"Kakak mendengarnya juga ya?"
Teguran pelan dengan suara lembut mengalun tersebut sontak membuatnya tertegun. Ditolehkannya kepala ke samping kiri. Seorang gadis kecil berambut ikal pirang –yang keberadaannya sedari tadi tak disadarinya itu tampak tengah tersenyum padanya. Ia membalas dengan senyuman kikuk. Dan dengan cepat ia mengenali gadis yang juga duduk di atas kursi roda tersebut. Gadis itu adalah gadis kecil yang sering dilihatnya berada seorang diri di bawah pohon tiap kali memandang keluar jendela ruangannya."Kakak sudah menemukan sarangnya?" Gadis itu terdengar kembali melontarkan teguran padanya. Ia terhenyak. Dilayangkannya tatapan tak paham ke arah anak perempuan tersebut seolah meminta penjelasan dari bibir pucat nan mungil itu.Gadis kecil tersebut tersenyum sembari mengkayuh kursi roda mendekat dan kemudian menyodorkan tangan ke arahnya. "Aku Fransisca. Salam kenal, Kak..."Ia terkesiap. Sesaat rasa canggung menyergapnya. Dengan nama apa aku memperkenalkan diriku sendiri? Wilbert? Entah mengapa nama itu seakan tak menemukan tempat yang mengena di lubuk hatiku hingga menimbulkan keengganan untuk menyebutkannya sebagai namaku. Menyadari tatapan gadis kecil di sampingnya yang tengah menanti tanggapan itu, dengan cepat ia memutuskan. Disunggingkannya senyum simpul sepenuh hati dan menjawab salam perkenalan gadis kecil bernama Fransisca tersebut. "Panggil saja aku Will..."Ia kembali menengadah, melihat perlahan menyusuri dahan demi dahan juga ranting demi ranting dari pohon oak nan rindang yang berada tepat di atas kepalanya itu. "Sarang?" gumamnya pelan dengan dahi mengernyit. Matanya masih terus mencari."Iya. Sarang burung robin. Bukankah kakak menengadah karena mendengar kicauannya hingga membuat kakak penasaran akan sumber suaranya?" sahut Fransisca mengutarakan dugaan. Ia hanya mengerjap tanpa kata-kata. Ternyata gadis ini mengamati gerak-geriknya sedari tadi. Tak ingin mengusik dugaan polos Fransisca, ia hanya tersenyum tipis. Namun seakan tak menyerah menyamakan ketertarikan di antara mereka, gadis itu menggenggam telunjuk Will dan mengarahkannya ke bagian tengah atas pohon. Seketika jemari-jemari mungil sedingin es itu sempat membuatnya terkesiap. Ia nyaris menarik tangannya keluar dari genggaman Fransisca kala terdengar gadis tersebut berseru penuh semangat padanya, menggiring perhatiannya ke ujung telunjuknya mengarah."Lihat? Itu disana!"Kini kedua matanya telah menemukan sebuah sarang burung yang dibicarakan sobat kecilnya itu. Sebuah sarang burung robin yang dipenuhi penghuni-penghuni mungil tampak bertengger pada antara rerantingan pohon oak tepat beberapa meter di atas tempatnya berteduh. Dan di saat itu pula ia menyadari kicauan riuh burung-burung mungil yang sedari tadi mengitarinya tersebut. Sepertinya kesibukannya pada kekosongan diri sempat menumpulkan kepekaannya terhadap sekelilingnya. Sembari mengangguk menanggapi, ia tersenyum ke arah gadis di sampingnya itu. “Terima kasih...”Ia menatap menelisik pada Fransisca sembari diam-diam mengusap tangannya yang baru saja keluar dari genggaman gadis itu. Rasa dingin dari jemari mungil itu yang sempat menjalar di tangannya sesaat tadi sekonyong-konyong masih melekat. Menduga dari perawakannya usia anak perempuan itu sekitar 10 tahunan. Apakah dia mengidap penyakit berat? Mengapa gadis ini masih mampu tersenyum dalam penderitaan yang dijalaninya? "Jadi kamu setiap hari duduk di bawah pohon untuk melihat burung-burung itu?" ucapnya memulai pembicaraan