Share

Taman dan Pohon Oak

Ban kursi roda terdengar berdesir-desir bergesekan dengan lantai. Dentingan pintu lift yang telah berulang kali didengarnya selama berpindah-pindah ruang pemeriksaan tak lagi mengusik perhatiannya kini. Senyuman wajib yang selalu disunggingkan para perawat pendampingnya itu juga tak pernah mampu memberi sedikit pun penghiburan baginya. 

Lorong demi lorong yang dilintasi, ruangan demi ruangan yang dimasuki. Kesemuanya tampak monoton di matanya. Namun dalam keheningannya, ia diam-diam memetakan lorong-lorong serta tempat yang menarik minatnya ke dalam benak –jalur menuju taman belakang termasuk salah satunya.  

"Sus Adams..." panggilnya pada perawat senior yang berada di balik punggungnya tersebut saat mereka beranjak meninggalkan ruang CT Scan. 

Tuntunan pada kursi rodanya sontak tersendat sesaat menyiratkan keterkejutan wanita tua itu. Tampaknya perawat tersebut tak menduga ia mengenali serta mengingat namanya dalam pertemuan mereka yang baru dalam hitungan jari. 

Samar-samar terdengar wanita tua tersebut berdeham halus menata nada suara sebelum kemudian terdengar menanggapi. 

“Ada yang bisa saya bantu, Tuan Anderson?”

“Kecelakaan apa?” ujarnya dengan suara pelan. Ia terjeda sesaat, membiarkan diri menyusun kata-kata agar dapat mengutarakan keingintahuannya dengan tepat. Dan sebagaimana dugaannya, lawan bicaranya itu segera mengungkapkan kebingungannya. 

“Maaf?”

Ia mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan kalimat yang lebih jelas. “Kecelakaan apa yang aku alami?”

Dengan cepat sang perawat memberi jawaban. “Berdasarkan info yang saya dengar Anda korban tabrak lari...” 

“Ah, berarti kecelakaan lalu lintas...” sahutnya menyimpulkan. Tanpa jeda, ia kembali melontarkan pertanyaan selanjutnya.   

“Apakah korban kecelakaan itu hanya aku?” 

Alih-alih menjawab dengan cepat seperti sebelumnya, kali ini perawat Adams terdengar hening. 

Hati kecilnya menggeliat semakin ingin tahu apakah keheningan sosok tersebut diakibatkan oleh ketidaktahuan atau oleh keraguan. 

Kala ia hendak menoleh mencari tahu, tubuhnya tercekat oleh rompi penyangga juga rasa sakit yang serta merta muncul. 

Ia hanya mampu bergeming pelan dan melempar sebuah kalimat singkat sebagai pendesak tanggapan sang perawat. 

“Sus?”

Sadar akan tanggapannya yang tengah dinantikan, wanita tua itu segera membuka mulut untuk menjawab. 

“Saya tidak tahu pasti. Dengar-dengar ada seorang lagi selain Anda saat kecelakaan terjadi. Tetapi korban tersebut tidak berhasil terselamatkan akibat pendarahan hebat yang dialaminya...”

Will terhenyak. Seolah tak pernah terpuaskan meski pertanyaan-pertanyaannya telah mendapatkan jawaban, kini beberapa pertanyaan-pertanyaan baru menyeruak begitu saja di dalam batinnya. Apakah ‘seorang lagi’ itu orang yang berarti bagiku? Apakah itu sebabnya tiada orang yang mendampingiku selama dirawat di sini? Siapakah ‘seorang lagi’ itu? Apa hubungannya denganku hingga mengalami kecelakaan bersama? 

Ia mengernyit berusaha membendung pertanyaan-pertanyaan untuk terus menerus bermunculan membanjiri benaknya. 

Rasa tak nyaman mulai bersarang di kepalanya saat ini menyiratkan padanya untuk berhenti. Dikepalnya kedua tangan erat di atas pangkuan menenggarai rasa tersebut. 

Ia mengenali lorong yang tengah mereka lintasi kini. Pada ujung lorong ini terdapat jalan menuju taman. Keinginannya untuk melihat dunia luar secara nyata seketika tak terbendung. Ditekankannya kedua tangan ke atas roda kursi, mencegat benda yang membawanya itu untuk tidak bergeming ke arah lain. 

“Tuan?” terdengar sang perawat mempertanyakan sikapnya tersebut.

“Dari sini aku bisa sendiri...”

“Maaf. Apa maksudnya, Tuan Anderson?” tanya perawat Adams masih tak menangkap maksud perkataannya.

“Aku akan melanjutkan perjalananku sendiri...” 

“Anda tidak bisa...”

Wanita tua itu menggeleng dengan suara yang sempat tercekat. Dan sesaat kemudian memutuskan melanjutkan ucapan dengan arah yang berbeda. 

