'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
Aline mengobrak-abrik laci penyimpanan lipstik miliknya yang ada di meja rias. Kemana lipstik cair dengan warna coral yang menjadi lipstik favoritnya itu? Kenapa bisa lenyap tanpa bekas? Padahal Aline ingat betul, ia baru saja membeli lipstik itu kemarin, kenapa sekarang bisa tidak ada?Ia duduk di kursi yang ada di meja rias, nampak berpikir keras hingga beberapa detik kemudian mata Aline membulat, ia seperti teringat sesuatu. Aline segera bangkit, setengah berlari keluar dari kamar dan menuju ke salah satu ruangan yang ada di rumah bagian depan.Kemana lagi kalau bukan kamar Aleta yang hendak Aline tuju? Aleta adalah saudari kembarnya, mereka hanya selisih delapan menit saja. Dan seperti saudara pada umumnya, mereka selalu ribut-ribut untuk hal-hal kecil, termasuk untuk permasalahan pergincuan seperti ini.“Aleta!” teriak Aline di depan pintu kamar.Kamar Aleta terletak di depan, sementara Aline, ia lebih memilih kamar yang ada di belakang, dekat dengan taman karena selain kamar itu
“Minum dulu! Jangan khawatir, Aleta akan baik-baik saja.” Aline mengangkat wajah, memaksakan diri tersenyum dan menerima botol air mineral itu dari tangan Adam. Lelaki itu lantas duduk di sebelah Aline, mereka tengah duduk di kursi tunggu yang ada di depan IGD saat ini. Sementara kedua orang tua Aline, mereka menunggui Aleta di depan OK IGD. Tangan Aline membuka tutup botol air mineral yang masih tersegel, meneguk airnya dan menghirup udara banyak-banyak guna mengurai segala macam keruwetan yang kini menganggu pikiran dan dirinya. Bayangan betapa banyak genangan darah dan bagaimana kondisi Aleta tadi benar-benar membuat Aline syok dan terpukul. “Bisa ceritakan apa yang terjdi, Line?” Aline menoleh, bisa dia lihat wajah Adam nampak begitu penasaran. Tentu Aline paham kenapa Adam bisa begitu penasaran, calon istrinya mendadak bunuh diri, lelaki mana yang tidak penasaran dengan apa yang terjadi? “Aku nggak tau, Mas. Tadi aku ke kamar Aleta mau ambil gincuku yang ditilep sama dia ...
“Jadi bagaimana ini, Pak?” Budi menatap Beni yang matanya masih basah dan memerah. Ia langsung ke rumah sakit begitu urusannya selesai di kantor.Aleta, calon menantunya melakukan percobaan bunuh diri di H-6 acara pesta pernikahan! Dan sekarang gadis dua puluh lima tahun itu koma karena komplikasi yang dia alami pasca operasi dan kehilangan banyak darah. Bagaimana ini tidak membuatnya sakit kepala dan jantungan kalau seperti ini?Undangan sejumlah seribu orang sudah disebar. Vendor sudah di DP dan sudah laporan bahwa persiapan sudah cukup matang. Lantas sekarang mendadak calon pengantin perempuan dikabarkan koma setelah gagal bunuh diri? Apa yang harus Budi lakukan dan katakan pada kolega-koleganya yang notabene adalah orang-orang penting di negeri ini?Beni mengusap wajahnya dengan tangan. Ia melirik istrinya yang nampak masih syok itu. Dengan kondisi seperti itu, Beni tidak bisa mengajak Desi barang sedikit saja membahas perihal masalah ini. Sebuah kenyataan yang membuat nyawa Beni
Mata Aline membelalak. Adam dengan begitu santai dan tenang tanya kepadanya perihal mahar? Memang siapa juga yang hendak menikah dengan dia? Aline tidak mau! Dia memang masih jomblo, dia terlalu serius dengan pekerjaannya sebagi seorang penulis novel sampai-sampai Aline tenggelam dalam dunia dan cerita yang dia buat sendiri. Hal yang membuat Aline sedikit mengasingkan diri dari dunia nyata dan mengabaikan kisah asmara tidak peduli dia sudah seperempat abad. Dan hal ini tidak lantas membuat Aline auto mau dan pasrah harus menggantikan Aleta menikahi Adam!“Mas ... tapi aku nggak mau!” akhirnya Aline bisa bersuara, setelah beberapa saat ia terbungkam oleh suara-suara mendominasi di sekitarnya.Wajah Adam nampak terkejut, namun hanya sesaat, ia kembali dengan wajah tenangnya menatap Aline yang sudah siap meledakkan tangis.“Lantas, kalau kamu tidak setuju, kamu punya saran apa untuk acara minggu depan, Lin?” tanya Adam tanpa memalingkan wajah dari Aline.Aline menyeka air matanya, ia men
Aline mendesah pasrah, bahkan jam empat subuh dia sudah harus bangun dan bersiap dirias. Segala macam penolakan yang dia lakukan hanya sia-sia belaka. Tidak ada yang membela dan berpihak kepadanya sama sekali, hal yang lantas membuat Aline kalah dan akhirnya setuju dengan segala macam ide gila untuk menggantikan posisi Aleta sebagai wanita yang dinikahi sosok Adam Putra Narendra.Kondisi Aleta masih sama, tidak ada peningkatan yang signifikan, membuat Aline makin tidak berkutik dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menolak penikahan yang sudah di depan mata. Semua data Aleta sudah diganti dengan data Aline. Itu artinya, Aline akan benar-benar menjadi istri Adam, sah baik di mata agama maupun di mata negara.“Mbak Aline mirip banget sama mbak Aleta, ya?” gumam sang MUA yang mulai memulas foundation di permukaan kulit wajah Aline.Ya iya lah mirip, namanya juga kembar identik. Gerutu Aline dalam hati, ia mendadak dongkol mendengar nama Aleta disebut. Kenapa sih orang itu pikirannya
“Sah?” “SAH!” Suara sahutan itu menggema dengan begitu luar biasa, membuat jantung Aline bergetar dan matanya refleks memanas. Kenapa takdirnya seburuk ini? Menikah dengan lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya? Bagaimana bisa kehidupan Aline jadi macam kisah novel begini? Aline fokus merenungi nasibnya, air matanya menitik dan ia terlonjak kaget ketika lengannya ada yang menyentuh. Ia sontak memalingkan wajah, mendapati Adam, lelaki yang kini sudah sah dan resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan alis berkerut. Dengan hati-hati Aline menyeka air matanya, bisa dia lihat Adam mengulurkan tangan, sebuah kode yang dia tahu betul apa maksud dari uluran tangan tersebut. Aline menerima uluran tangan itu, menciumnya dengan hati dongkol setengah mati yang dia sembunyikan di balik raut tenang wajahnya. Ia bahkan membiarkan Adam mengecup puncak kepalanya, hal yang pertama kali dilakukan laki-laki selain Beni kepada Aline. Aline memejamkan mata, akan jadi apa hidupnya setelah ini?