Share

Ch. 6 Kenapa?

“Sah?”

“SAH!”

Suara sahutan itu menggema dengan begitu luar biasa, membuat jantung Aline bergetar dan matanya refleks memanas. Kenapa takdirnya seburuk ini? Menikah dengan lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya? Bagaimana bisa kehidupan Aline jadi macam kisah novel begini?

Aline fokus merenungi nasibnya, air matanya menitik dan ia terlonjak kaget ketika lengannya ada yang menyentuh. Ia sontak memalingkan wajah, mendapati Adam, lelaki yang kini sudah sah dan resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan alis berkerut.

Dengan hati-hati Aline menyeka air matanya, bisa dia lihat Adam mengulurkan tangan, sebuah kode yang dia tahu betul apa maksud dari uluran tangan tersebut. Aline menerima uluran tangan itu, menciumnya dengan hati dongkol setengah mati yang dia sembunyikan di balik raut tenang wajahnya. Ia bahkan membiarkan Adam mengecup puncak kepalanya, hal yang pertama kali dilakukan laki-laki selain Beni kepada Aline.

Aline memejamkan mata, akan jadi apa hidupnya setelah ini? Kenapa mendadak hidup Aline terselimut kabut yang begitu tebal sampai Aline tidak bisa melihat apa-apa lagi?

***

“ADUH!”

Aline hampir terjelembab ke lantai kalau saja tangan kekar itu tidak menarik dan menahan tubuhnya. Aline menoleh, nampak Adam menatapnya dengan tatapan khawatir. Dengan segera, Aline menegakkan badannya, melepaskan diri dari sentuhan Adam dengan sedikit kasar.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Adam ketika Aline sudah kembali berdiri tegak.

“Nggak! Terima kasih!” balas Aline ketus lalu mencoba melangkah lagi.

Nahas, baru beberapa langkah, Aline kembali hampir jatuh. Sebuah tragedi yang membuat Adam kembali menyentuh dan menahan tubuh Aline agar tidak jatuh. Aline mengumpat dalam hati. Ia melakukan hal yang sama dengan apa yang tadi dia lakukan terhadap sentuhan Adam pada tubuhnya. Dan kali ini, Aline bahkan melepas kedua sepatunya, menarik sedikit ke atas kain jarik yang membungkus tubuh bagian bawahnya lalu melangkah pergi meninggalkan Adam tanpa berkata-kata lagi.

Dia tidak berniat menoleh untuk sekedar melihat wajah Adam yang berubah sedu dan menatap kepergiannya tanpa berkedip. Sudah cukup Aline bersandiwara untuk hari ini. Pura-pura tersenyum manis dan penuh bahagia di depan kamera dan tentu saja di depan tamu undangan yang sebenarnya adalah tamu saudari kembarnya!

“Kenapa harus begini nasib aku, Gusti?” Aline menggerutu, ia membiarkan air matanya menitik, melangkah dengan gusar menuju kamar hotel yang sudah disiapkan untuknya.

Langkahnya sengaja sedikit ia hentakkan ke lantai, sebuah ekspresi kesal, marah, sedih dan kecewa yang bercampur jadi satu. Kenapa orang tuanya begitu bernafsu menjodohkan anak-anaknya dengan Adam? Hal yang lantas membuat Aleta nekat bunuh diri sampai koma hingga sekarang ini. Hal yang memaksa Aline merelakan masa depannya yang sudah dia persiapkan dengan begitu indah dan harus menggantikan Aleta menikahi calon suaminya.

Ini benar-benar gila! Aline pikir orang tua model begini hanya ada di cerita novel dan sinetron ikan terbang, ternyata dia sendiri mengalaminya sekarang! Aline terus melangkah, tidak peduli dengan suaminya yang sejak tadi mengikutinya dari belakang.

Adam tersenyum kecut melihat Aline yang nampak begitu antipati terhadapnya. Ia hanya menghela napas panjang dan berharap bisa segera sampai kamar mereka untuk kemudian berganti baju. Semua acara hari ini sudah selesai, apa yang orang tuanya dan tentu saja orang tua Aleta dan Aline inginkan sudah terwujud.

Sekarang kedua keluarga sudah bersatu, sebuah simbol yang menandakan bahwa kerjasama kerja itu sudah resmi dan benar-benar sah terjalin antar dua keluarga. Sebuah alasan kenapa Adam harus mau tidak mau menikahi satu di antara dua anak Beni Darmawan tersebut.

Setelah ini, Adam ingin tenang bekerja dengan passion yang dia miliki, tidak mau lagi ribut-ribut dengan sang ayah masalah pernikahan dan perusahaan. Bukankah sekarang Adam sudah menikah dan mengikuti apa yang mereka mau? Dan tentang perusahaan, Adam sama sekali tidak pernah tertarik sejak dulu. Tidak bahkan hotel yang nantinya akan dia warisi semewah dan seelit ini, Adam tidak peduli. Ia mencintai profesinya, sebuah profesi yang sudah menarik perhatian Adam sejak dulu.

