Share

Ch. 2 Coma

“Minum dulu! Jangan khawatir, Aleta akan baik-baik saja.”

Aline mengangkat wajah, memaksakan diri tersenyum dan menerima botol air mineral itu dari tangan Adam. Lelaki itu lantas duduk di sebelah Aline, mereka tengah duduk di kursi tunggu yang ada di depan IGD saat ini. Sementara kedua orang tua Aline, mereka menunggui Aleta di depan OK IGD.

Tangan Aline membuka tutup botol air mineral yang masih tersegel, meneguk airnya dan menghirup udara banyak-banyak guna mengurai segala macam keruwetan yang kini menganggu pikiran dan dirinya. Bayangan betapa banyak genangan darah dan bagaimana kondisi Aleta tadi benar-benar membuat Aline syok dan terpukul.

“Bisa ceritakan apa yang terjdi, Line?”

Aline menoleh, bisa dia lihat wajah Adam nampak begitu penasaran. Tentu Aline paham kenapa Adam bisa begitu penasaran, calon istrinya mendadak bunuh diri, lelaki mana yang tidak penasaran dengan apa yang terjadi?

“Aku nggak tau, Mas. Tadi aku ke kamar Aleta mau ambil gincuku yang ditilep sama dia ... pas aku ketok pintu kamar, nggak ada jawaban dan pintu dikunci dari dalam.” Aline mencoba menekan emosinya, bayangan Aleta terkapar bersimbah darah kembali terngiang dalam pikiran Aline.

“Firasat aku langsung nggak enak, entah mengapa aku langsung teriak-teriak panggil papa. Papa datang dan kami dobrak barengan pintu kamar Aleta, dan ... dan ....” Aline kembali terisak, dadanya terasa begitu sesak. Tangisnya pecah, membuat ia sontak menutupi wajah dengan kedua tangan.

Kenapa Aleta senekat itu? Kenapa dia yang selama ini tampak baik-baik saja, ternyata diam-diam punya pemikirkan untuk mengakhiri hidupnya sendiri? Aline benar-benar kecolongan, ia sama sekali tidak percaya dan meyangka bahwa saudari kembarnya itu punya niat yang begitu buruk terhadap dirinya sendiri.

Tepukan lembut itu bisa Aline rasakan di bahunya, sebuah tepukan yang membuat ia lantas membuka kedua tangan dan menyeka air mata. Dihirupnya udara banyak-banyak, lalu dihembuskan perlahan sampai beberapa kali. Sebuah tindakan yang jujur membuat Aline sedikit lebih tenang, meskipun pikiran Aline terus tertuju pada Aleta yang kini didorong masuk ke ruang operasi.

“Dia tidak pernah cerita padamu tentang sesuatu? Atau lebih tepatnya tentang pernikahan kami seminggu lagi?”

Aline tertegun mendengar pertanyaan itu. Bukannya tidak tahu perihal apa yang Adam tanyakan, hanya saja ... perlukah Aline menceritakan hal ini kepada Adam? Bukan apa-apa, pasalhnya ini menyangkut orang di masa lalu Aleta dan status Adam ini sekarang adalah calon suami Aleta, pantaskah Aline menceritakan hal ini?

“Cerita saja, Line. Toh orangnya nggak di sini, aku nggak akan bilang ke dia tentang apa yang kamu ceritakan kepadaku.”

Kembali suara Adam sukses membuat Aline tersentak. Aline menoleh, menatap Adam yang bisa dia lihat dari mimik dan raut wajahnya begitu penasaran dengan pertanyaan yang dia ajukan pada Aline beberapa detik yang lalu. Aline mendesah, mendadak kepalanya menjadi pusing.

“Mas yakin pengen aku cerita?” tanya Aline meyakinkan, bagaimana kalau nanti Adam marah dan pernikahan itu batal? Ah ... tapi bukankah secara tidak langsung dengan percobaan bunuh diri yang Aleta lakukan, itu artinya Aleta juga ingin pernikahan ini tidak terjadi?

“Iya yakin, dong! Ayolah, mumpung di sini cuma ada kita berdua, Line.”

Aline kembali menghela napas panjang. Menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu mengganggukkan kepalanya perlahan.

