Sekalipun lorong rumah sakit siang hari itu cukup ramai, aku merasa seorang diri berjuang dengan keadaan baru yang tak nyaman. Dengan tertatih aku mencoba membiasakan diri melangkah bersama tongkat penyangga sebagai pengganti kaki kiriku yang tengah cedera akibat terjatuh di sekolah tempatku mengajar. Ternyata hal tersebut tak semudah kelihatannya. Namun aku harus secepatnya terbiasa dengan alat bantu tersebut agar dapat kembali bekerja secepatnya. Langkah yang tersendat dengan ritme tak beraturan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku melangkah terhuyung-huyung dan berjuang mengembalikan kembali keseimbanganku. Dengan cepat aku menyadari telah gagal meraihnya. Aku jatuh di lorong bangsal dengan menubruk seorang pria yang berketepatan tengah melintas menuju lift. Tanpa tercegah aku dan juga pria berpakaian necis tersebut ambruk bersama ke lantai. Rasa sakit pada kaki yang cedera kembali menyambutku hingga-hingga membuatku meringis. Dan tanpa kusadari air mata pun turut mengalir ke
"A...aku panggilkan dokter!" ujar Joanne bergerak meraih tombol pemanggil di dekatnya. Dengan sigap dicegatnya tangan wanita itu. "Jangan ...." sahutnya dengan suara lemah. Tangannya yang terasa lembab dan dingin tersebut sontak membuat Joanne tanpa sadar bergerak menepis. Serta mendelik ke arahnya dengan wajah yang meminta penjelasan. Ia mendesah berulang kali, berusaha menguasai rasa sakit yang masih menyergapnya itu. Suaranya baru keluar setelah beberapa saat membuka mulut. Dan terdengar pelan berdesir."Mereka tak bisa berbuat banyak. Yang mereka lakukan hanya menyuntikkan obat penghilang rasa sakit sementara. Aku merasa itu bukan solusi yang tepat ...." Dengan mengernyit dalam dihelanya pandangan menjauh. “... Juga sedang tak ingin ....”Wanita yang sempat menarik diri itu beringsut mendekat kembali ke sampingnya. Setelah sempat mengusap bulir-bulir peluh pada pelipisnya, wanita tersebut mendekapnya. “Apa kamu yakin baik-baik saja untuk tidak melaporkannya pada paramedik, Wi
Ini sudah hari keempat ia tak melihat Fransisca. Seketika kekhawatiran mengerayapi batinnya. Selama ia mengenal Fransisca, gadis itu belum pernah absen menghabiskan sore hari di tempat ini. Apakah gadis itu sedang tak dalam kondisi yang memungkinkan keluar? Apakah dikarenakan kali terakhir pertemuan mereka gadis itu terlalu memaksakan diri? Ia menggeleng pelan serta melempar pandangan menjauh. Mungkin aku terlalu berlebihan. Bisa saja Fransisca datang ke mari di waktu yang berbeda dari biasanya sehingga kami tidak berpapasan. Namun penghiburan yang dilontarkannya bagi diri sendiri itu hanya mampu membesarkan hatinya sesaat. Pikiran untuk mencari tahu kembali bercokol dalam hasratnya. Ia akan menghampiri sobatnya itu. Pertama-tama yang dilakukannya adalah mencari tahu ruang perawatan gadis tersebut. Tanpa membuang waktunya lagi dikayuhnya kursi roda ke dalam rumah sakit menuju meja admisi di lobi utama. "Ah, Tuan Anderson! Anda disini rupanya," tegur sebuah suara mencegat kayuha
Perubahan suasana yang tiba-tiba membuat nafasnya turut tercekat seketika. Ia bahkan tak paham apa masalahnya kali ini. Joanne kini bahkan menekuk wajah di hadapannya seakan wanita tersebut tengah mengumpulkan daya untuk melanjutkan kata-kata. Diulurkannya tangan hendak meraih sosok itu sekalipun belum memiliki kalimat untuk dilontarkan. Namun belum sempat ia melaksanakan niatnya tersebut, Joanne telah merangkulnya tanpa aba-aba. “Aku sangat mencintaimu, Will ....”Masih dengan tatapan lurus menyiratkan kebingungannya, ia menangkap seulas senyum pada sudut bibir wanita di hadapannya itu. Dan menyadari ia tengah terkecoh dengan pembalasan wanita tersebut. Dikulumnya gelak yang seketika menggelitik di dada. “Astaga. Ternyata diam-diam kamu merencanakan untuk membalasku, ya,” ucapnya diikuti gelak.Ketukan dari arah pintu sontak membuyarkan gelak tawa di antara mereka dan serempak menyita perhatian keduanya. Ia mengenali pria dengan tatanan rambut klimis itu segera. Eddy Ross, sekret