pada Fransisca. Gadis tersebut mengangguk membenarkan. "Iya. Aku selalu melihatnya. Aku melihat burung-burung itu dari sejak mereka baru menetas dari telur hingga kini mereka bisa terbang,” tutur gadis itu panjang lebar ditenggarai wajah sumringahnya. Kemudian Fransisca melekatkan telunjuk ke depan bibir dan mencondongkan tubuh ke arahnya. “Ini rahasia ya. Sebenarnya diam-diam aku berdoa bisa menjadi salah satu dari mereka. Bisa terbang ke sana kemari. Dan tidak sakit lagi..." gumam gadis itu menyeringai berusaha menyembunyikan kemurungan.Ia terperanjat dengan ucapan terakhir Fransisca barusan. Dengan membungkam bibir, ia menarik nafas dalam dan membiarkan diri terjeda sesaat sebelum kemudian menolehkan pandangan pada gadis di sampingnya itu. "Apa kamu mau menceritakan pada kakak tentang sakitmu, Fransisca?" tanyanya dengan nada hati-hati. Setelahnya ia memberi waktu pada sobatnya tersebut untuk memutuskan. Gadis itu tersenyum kecut lalu menunduk. "Katanya jantungku bocor. Sejak kecil aku berada lebih lama di rumah sakit ini daripada di rumah...” Fransisca menoleh seolah sengaja mempertemukan tatapan dengannya. “...Tapi om dokter berjanji setelah menjalani operasi nanti aku bisa sembuh..."Sekilas pandang, ia menangkap harapan yang meluap dalam tatapan juga raut wajah gadis tersebut. Tergetar oleh optimisme sobat kecil barunya itu, ia berusaha merekahkan senyum terbaiknya ke arah Fransisca. Seolah hendak berbagi sisa ketegaran yang dimilikinya, ia menepuk pelan tangan gadis kecil itu. "Ya. Kakak yakin kamu pasti bisa sembuh. Kakak percaya itu..." ujarnya melontarkan kalimat penyemangat sederhana yang melintas di benaknya. Fransisca terdengar bergumam pelan menanggapi.Ia seketika kehilangan niat untuk berbincang kala menyadari kehadiran perawat Adams di dekatnya. Bagai seorang anak kecil yang diingatkan akan waktu bermainnya telah usai, perasaan gusar serta merta menghampirinya.
Karenanya, sekalipun wanita tua itu tersenyum ke arahnya ia hanya hening. “Tuan Anderson, apakah Anda menikmati waktu Anda?” Kemudian sembari bergumam tak jelas, ia melirik ke samping –pada Fransisca. Gadis itu ternyata bernasib serupa dengannya. Seorang perawat lainnya tampak mulai menggiring kursi roda sang gadis kecil tersebut menjauh. Sebelum semakin jauh, Fransisca menyempatkan diri menangkupkan tangan di samping bibir dan berpesan. “Besok di sini dan di waktu yang sama aku tunggu di sini, Kak Will...”Ia mengangguk sembari mengacungkan jempol mengisyaratkan persetujuan.Dengan langkah tertatih ia menghampiri wanita tersebut. Entah mengapa hanya dengan sekilas pandang terhadap sosok itu sontak membuat kerinduan dalam batinnya membuncah. Demikian pula dengan hasrat yang tak terjelaskan menyeruak begitu saja dalam dirinya tanpa aba-aba. Hingga-hingga butuh perjuangan menahan dirinya untuk tidak mendekap sosok tersebut.Diraihnya tangan wanita itu serta melontarkan pertanyaan singkat. "Siapa kamu?"Namun wanita dengan rambut coklat terurai itu mendorongnya menjauh. Serta merta ia mengeraskan tubuh. Ketika mendekatkan wajah pada sosok tersebut, seketika ia tertegun kala mendapati sepasang mata berwarna biru tersebut telah dibasahi oleh air mata. Membiarkan hasratnya tak terbendung, didekapnya tubuh mungil itu. Dihelanya nafas gusar ditenggarai gelengan. "Maafkan aku. Aku berusaha mengingat tapi aku..."Seketika nafasnya tercekat. Rasa sakit yang hebat kembali mendera kepalanya. Disertai gemeretak gigi menahan rasa tersebut, diangkatnya wajah hendak mel
