami akan mengikuti,” ujarnya pada pria tersebut dengan nada datar dan dingin. Digerakkannya kepala pada Fransisca mengisyaratkan pada gadis itu untuk segera turut beranjak meninggalkan tempat tersebut.Sesaat kemudian ia dan sobat k
Bersama nafas yang memburu dan peluh yang membasahi sekujur tubuh, ia tersentak bangun. Tanpa menunda, ditariknya separuh diri beranjak duduk sembari berkali-kali meraup udara segar ke dalam paru-parunya. Diusapnya bulir-bulir peluh dari samping wajahnya. Dihelanya nafas berulang-ulang mengatasi dentuman jantung yang tak beraturan. Lagi-lagi mimpi yang sama, batinnya. Ia mengacak gusar rambut coklatnya yang terasa basah dan lembab tersebut. Bersama ritme nafas yang masih memburu, ia menatap tanpa tujuan ke ujung pembaringan. Mengapa aku tak dapat melihat kelanjutan mimpi itu? Hanya mimpi yang sama berulang-ulang tanpa berujung. Ini semua sungguh menghantui. Ia menghela nafas panjang. Dilayangkannya pandangan ke luar jendela. Masih terang. Langit biru bersih dengan semburat tipis awan putih tampak begitu menggoda hatinya untuk keluar dari kungkungan tembok nan kelu. Namun di samping itu, dalam relung batinnya mencuat satu hasrat yang lebih menggelitik keinginannya saat ini. Ke
Pintu terdengar mengeluarkan suara ‘bip’ pelan saat perawat Adams menutupnya. Ia kembali terjeda. Setelah puas mengedarkan pandangan menelisik seluruh ruangan, ia beringsut menghampiri salah satu rak buku dan menggapai kumpulan dokumen. Dibolak-baliknya sebuah dokumen yang berhasil diraihnya tersebut di atas pangkuan. Dokumen yang memuat semacam laporan keuangan beberapa tahun lalu itu ditandatangani oleh Wilbert. Ia bahkan tak mengingat tanda tangannya sendiri jika bukan dikarenakan nama pemilik tanda tangan yang bersangkutan tertera di bawahnya. Ia bahkan juga tak memahami isi dokumen yang tengah diamatinya itu walau hanya segelintir. Dan bertanya pada diri sendiri apakah kemampuan seseorang turut menghilang bersama dengan ingatan yang dimilikinya? Ditutupnya dokumen yang menyerupai buku tersebut dengan disertai helaan gusar. Ia kembali mengitarkan tatapan. Sejauh pandangan ia hanya menemukan deretan dokumen pada rak-rak yang ada. Sungguh membosankan, gerutu batinnya seketika.
Kemudian keheningan kembali hadir di antara mereka. Keinginan untuk segera meninggalkan ruangan berkecamuk dalam hasratnya. Namun keberadaan pria itu membuatnya mempertimbangkan keinginan tersebut. Sekalipun terasa menyesakkan, ia memutuskan untuk bertahan. “Saya akan mengantarkan Anda untuk beristirahat ke ruangan kembali...” putus Eddy memecah kekeluan. Ia hanya hening tanpa penolakan kala pria itu bergerak ke belakangnya serta menuntun kursi rodanya beranjak meninggalkan ruang kerja. Dan terus hening bahkan selama berada dalam lift, dengan wajah yang lupa untuk berhenti mengernyit.Ia tak terlalu paham penyebabnya. Ia hanya ingin menghentikan rasa sesak yang menekan batinnya. Ia hanya tak ingin pria ini berada di dekatnya lebih lama lagi. Mengapa? Padahal selama ini ia sangat ingin bertemu orang lain yang berkaitan erat dengan hidupnya. Bukankah seharusnya ia merasa terhibur? Bukankah seharusnya ia dapat memuaskan keingintahuannya selama ini? Ditekankannya tangan ke ata
