Dengan langkah tertatih ia menghampiri wanita tersebut.
Entah mengapa hanya dengan sekilas pandang terhadap sosok itu sontak membuat kerinduan dalam batinnya membuncah. Demikian pula dengan hasrat yang tak terjelaskan menyeruak begitu saja dalam dirinya tanpa aba-aba. Hingga-hingga butuh perjuangan menahan dirinya untuk tidak mendekap sosok tersebut.Diraihnya tangan wanita itu serta melontarkan pertanyaan singkat. "Siapa kamu?"Namun wanita dengan rambut coklat terurai itu mendorongnya menjauh. Serta merta ia mengeraskan tubuh. Ketika mendekatkan wajah pada sosok tersebut, seketika ia tertegun kala mendapati sepasang mata berwarna biru tersebut telah dibasahi oleh air mata. Membiarkan hasratnya tak terbendung, didekapnya tubuh mungil itu. Dihelanya nafas gusar ditenggarai gelengan. "Maafkan aku. Aku berusaha mengingat tapi aku..."Seketika nafasnya tercekat. Rasa sakit yang hebat kembali mendera kepalanya. Disertai gemeretak gigi menahan rasa tersebut, diangkatnya wajah hendak melanjutkan ucapan kala sebuah truk dengan hiruk pikuk klakson yg bergaung telah siap menerjangnya juga wanita itu.Teriakannya membawanya kembali ke alam sadar. Ia terbangun dengan peluh yang membanjiri sekujur tubuh. Nafasnya berkejar-kejaran. Kesal dan sesal bercampur deraan rasa sakit bercokol dalam dirinya kini.
Hati kecilnya sangat yakin dirinya perlu mengingat wanita yang terus menerus muncul dalam mimpinya itu. Ia yakin dirinya masih memiliki 'alasan' hingga dibiarkan selamat dari kecelakaan. Tapi siapa wanita itu? Dan apa yang terjadi? Apakah mimpi itu merupakan potongan kejadian sesungguhnya yang menimpaku? Aku harus mengingatnya! Aku merasa perlu mengingatnya! Batinnya bercetus. Nafasnya kian memburu tak beraturan. Rasa sakit pun kian intens mendera kepalanya setiap kali ia berusaha mengingat. Menenggarai kesemuanya itu ia hanya mampu bersidekap sembari mengerang gusar bagai binatang. Aku tak bisa melewati hari demi hari dan malam demi malam dalam keadaan resah tak berujung, mencari jawaban dari pertanyaan tak berpangkal. Dilepasnya tangan perlahan dari pelipis. Dengan pandangan nanar ia menjatuhkan tatapan sekenanya pada kedua tangan. Pikirannya berkelana liar ke sana ke mari menelisik kesibukannya beberapa hari terakhir sejak kesadaran mengisi ruang jiwanya. Ia telah menjalani pemeriksaan demi pemeriksaan. Seolah-olah mereka hendak mengobrak-abrik dalam tubuhnya demi memastikan sesuatu. Namun ia sendiri tak mengetahui apapun. Seketika ia terhenyak kala menyadarinya. Ada apa ini? Mengapa setelah berhari-hari menjalani pemeriksaan tak satu pun hasilnya diberitahukan padaku? Bukankah akulah yang paling berhak mengetahui segala sesuatu mengenai diriku?Diraihnya tombol pemanggil yang menjuntai di tepi pembaringan dan menekannya berkali-kali bagai kalap. Kemudian ia beringsut dengan tekad nekad menuruni pembaringan serta berjuang meraih kursi roda. "Tuan, Ada masalah apa?". Terdengar seorang perawat menegurnya dari arah pintu dan segera menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.Ketika perawat tersebut berusaha mengembalikannya ke pembaringan, ia mengeraskan tubuh."Jangan hentikan aku! Aku harus bertemu dengan dokter!", erangnya dengan nada parau dan penuh kekesalan. Ia menangkap wajah gentar sang perawat sekalipun wanita itu berhasil mengatasi rasa tersebut dengan cepat. "Harap tenang, Tuan Anderson. Saya akan memanggilkan dokter untuk Anda...", ucap sang perawat kemudian padanya. Ia mengernyit dalam. Disambarnya