“Apa Anda ada keperluan ke tempat lain, Tuan? Biar saya mengantarkan Anda ke sana...” 

Ia serta merta menghentikan niat untuk bersikerasnya. Ditunjuknya pintu kaca yang dipendari cahaya dunia luar itu. 

“Ke taman yang tampak dari jendela ruanganku. Aku butuh udara segar...” ujarnya datar.

“Baik. Saya bantu Anda ke sana...” sahut perawat Adams menyanggupi. 

Sang perawat menghentikan kursi rodanya beberapa langkah setelah melewati pintu, tepat di atas lapangan berumput seolah tengah menanti instruksi berikutnya. Namun ia tak ingin menjadi pasien yang penuh tuntutan. 

Sembari memicing menenggarai silaunya sinar mentari, ia mulai mengkayuh kursi roda tersebut. Dan dengan cepat perawat itu menyusulnya, kembali meraih pegangan kendali pada belakang kursi roda serta menuntunnya menyusuri taman. 

Ia terhenyak. Ditolehkannya kepala separuh jalan ke belakang dan kemudian mengutarakan keingintahuan spontannya. 

“Apakah semua pasien akan diperlakukan seperti ini?”

Lagi-lagi perawat Adams tampak terjeda sebelum memberi jawaban. “Seharusnya iya...”

Sekalipun hanya taman kecil yang berada di belakang sebuah bangunan rumah sakit, tampaknya para insan yang bernafas tak ingin melewatkan siang hari nan cerah itu begitu saja. Gelak tawa anak-anak yang bersenda gurau terdengar riang menggema. Beberapa pasien yang tampak duduk atau berlalu lalang bersama keluarga mereka juga tak ketinggalan untuk menikmati hangatnya mentari musim semi. 

Setelah kursi rodanya digiring lebih jauh ke sebelah kanan taman, sebuah pohon oak tua yang besar dan rindang menarik perhatiannya. 

Ia mengenali pohon itu. Selama beberapa hari ini pohon besar itu selalu menyita ruang pandangnya saat melihat keluar jendela ruang perawatan. Diarahkannya telunjuk ke arah pohon tersebut. “Tinggalkan aku di bawah pohon itu...” pintanya singkat. 

Perawat senior itu segera menuntun kursi roda ke tempat yang dimaksudnya tersebut serta menarik tungkai rem setelah memastikan berada di tempat rata. 

Ketika hendak beranjak meninggalkannya, perawat Adams menyempatkan diri menatap ke arahnya beberapa saat. Kemudian mulai bergegas dengan langkah perlahan. 

“Apakah pihak rumah sakit telah menghubungi keluargaku atau siapapun itu?” lontarnya mencegat langkah sang perawat seketika. 

Wanita tua itu membalikkan tubuh dan kembali menatap ke arahnya. 

“Seharusnya sudah, saat Anda sadar dari koma beberapa hari lalu...”

Ia hanya terdiam dengan tatapan yang masih lekat pada lawan bicaranya itu. 

Entah karena profesional atau memang mengungkapkan jawaban yang jujur, ia tak menangkap sirat keraguan dalam tatapan perawat Adams saat menanggapinya. 

Setelah beberapa saat saling terjeda, perawat tersebut mengangguk sembari menarik diri dari hadapannya. 

“Saya akan kembali sekitar 30 menit lagi, Tuan Anderson...”  

Sekonyong-konyong hendak menggelontorkan bau getir desinfektan dari jalan nafasnya, ia menghirup udara musim semi yang diwarnai aroma hijau rerumputan itu dalam-dalam. Sekonyong-konyong hendak melupakan sejenak kesendirian yang membaluti jiwanya, ia memutar tatapan berkeliling sejauh matanya mampu untuk mencari penghiburan imaji. Sekonyong-konyong hendak melunturkan kepenatan yang melekat pekat dalam batinnya selama terkungkung di dalam ruangan rumah sakit, ia membentangkan pandangan ke langit biru di atas kepalanya serta menikmati keteduhan sang pohon. 

Ia menghela nafas panjang dan mengernyit resah. Lagi-lagi aku merasakan hati yang demikian kosong, pikiran yang hampa. Entah sampai kapan aku harus begini. Ini lebih menyiksa dari rasa sakit yang nyata-nyata mendera tubuh. Aku ingin segera mengakhiri keadaan ini. Aku tak ingin terpuruk semakin dalam. Aku tak bisa berlama-lama seperti ini. Tapi apa yang harus kulakukan? Dari mana aku harus memulainya? Bahkan identitas diri pun tersapu bersih tak tersisa dalam benakku saat ini. Sekali lagi ia menghela nafas. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status