Dokter Lucas mengangguk sembari menyandarkan tubuh ke belakang bangku, membalas tatapannya. “Ya. Anda adalah Wilbert Anderson. Tentu saja hampir semua yang bekerja di sini mengenali Anda. Anda mewakili ayah Anda, Abraham Anderson –yang merupakan salah satu direksi pendiri rumah sakit mengawasi operasional tempat ini. Kantor Anda ada di lantai tiga gedung ini. Jika ingin, Anda bisa menggunakannya seperti biasa...” tutur pria tua tersebut panjang disertai kilasan senyum.Sontak ia tergelak miris menanggapi. “Gurauan Anda itu tidak lucu, Dokter. Saya bahkan tak dapat memastikan kebenaran identitas diri dengan ingatan sendiri...”Terdengar kekehan pelan sang dokter. “Karena itu saya mohon kesabaran juga kerja sama dari Anda untuk menjalani proses pemeriksaan dan pemulihan yang akan membutuhkan waktu. Anda sedang mengalami efek-efek traumatis akibat kecelakaan. Anda juga telah berada dalam keadaan koma selama 48 hari. Dan semuanya itu berdampak besar pada kondisi Anda sekarang...”.Dihel
Semilir angin musim semi nan hangat membangkitkan kantuknya seketika. Dipejamkannya pelupuk mata yang terasa berat tersebut barang sejenak.Entah sudah berapa malam dilaluinya dengan mimpi serupa yang berulang bagai film kuno yang diputar berulang kali mengusik benak. Entah sudah berapa malam dilaluinya tanpa terlelap dengan layak sebagaimana mestinya.Ia telah separuh jalan terlelap kala sebuah rasa dingin mendarat pada lengan kanannya. Dengan terkesiap ia membuka mata dan menoleh. “Maaf membangunkan kakak. Tadinya aku mengira kakak sedang bersedih,” tegur Fransisca dari atas kursi roda yang disandingkan tepat pada sampingnya.Ia tersenyum tipis. Diusapnya titik airmata kantuk dari sudut matanya. “Aku tak mendengarmu datang ....”Gadis berwajah pucat itu membalas senyumannya. “Baru saja. Hari ini aku ada pemeriksaan rutin makanya sedikit terlambat ke mari ....”Ia hanya tergelak pelan dan mengangguk menanggapi penjelasan gadis kecil tersebut. Diraihnya buku yang ada di pangkuan Fra
"Sang putri terbangun dari tidur panjangnya dan kemudian ... ia pergi berkeliling dunia bersama sahabatnya, Fransisca ...." Ia menutup buku sembari menyeringai iseng ke arah gadis kecil yang duduk di hadapannya itu. Setelah sempat tercengang beberapa saat, Fransisca mendelik padanya ditenggarai senyum yang terkulum. Namun tak mampu membendung gelak lebih lama lagi, pada akhirnya gadis kecil tersebut meledakkan tawanya dalam seketika. "Idih. Kak Will ternyata iseng, ya...", ucap gadis tersebut masih ditenggarai gelak. Ia tersenyum lebar menanggapinya. "Melihat kamu yang tampak demikian serius menyimak, aku jadi ingin iseng." Masih sesekali tergelak, Fransisca menggeser pandangan serta melambaikan tangan ke arah seorang gadis yang tengah berjalan mendekat. Gadis yang tampak sebaya dengan Fransisca itu tidak terlihat lebih sehat dari sobat kecil di sampingnya."Kak, biarkan Kat bergabung dengan kita," ujar Fransisca begitu gadis tadi berhasil menghampiri mereka. Ia mengangguk dan b