tangan perawat itu dan melekatkan tatapan mengintimidasi. "Bawakan saja aku ke ruangannya sekarang...", pintanya dengan nada gusar. Merasa tak diberi kesempatan memilih, perawat itu mengangguk menyanggupi. Sang perawat memapahnya duduk ke atas kursi roda serta menuntunnya menuju ke ruang praktek dokter sebagaimana yang permintaannya.Mereka tiba di hadapan pintu berwarna biru pada salah satu deretan ruang praktek dokter. Diliriknya papan nama yang terpasang di dinding samping pintu tersebut. Dokter Lucas Monger. Telinganya beberapa kali mendengar nama yang sama selalu disebut oleh paramedik di tiap pemeriksaannya. Tampaknya dokter ini yang ditunjuk untuk menanganiku secara penuh selama dirawat disini, simpul batinnya. Perawat yang menuntunnya tersebut tampak mengetuk pintu dengan wajah was-was.Dan bergerak patah-patah membuka daun pintu kala terdengar sahutan dari dalam ruangan.“Malam, Dok. Tuan Anderson minta dipertemukan dengan Anda...”Setelah terjeda beberapa saat, terdengar sosok di dalam ruangan tersebut bergumam menyanggupi. Ia bersama kursi rodanya pun kembali dituntun hingga ke depan meja praktek dokter.Baru saja ia hendak membuka mulut menyatakan tujuan kedatangannya, terdengar sang dokter telah lebih dahulu menurunkan permintaan pada perawat asisten yang bersiaga didekatnya."Tolong kumpulkan berkas hasil pemeriksaan Tuan Wilbert Anderson dan bawakan kemari...", pinta dokter Lucas pada perawat itu. Perawat tersebut terlihat mengangguk menanggapi serta segera bergegas. "Sepertinya Anda sudah mengetahui dengan jelas kedatangan saya ke ruangan ini, Dok...", ujarnya dengan wajah menyeringai memulai pembicaraan. Lewat celah kacamata yang merosot rendah dokter Lucas menatap ke arahnya. Kemudian melayangkan senyuman tipis sekilas. "Saya mengerti ketidaknyamanan Anda dengan kondisi sekarang. Saya akan membantu pemulihan Anda semaksimal-maksimalnya, Tuan Wilbert. Karena itu dibutuhkan data pemeriksaan yang menyeluruh dan lengkap...", jelas sang dokter padanya. Ia tergelak pelan dengan miris. Mengapa setiap kalimat yang diucapkan pria tua ini terdengar seperti sebuah mesin penjawab keluhan pelanggan?Dibawanya kursi rodanya itu bergeming maju kian mendekati dokter Lucas. Dilayangkannya tatapan menelisik pada pria tua berseragam putih tersebut.“Mengapa semua orang di sini memanggil saya dengan nama Anderson dan bersikap seolah mengenal saya? Apakah itu sungguh saya? Bahkan saya sendiri tak dapat mengingat siapa diri saya”Dokter Lucas mengangguk sembari menyandarkan tubuh ke belakang bangku, membalas tatapannya. “Ya. Anda adalah Wilbert Anderson. Tentu saja hampir semua yang bekerja di sini mengenali Anda. Anda mewakili ayah Anda, Abraham Anderson –yang merupakan salah satu direksi pendiri rumah sakit mengawasi operasional tempat ini. Kantor Anda ada di lantai tiga gedung ini. Jika ingin, Anda bisa menggunakannya seperti biasa...” tutur pria tua tersebut panjang disertai kilasan senyum.Sontak ia tergelak miris menanggapi. “Gurauan Anda itu tidak lucu, Dokter. Saya bahkan tak dapat memastikan kebenaran identitas diri dengan ingatan sendiri...”Terdengar kekehan pelan sang dokter. “Karena itu saya mohon kesabaran juga kerja sama dari Anda untuk menjalani proses pemeriksaan dan pemulihan yang akan membutuhkan waktu. Anda sedang mengalami efek-efek traumatis akibat kecelakaan. Anda juga telah berada dalam keadaan koma selama 48 hari. Dan semuanya itu berdampak besar pada kondisi Anda sekarang...”.Dihel