Adam tersenyum masam ketika melihat sepatu Aline terjatuh. Alih-alih mengambil sepatunya, Aline malah menendang sepatu itu macam bola. Kini Adam malah jadi begitu penasaran, bagaimana caranya istrinya itu bisa luluh dan mau menerima takdir mereka? Apakah Adam bisa meluluhkannya?

“Jangan sebut namaku kalau aku tidak bisa membuat kamu bertekuk lutut, Lin!”

***

“Loh, Mas ngapain?” tentu Aline berteriak ketika lelaki itu masuk ke dalam kamarnya.

Sedetik kemudian Aline sadar dan ingat bahwa lelaki yang masih mengenakan beskap yang warnanya senada dengan kebaya yang dia pakai itu sudah resmi menjadi suaminya per hari ini.

“Mau tidurlah, Lin! Ini kamarku juga!”

‘MAMPUS!’

Aline menepuk jidatnya dengan gemas, menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menjatukan diri di atas ranjang setelah melepar satu sepatu yang masih ada di tangannya ke sembarang arah.

“Aku nggak mau kita tidur satu ranjang!” gumam Aline kemudian, ia tidak mau menoleh dan menatap wajah itu. Entah mengapa ia begitu benci dengan lelaki yang sudah resmi menikahinya per hari ini.

“Terus aku tidur di mana?” suara itu nampak protes, membuat Aline menoleh dan menatap sengit ke arah lelaki berparas tampan itu.

“Terserah Mas, intinya aku nggak mau tidur seranjang sama kamu, Mas!” tegas Aline sambil melotot tajam, matanya kembali memanas dan sedetik kemudian tangisnya kembali pecah.

Ia menundukkan wajah, terisak dengan bahu naik-turun dan tangan menutupi kedua wajahnya. Acara sudah selesai jadi sebodoh amat make-up di wajahnya rusak, Aline tidak peduli lagi. Ia sibuk menangisi nasibnya ketika kemudian tepukan lembut itu mendarat di bahunya.

“Aku paham dan ngerti kalau kamu belum bisa terima pernikahan kita, Lin. Tapi apa salahnya sih kalau kita coba saling buka hati? Saling memahami satu sama lain? Kita udah suami-istri loh sekarang ini.” Suara itu begitu lembut dan lirih, tidak nampak nada marah di dalam suara itu, nada kesal atau nada tidak enak lainnya.

Aline mengusap air matanya dengan asal, ia belum mau mengangkat wajah sampai tangan itu meraup wajahnya dengan lembut dan menengadahkan wajah Aline sampai bisa menatap wajah tampan nan bersih yang Adam miliki.

“Nangis sampai kayak bagaimanapun, ini udah jadi nasib kita, Lin. Nggak bisa dirubah lagi.” Adam tersenyum simpul, jemarinya sibuk menyeka air mata yang membasahi pipi Aline. “Kita coba yuk saling buka hati, bisa kok, aku percaya. Mau kan?”

Aline tercekat, kenapa lelaki ini nampak begitu santai dengan apa yang terjadi di antara mereka? Kenapa kesannya dalam permasalahan ini hanya Aline yang belum dan tentu saja tidak bisa menerima pernikahan ini?

Jangan-jangan ....

"Masalahnya tidak segampang itu, Mas! Ini soal hati dan perasaan!" Aline menatap tajam mata itu, sama sekali tidak mengindahkan kata-kata lembut yang tadi terdengar olehnya.

Mencoba buka hati? Dia kira jendela bisa dengan begitu mudah di buka?

"Iya tapikan kita belum coba, Lin!" Adam kekeuh mengutarakan pendapatnya pada Aline.

"Mas, ini tuh soal cinta, soal hati. Masa iya hati dipakai coba-coba sih? Aku nggak bisa!" tegas Aline tidak mau dibantah.

"Maksudnya nggak bisa?" kening Adam berkerut, apa maksud dari kata tidak bisa?

"Aku nggak cinta sama kamu, Mas! Sejak awal aku nggak pernah mau ini terjadi." suara Aline begitu lirih, tercekat menahan tangis. "Dan tolong, tak peduli apa status kita sekarang ini, aku cuma mau minta dan mohon sama kamu, jangan pernah berharap aku mau kamu sentuh seperti istri-istri pada umumnya. Mengerti?"

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Dewi Cantixa
wah cerita nya lucu banget deh apa lagi si. aline
goodnovel comment avatar
Claresta Ayu
Semangat Adam...
goodnovel comment avatar
Aai
Menyentuh cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status