Share

RF4

Ruby terus berjalan cepat meninggalkan Tom dan semua orang yang ada di rumah besar itu.

Begitu Ruby sampai di pinggir jalan raya, ia celingak-celinguk mencari taksi yang mungkin saja lewat di jalan raya di depannya. Namun, belum lagi ada taksi yang lewat, Ruby melihat satu sosok yang sangat dikenalnya. Ruby mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di samping mulutnya.

"Alena!" teriak Ruby sekuat tenaga.

Di seberang jalan, seorang gadis sebaya Ruby nampak bingung. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari-cari sumber suara.

"Hei! Aku di sini!" Ruby melambaikan kedua tangannya. Melompat-lompat di tempat sebagaimana seorang anak kecil yang melihat ayahnya pulang ke rumah.

"Ruby?" Alena berteriak ketika ia menyadari bahwa Ruby lah yang memanggilnya. Dengan sigap sahabat Ruby yang saat itu mengenakan dress selutut menyeberang jalan. Napasnya ngos-ngosan begitu ia tiba di depan Ruby.

Sambil membungkukkan badan dan menahan bobot tubuh dengan kedua tangan yang berpangku di lutut, Alena bertanya dengan kepala mendongak, "kenapa kamu di sini, Rub? Bukannya hari ini hari pertunanganmu? Harusnya sekarang kau sedang ada di tempat acaramu. Aku ini baru saja mau ke sana."

Ruby membelalakkan matanya. "Jangan! Kau jangan ke sana!"

"Kenapa? Kamu ini aneh. Atau jangan-jangan kamu terlambat datang ke sana jadi kamu malu karenanya. Iya?" tanya Alena memastikan. 

"Bukan itu!"

"Lalu apa?"

Ruby menoleh ke ke sekeliling, lalu ia meraih tangan Alena.

"Ayo ikut aku!"

"Kemana?"

"Ke apartemenku," sahut Ruby singkat. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu menarik tangan Alena. Membawanya pergi dari tempat itu.

***

Sementara itu, di rumah besar milik orangtua Tom, telah terjadi keributan. Sejak tadi Tom nampak mondar-mandir dan mengecek semua ruangan yang ada di rumah itu. Setiap bertemu dengan siapa pun, dia akan bertanya.

"Kamu lihat Ruby?"

"Lihat Ruby?"

"Ruby kemana ya?"

Namun tak ada satu orang pun yang tahu dimana Ruby berada. Mereka justru saling pandang satu sama lain begitu menyadari bahwa yang punya pesta - Ruby - justru tidak ada di tempat itu.

"Bukannya tadi gadis kampungan itu pamit padamu? Bukannya tadi dia bilang dia mau ke toilet?" tanya Clara acuh tak acuh. Ia bicara sambil memandangi kuku-kuku di jari kanannya.

"Hahh!" Dengan gusar Tom mengacak rambutnya. "Sial! Kenapa dia bisa kabur? Sia-sia sudah semua rencana dan pengorbananku selama ini."

"Cih! Gadis jelek begitu mau kamu pertahankan? Untuk apa? Keberadaannya tidak akan menguntungkanmu. Biarkan sajalah dia pergi," timpal Sarah dengan tatapan sinis.

Tom memandangi Clara dan Sarah bergantian. Lalu ia berjalan menghampiri dua saudara kandungnya itu. Pandangan matanya tajam, menghujam batin kedua adik perempuannya itu.

Sarah dan Clara saling bertatapan. Seperti janjian, dengan serentak mereka bangkit dari sofa biru di ruang keluarga itu. Hendak menyelamatkan diri dari amukan Tom.

"Kalian bicara apa barusan? Biarkan saja dia pergi? Ruby itu asetku! Dengan keberadaannya, maka bisnisku akan makin besar. Bagaimana mungkin aku mengabaikannya?"