Sesaat ia hanya terjeda serta termangu. Benaknya berputar mempertimbangkan sebelum memutuskan. Diliriknya Fransisca yang masih menatap lekat padanya menanti jawabannya. Gadis itu tampak bersiap memulai kayuhan pada kursi roda. Tak ingin tertinggal seorang diri berada di bawah pohon oak tersebut, ia pun turut mengkayuh kursi roda miliknya. Disetarakannya laju kayuhan agar berdampingan dengan Fransisca."Dari mana kamu mengetahuinya, Fran? Apakah kalian sangat dekat?" tanyanya dengan nada penuh selidik seakan mencari keyakinan untuk mendukungnya memutuskan. Gadis tersebut masih tetap pada kayuhannya. "Ruangan Kathy dan aku letaknya berseberangan. Itu sebelum dia dan Kay dipindahkan ke ruangan lain beberapa hari lalu..."Walaupun perlahan, kedua sobat itu mengkayuh kursi roda mereka dengan pasti menuju ke dalam rumah sakit. Ia mengikuti Fransisca dalam hening, tanpa melontarkan pertanyaan ataupun kata-kata berupa tanggapan. Gadis tersebut tampak yakin dengan arah tujuan kayuhannya. Ia
Bagai para maling yang tertangkap basah di tengah aksi mereka, serta merta kedua sobat itu terlonjak kaget. Susah payah ia mengatasi degupan galau jantungnya kala melihat seorang petugas penjaga menghampiri mereka dengan langkah bergegas. "Kalian tidak seharusnya berada disini," ujar sang petugas dengan wajah mengernyit dalam. Seketika ekspresi sang petugas tampak bergeming kala beradu pandang dengannya. Nada suara pria tersebut mendadak terdengar melembut setelah menyempatkan diri berdeham pelan."Tuan Anderson, ini daerah steril. Sebaiknya Anda tidak berada di sini," usir halus petugas itu padanya dengan kalimat tersirat. Petugas itu tampak mengulurkan tangan hendak menuntun kursi roda miliknya. Namun dengan cepat ia menolak.“Tunjukkan saja arahnya, kami akan mengikuti,” ujarnya pada pria tersebut dengan nada datar dan dingin. Digerakkannya kepala pada Fransisca mengisyaratkan pada gadis itu untuk segera turut beranjak meninggalkan tempat tersebut.Sesaat kemudian ia dan sobat k
Bersama nafas yang memburu dan peluh yang membasahi sekujur tubuh, ia tersentak bangun. Tanpa menunda, ditariknya separuh diri beranjak duduk sembari berkali-kali meraup udara segar ke dalam paru-parunya. Diusapnya bulir-bulir peluh dari samping wajahnya. Dihelanya nafas berulang-ulang mengatasi dentuman jantung yang tak beraturan. Lagi-lagi mimpi yang sama, batinnya. Ia mengacak gusar rambut coklatnya yang terasa basah dan lembab tersebut. Bersama ritme nafas yang masih memburu, ia menatap tanpa tujuan ke ujung pembaringan. Mengapa aku tak dapat melihat kelanjutan mimpi itu? Hanya mimpi yang sama berulang-ulang tanpa berujung. Ini semua sungguh menghantui. Ia menghela nafas panjang. Dilayangkannya pandangan ke luar jendela. Masih terang. Langit biru bersih dengan semburat tipis awan putih tampak begitu menggoda hatinya untuk keluar dari kungkungan tembok nan kelu. Namun di samping itu, dalam relung batinnya mencuat satu hasrat yang lebih menggelitik keinginannya saat ini. Ke
Pintu terdengar mengeluarkan suara ‘bip’ pelan saat perawat Adams menutupnya. Ia kembali terjeda. Setelah puas mengedarkan pandangan menelisik seluruh ruangan, ia beringsut menghampiri salah satu rak buku dan menggapai kumpulan dokumen. Dibolak-baliknya sebuah dokumen yang berhasil diraihnya tersebut di atas pangkuan. Dokumen yang memuat semacam laporan keuangan beberapa tahun lalu itu ditandatangani oleh Wilbert. Ia bahkan tak mengingat tanda tangannya sendiri jika bukan dikarenakan nama pemilik tanda tangan yang bersangkutan tertera di bawahnya. Ia bahkan juga tak memahami isi dokumen yang tengah diamatinya itu walau hanya segelintir. Dan bertanya pada diri sendiri apakah kemampuan seseorang turut menghilang bersama dengan ingatan yang dimilikinya? Ditutupnya dokumen yang menyerupai buku tersebut dengan disertai helaan gusar. Ia kembali mengitarkan tatapan. Sejauh pandangan ia hanya menemukan deretan dokumen pada rak-rak yang ada. Sungguh membosankan, gerutu batinnya seketika.