Diusapnya peluh yang membasahi dahi, menatap hampa ke arah jendela dengan benak yang masih terus sibuk. Dihelanya nafas yang terengah memburu. Sepertinya wanita itu bersama denganku saat kecelakaan. Itu bukan mimpi melainkan potongan ingatan yang tersisa sebelum semuanya sirna, batinnya menyimpulkan. Apakah jika berhasil menangkap ucapan wanita itu tadi, aku dapat mengingat lebih banyak lagi? Mengapa aku merasa wanita itu mengucapkan sesuatu yang penting untuk kuingat? Lagi-lagi ia mengerang menahan sakit. Dilemparnya tatapan ke berbagai arah seiring batinnya yang masih dipenuhi pergelutan. Jika tak dapat mengandalkan ingatan yang masih menghilang tanpa jejak ini, setidaknya aku harus mencari cara lain untuk mengetahui siapa wanita itu. Diliriknya ke luar jendela, ternyata fajar telah menyingsing semenjak tadi. Tanpa berpikir lebih lama lagi, ia menekan tombol pemanggil. Seorang perawat berambut pirang mendatanginya. "Ada yang bisa saya bantu?" Sontak kekecewaan menghampirinya k
Ia mengulum bibir. Ia dapat menangkap betapa terguncangnya sosok mungil di hadapannya itu. Apakah yang dikatakan Fransisca tadi sungguh-sungguh? Bahwa Kay awalnya adalah anak yang sehat dan periang? Apa yang menyebabkan anak itu mendadak sakit hingga membawanya pada kematian? Bagaimana mungkin sahabat-sahabat kecilnya yang melihat kejadian ini tidak menjadi sangat gentar? Jangankan anak-anak dengan batin yang ringkih, orang dewasapun akan merasakan hal yang serupa. Meninggalnya Kay merupakan sebuah hantaman fatal bagi kejiwaan teman-teman bermainnya, Kathy dan Fransisca. Sesaat ia kehilangan kata-kata. Juga kemampuan untuk melontarkan ucapan yang menyemangati. Pikirannya kelu. Hal yang dapat dilakukannya hanya mendekap erat gadis itu. Cukup lama hingga selintas kata-kata memasuki ruang pikirnya."Fran, sebaiknya kamu jangan berpikiran begitu. Kemungkinan besar selama ini Kay memang sakit, hanya saja tidak ada yang menyadarinya. Kumohon jangan membanding-bandingkannya dengan dirimu
Seketika wajah wanita itu berubah murung.Sontak ia mencium adanya bau konflik di antara Joanne dan pria yang dipanggil Abe itu. Dan mengernyit gusar. Diam-diam rasa resah menjalar masuk ke dalam batinnya, menyalahkan diri tanpa tercegah –mengapa ia masih belum dapat mengingat apapun hingga kini. Juga merasa layaknya orang bodoh yang bahkan tak dapat mengingat kehidupannya sendiri, orang linglung yang bahkan tidak tahu apa-apa atas perihal hidupnya. Dihelanya nafas panjang, mencoba menyingkirkan gulana diri dengan cepat. Kemudian memberanikan diri untuk mencari tahu. "Siapa?" tanyanya dengan nada datar dan berdesir.Joanne tampak tersentak lalu mengangkat wajah menatap ke arahnya. "Maksudmu?", tanggap wanita itu terbata. Ia mencondongkan tubuhnya sembari mengulangi pertanyaan. "Siapa yang menjadi ‘tunangan sepadan’ itu?". Joanne menarik diri menjauh serta menghindari tatapannya. "Apakah kita perlu membicarakan hal ini?" ucap Joanne yang terdengar lebih mirip seperti gumaman. Meny
Nafasnya tersenggal-senggal berjuang menahan deraan. Namun ia masih belum ingin menekan tombol pemanggil bantuan. Benaknya masih bergelut dengan sangat intens sekalipun disertai oleh rasa sakit yang menjepit.Mengapa aku dan dia bisa ada di tengah-tengah lalu lintas? Mengapa aku bersikeras menyelamatkannya? Apakah dia seorang yang berharga melebihi nyawa bagiku? Mengapa di tiap mimpi aku menemukannya dalam sosok menyedihkan? Penuh derai air mata dan keputusasaan. Pikirannya tak henti-hentinya melayangkan pertanyaan demi pertanyaan tanpa jawaban. Sekalipun menderita, ia bertekad untuk nekad terus mencoba mengingat. Rasa penasaran yang berkecamuk di batinnya tanpa tawar itu, memaksanya untuk terus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengiang riuh di dalam kepalanya. Namun, tak sebersit petunjuk pun kunjung muncul di sudut ruang ingatnya. Ia bahkan tak paham dari bagian mana pada benaknya yang melahirkan daya imajinasi hingga nama itu terlontar begitu saja di ujung ucapn