“Oke kalau begitu!” desisnya lirih, mata Aline kembali menatap Adam yang nampak serius menyimak. “Jadi sebenarnya Aleta itu ....”

***

“Bagaimana kondisi putri kami, Dok?”

Beni langsung bangkit dan menanyakan hal tersebut pada dokter yang keluar dari OK, dokter yang tadi menemui dan meminta izin dilakukannya prosedur operasi guna menyelamatkan nyawa Aleta saat di IGD tadi.

Lelaki dengan kacamata itu nampak menghela napas panjang, menatap semua yang berdiri di sana bergantian dengan tatapan nanar. Sebuah tanda tidak baik jika dilihat dari ekspresi dan bagaimana reaksinya ketika ditodong pertanyaan tersebut oleh Beni.

“Operasi berjalan lancar, Bapak, Puji Tuhan, kami diberi kuasa dan anugerah Tuhan untuk menyelamatkan putri Bapak. Hanya saja ....”

Kalimat itu terputus, nampak dokter paruh baya itu menundukkan kepalanya. Jantung Beni seperti hendak lepas. Ia baru saja hendak mengucap syukur ketika dokter mengabarkan bahwa Aleta selamat, tetapi dengan ekspresi si dokter yang demikian, rasa bahagia Beni seolah menguap. Ada apa dengan putrinya? Bukankah Aleta selamat?

“Hanya saja apa, Dokter?” kejar Desi yang mata memerah, suaranya seperti ditekan, tangannya bahkan gemetar hebat.

“Hanya saja kondisi putri Bapak dan Ibu belum stabil. Kemungkinan dia akan mengalami koma yang saya sendiri jujur tidak tahu akan sampai kapan.”

Seperti disambar petir, Desi langsung lemas mendengar kabar itu. Tubuhnya hampir rubuh kalau saja tidak ditopang oleh Beni dan Aline. Sementara Adam, calon suami Aleta nampak berdiri mematung dengan wajah yang sulit diartikan.

“Dok, apakah tidak ada yang bisa dilakukan untuk membuat putri saya bangun, Dok?” Beni seperti belum terima, sementara Desi, dia sudah lemas dan tidak bisa lagi berkata-kata.

Dokter hanya menggeleng perlahan, mulutnya sudah terbuka hendak bersuara ketika suara lain terdengar membungkam dengan secara tiba-tiba.

“Mohon maaf sebelumnya, apakah saya bisa lihat kondisi calon istri saya, Dok?”

Semua menoleh, menatap Adam yang kini menatap lurus ke dalam mata dokter yang menangani Aleta. Wajah itu masih datar tanpa ekspresi, cukup lama sosok itu terdiam lalu ia segera menganggukkan kepala sebagai sebuah jawaban dari apa yang Adam tanyakan.

“Bisa, mari ikut saya masuk ke dalam!”

Adam menghampiri Desi dan Aline yang terduduk di kursi yang ada di depan OK, Adam meraih tangan Desi, lalu menggenggam erat tangan perempuan itu.

“Ma ... biar Adam masuk lebih dulu. Jangan pikirkan apapun, Mama tenangin diri dulu, biar Adam masuk ke dalam.”

Desi hanya mengangguk dengan air mata bercucuran, sama halnya dengan Aline. Mereka nampak kembali syok dan Adam tahu betul perasaan dua wanita ini. Ia segera bangkit, melangkah masuk ke dalam pintu dengan kaca bulat berwarna cokelat. Tidak ada suara apa-apa lagi kecuali isak tangis, mereka terpekur di depan pintu itu dengan tangis masing-masing.

Sementara Adam, ia mengekor di belakang langkah dokter bedah senior yang menangani kasus Aleta. Adam kenal sosok ini, meskipun tidak kenal secara personal, tetapi sebagai sejawat dengan spesialisasi yang sama, Adam dan dokter Burhan satu organisasi. Jadi tidak heran kalau Adam mengenal sosok ini, meskipun sekali lagi dia tidak mengenal secara pribadi sosok berkacama yang melangkah di hadapannya. Langkah mereka terdengar begitu ringan. Hingga di depan pintu ruang post operasi, Adam menghentikan langkahnya secara tiba-tiba.

“Sebelumnya mohon maaf, tapi kalau boleh saya tahu, berapa skala GCS Aleta, Dok? Apakah sebegitu parah?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status