Semilir angin musim semi nan hangat membangkitkan kantuknya seketika. Dipejamkannya pelupuk mata yang terasa berat tersebut barang sejenak.Entah sudah berapa malam dilaluinya dengan mimpi serupa yang berulang bagai film kuno yang diputar berulang kali mengusik benak. Entah sudah berapa malam dilaluinya tanpa terlelap dengan layak sebagaimana mestinya.Ia telah separuh jalan terlelap kala sebuah rasa dingin mendarat pada lengan kanannya. Dengan terkesiap ia membuka mata dan menoleh. “Maaf membangunkan kakak. Tadinya aku mengira kakak sedang bersedih,” tegur Fransisca dari atas kursi roda yang disandingkan tepat pada sampingnya.Ia tersenyum tipis. Diusapnya titik airmata kantuk dari sudut matanya. “Aku tak mendengarmu datang ....”Gadis berwajah pucat itu membalas senyumannya. “Baru saja. Hari ini aku ada pemeriksaan rutin makanya sedikit terlambat ke mari ....”Ia hanya tergelak pelan dan mengangguk menanggapi penjelasan gadis kecil tersebut. Diraihnya buku yang ada di pangkuan Fra
"Sang putri terbangun dari tidur panjangnya dan kemudian ... ia pergi berkeliling dunia bersama sahabatnya, Fransisca ...." Ia menutup buku sembari menyeringai iseng ke arah gadis kecil yang duduk di hadapannya itu. Setelah sempat tercengang beberapa saat, Fransisca mendelik padanya ditenggarai senyum yang terkulum. Namun tak mampu membendung gelak lebih lama lagi, pada akhirnya gadis kecil tersebut meledakkan tawanya dalam seketika. "Idih. Kak Will ternyata iseng, ya...", ucap gadis tersebut masih ditenggarai gelak. Ia tersenyum lebar menanggapinya. "Melihat kamu yang tampak demikian serius menyimak, aku jadi ingin iseng." Masih sesekali tergelak, Fransisca menggeser pandangan serta melambaikan tangan ke arah seorang gadis yang tengah berjalan mendekat. Gadis yang tampak sebaya dengan Fransisca itu tidak terlihat lebih sehat dari sobat kecil di sampingnya."Kak, biarkan Kat bergabung dengan kita," ujar Fransisca begitu gadis tadi berhasil menghampiri mereka. Ia mengangguk dan b
Sesaat ia hanya terjeda serta termangu. Benaknya berputar mempertimbangkan sebelum memutuskan. Diliriknya Fransisca yang masih menatap lekat padanya menanti jawabannya. Gadis itu tampak bersiap memulai kayuhan pada kursi roda. Tak ingin tertinggal seorang diri berada di bawah pohon oak tersebut, ia pun turut mengkayuh kursi roda miliknya. Disetarakannya laju kayuhan agar berdampingan dengan Fransisca."Dari mana kamu mengetahuinya, Fran? Apakah kalian sangat dekat?" tanyanya dengan nada penuh selidik seakan mencari keyakinan untuk mendukungnya memutuskan. Gadis tersebut masih tetap pada kayuhannya. "Ruangan Kathy dan aku letaknya berseberangan. Itu sebelum dia dan Kay dipindahkan ke ruangan lain beberapa hari lalu..."Walaupun perlahan, kedua sobat itu mengkayuh kursi roda mereka dengan pasti menuju ke dalam rumah sakit. Ia mengikuti Fransisca dalam hening, tanpa melontarkan pertanyaan ataupun kata-kata berupa tanggapan. Gadis tersebut tampak yakin dengan arah tujuan kayuhannya. Ia
Bagai para maling yang tertangkap basah di tengah aksi mereka, serta merta kedua sobat itu terlonjak kaget. Susah payah ia mengatasi degupan galau jantungnya kala melihat seorang petugas penjaga menghampiri mereka dengan langkah bergegas. "Kalian tidak seharusnya berada disini," ujar sang petugas dengan wajah mengernyit dalam. Seketika ekspresi sang petugas tampak bergeming kala beradu pandang dengannya. Nada suara pria tersebut mendadak terdengar melembut setelah menyempatkan diri berdeham pelan."Tuan Anderson, ini daerah steril. Sebaiknya Anda tidak berada di sini," usir halus petugas itu padanya dengan kalimat tersirat. Petugas itu tampak mengulurkan tangan hendak menuntun kursi roda miliknya. Namun dengan cepat ia menolak.“Tunjukkan saja arahnya, kami akan mengikuti,” ujarnya pada pria tersebut dengan nada datar dan dingin. Digerakkannya kepala pada Fransisca mengisyaratkan pada gadis itu untuk segera turut beranjak meninggalkan tempat tersebut.Sesaat kemudian ia dan sobat k