Sekalipun lorong rumah sakit siang hari itu cukup ramai, aku merasa seorang diri berjuang dengan keadaan baru yang tak nyaman. Dengan tertatih aku mencoba membiasakan diri melangkah bersama tongkat penyangga sebagai pengganti kaki kiriku yang tengah cedera akibat terjatuh di sekolah tempatku mengajar. Ternyata hal tersebut tak semudah kelihatannya. Namun aku harus secepatnya terbiasa dengan alat bantu tersebut agar dapat kembali bekerja secepatnya. Langkah yang tersendat dengan ritme tak beraturan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku melangkah terhuyung-huyung dan berjuang mengembalikan kembali keseimbanganku. Dengan cepat aku menyadari telah gagal meraihnya. Aku jatuh di lorong bangsal dengan menubruk seorang pria yang berketepatan tengah melintas menuju lift. Tanpa tercegah aku dan juga pria berpakaian necis tersebut ambruk bersama ke lantai. Rasa sakit pada kaki yang cedera kembali menyambutku hingga-hingga membuatku meringis. Dan tanpa kusadari air mata pun turut mengalir ke
"A...aku panggilkan dokter!" ujar Joanne bergerak meraih tombol pemanggil di dekatnya. Dengan sigap dicegatnya tangan wanita itu. "Jangan ...." sahutnya dengan suara lemah. Tangannya yang terasa lembab dan dingin tersebut sontak membuat Joanne tanpa sadar bergerak menepis. Serta mendelik ke arahnya dengan wajah yang meminta penjelasan. Ia mendesah berulang kali, berusaha menguasai rasa sakit yang masih menyergapnya itu. Suaranya baru keluar setelah beberapa saat membuka mulut. Dan terdengar pelan berdesir."Mereka tak bisa berbuat banyak. Yang mereka lakukan hanya menyuntikkan obat penghilang rasa sakit sementara. Aku merasa itu bukan solusi yang tepat ...." Dengan mengernyit dalam dihelanya pandangan menjauh. “... Juga sedang tak ingin ....”Wanita yang sempat menarik diri itu beringsut mendekat kembali ke sampingnya. Setelah sempat mengusap bulir-bulir peluh pada pelipisnya, wanita tersebut mendekapnya. “Apa kamu yakin baik-baik saja untuk tidak melaporkannya pada paramedik, Wi
Ini sudah hari keempat ia tak melihat Fransisca. Seketika kekhawatiran mengerayapi batinnya. Selama ia mengenal Fransisca, gadis itu belum pernah absen menghabiskan sore hari di tempat ini. Apakah gadis itu sedang tak dalam kondisi yang memungkinkan keluar? Apakah dikarenakan kali terakhir pertemuan mereka gadis itu terlalu memaksakan diri? Ia menggeleng pelan serta melempar pandangan menjauh. Mungkin aku terlalu berlebihan. Bisa saja Fransisca datang ke mari di waktu yang berbeda dari biasanya sehingga kami tidak berpapasan. Namun penghiburan yang dilontarkannya bagi diri sendiri itu hanya mampu membesarkan hatinya sesaat. Pikiran untuk mencari tahu kembali bercokol dalam hasratnya. Ia akan menghampiri sobatnya itu. Pertama-tama yang dilakukannya adalah mencari tahu ruang perawatan gadis tersebut. Tanpa membuang waktunya lagi dikayuhnya kursi roda ke dalam rumah sakit menuju meja admisi di lobi utama. "Ah, Tuan Anderson! Anda disini rupanya," tegur sebuah suara mencegat kayuha
Perubahan suasana yang tiba-tiba membuat nafasnya turut tercekat seketika. Ia bahkan tak paham apa masalahnya kali ini. Joanne kini bahkan menekuk wajah di hadapannya seakan wanita tersebut tengah mengumpulkan daya untuk melanjutkan kata-kata. Diulurkannya tangan hendak meraih sosok itu sekalipun belum memiliki kalimat untuk dilontarkan. Namun belum sempat ia melaksanakan niatnya tersebut, Joanne telah merangkulnya tanpa aba-aba. “Aku sangat mencintaimu, Will ....”Masih dengan tatapan lurus menyiratkan kebingungannya, ia menangkap seulas senyum pada sudut bibir wanita di hadapannya itu. Dan menyadari ia tengah terkecoh dengan pembalasan wanita tersebut. Dikulumnya gelak yang seketika menggelitik di dada. “Astaga. Ternyata diam-diam kamu merencanakan untuk membalasku, ya,” ucapnya diikuti gelak.Ketukan dari arah pintu sontak membuyarkan gelak tawa di antara mereka dan serempak menyita perhatian keduanya. Ia mengenali pria dengan tatanan rambut klimis itu segera. Eddy Ross, sekret