Bersama nafas yang memburu dan peluh yang membasahi sekujur tubuh, ia tersentak bangun. Tanpa menunda, ditariknya separuh diri beranjak duduk sembari berkali-kali meraup udara segar ke dalam paru-parunya. Diusapnya bulir-bulir peluh dari samping wajahnya. Dihelanya nafas berulang-ulang mengatasi dentuman jantung yang tak beraturan. Lagi-lagi mimpi yang sama, batinnya. Ia mengacak gusar rambut coklatnya yang terasa basah dan lembab tersebut. Bersama ritme nafas yang masih memburu, ia menatap tanpa tujuan ke ujung pembaringan. Mengapa aku tak dapat melihat kelanjutan mimpi itu? Hanya mimpi yang sama berulang-ulang tanpa berujung. Ini semua sungguh menghantui. Ia menghela nafas panjang. Dilayangkannya pandangan ke luar jendela. Masih terang. Langit biru bersih dengan semburat tipis awan putih tampak begitu menggoda hatinya untuk keluar dari kungkungan tembok nan kelu. Namun di samping itu, dalam relung batinnya mencuat satu hasrat yang lebih menggelitik keinginannya saat ini. Ke
Pintu terdengar mengeluarkan suara ‘bip’ pelan saat perawat Adams menutupnya. Ia kembali terjeda. Setelah puas mengedarkan pandangan menelisik seluruh ruangan, ia beringsut menghampiri salah satu rak buku dan menggapai kumpulan dokumen. Dibolak-baliknya sebuah dokumen yang berhasil diraihnya tersebut di atas pangkuan. Dokumen yang memuat semacam laporan keuangan beberapa tahun lalu itu ditandatangani oleh Wilbert. Ia bahkan tak mengingat tanda tangannya sendiri jika bukan dikarenakan nama pemilik tanda tangan yang bersangkutan tertera di bawahnya. Ia bahkan juga tak memahami isi dokumen yang tengah diamatinya itu walau hanya segelintir. Dan bertanya pada diri sendiri apakah kemampuan seseorang turut menghilang bersama dengan ingatan yang dimilikinya? Ditutupnya dokumen yang menyerupai buku tersebut dengan disertai helaan gusar. Ia kembali mengitarkan tatapan. Sejauh pandangan ia hanya menemukan deretan dokumen pada rak-rak yang ada. Sungguh membosankan, gerutu batinnya seketika.
Kemudian keheningan kembali hadir di antara mereka. Keinginan untuk segera meninggalkan ruangan berkecamuk dalam hasratnya. Namun keberadaan pria itu membuatnya mempertimbangkan keinginan tersebut. Sekalipun terasa menyesakkan, ia memutuskan untuk bertahan. “Saya akan mengantarkan Anda untuk beristirahat ke ruangan kembali...” putus Eddy memecah kekeluan. Ia hanya hening tanpa penolakan kala pria itu bergerak ke belakangnya serta menuntun kursi rodanya beranjak meninggalkan ruang kerja. Dan terus hening bahkan selama berada dalam lift, dengan wajah yang lupa untuk berhenti mengernyit.Ia tak terlalu paham penyebabnya. Ia hanya ingin menghentikan rasa sesak yang menekan batinnya. Ia hanya tak ingin pria ini berada di dekatnya lebih lama lagi. Mengapa? Padahal selama ini ia sangat ingin bertemu orang lain yang berkaitan erat dengan hidupnya. Bukankah seharusnya ia merasa terhibur? Bukankah seharusnya ia dapat memuaskan keingintahuannya selama ini? Ditekankannya tangan ke ata