Sarah menarik sebelah bibirnya ke atas. "Aset apa? Aset miskin? Dia nggak pantas berada di keluarga kita. Status sosialnya saja rendahan seperti itu. Bagaimana dia bisa menguntungkanmu? Ha?"

Tom menatap marah pada kedua saudarinya itu. 

"Kalian saja yang terlalu bodoh!"

"Kamu yang bodoh!"

"Dasar bodoh!"

"Kalian yang bodoh. Tolol!" Tom menunjuk Sarah dan Clara bergantian. 

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di sini? Hei Tom, lihatlah keluar. Para wartawan itu mencarimu. Mereka ingin mewawancaraimu." Roger Smith, ayah Tom, datang dan melerai pertengkaran mereka bertiga.

"Awas kalian!" ujar Tom sambil berlalu.

"Hampir saja!" Sarah mengelus dada.

"Benar. Hampir saja," timpal Clara. "Kita harus segera menemukan gadis itu dan memastikan dia tidak akan masuk ke keluarga ini. Kau masih punya kontak teman-teman spesialmu itu, kan?" Clara melanjutkan kalimatnya.

Sarah mengangguk. "Masih.Tentu saja. Kita akan pastikan perempuan jalang itu tidak akan kembali ke sini. Seperti halnya dua perempuan malang yang lalu." Sarah menahan ketawanya. Kedua tangan ia letakkan di depan mulut.

Clara tersenyum licik. Gadis itu menoleh ke arah pintu masuk dimana Tom sedang berdiri dengan dikerumuni para wartawan.

***

"Pak, bagaimana acara pertunangan tadi?" Seorang wartawan yang berdiri tepat di depan Tom menyodorkan mic pada Tom.

"Lancar. Semua lancar-lancar saja," jawab Tom singkat. Matanya melirik kanan kiri, tidak memandangi mata wartawan yang bertanya padanya.

"Dimana tunangan Bapak sekarang, Pak? Kenapa beliau tidak ikut keluar?" Seorang wartawati yang berdiri paling belakang berteriak.

Semua orang berpaling ke arah wartawati tersebut. Lalu beberapa dari mereka menganggukkan kepala, menyetujui pertanyaan yang diajukan wanita itu.

"Iya, Pak. Benar. Dimana Nona Ruby, Pak. Mengapa beliau tidak ikut wawancara bersama Bapak? Kami ingin memfoto Bapak dan Nona Ruby sambil menunjukkan cincin pertunangan kalian, Pak." Seorang wartawan bernama Gabriel ikut menimpali.

Tom nampak gugup. Ia menyeka keringat yang membasahi kening.

"Ruby … dia sedang di toilet. Sepertinya sedang sakit perut. Saya rasa wawancara ini sampai di sini dulu. Silakan Anda semua pulang. Terima kasih." Tom mengakhiri tanya jawab dengan para wartawan itu. Dia mengangkat kedua tangannya dan membalikkan badan. Ingin segera pergi dari tempat itu.

Akan tetapi, Gabriel nampak belum puas. Ia menyeruak maju dan menghadang jalan Tom.

"Pak, apakah benar rumor yang mengatakan kalau kedua mantan tunangan Bapak jadi gila karena pertunangan Bapak dengan mereka, Pak?"

Tom tercengang. Wajahnya pucat setelah mendengar pertanyaan itu. Namun Tom mengangkat kedua tangannya dan hanya memberikan isyarat dengan lambaian tangan.

Sementara itu, salah seorang wartawan mendekati Gabriel dan bertanya, "darimana rumor itu datang? Kenapa saya tidak mengetahui rumor tersebut?"

Gabriel mengangkat bahu dan menepuk pundak Ed, wartawan yang tadi bertanya padanya. Kemudian, ia pergi meninggalkan Ed yang masih diliputi sejuta tanya.

***

Satu jam kemudian di apartemen Ruby.

"Rub, kamu berutang penjelasan padaku. Katakan, mengapa kamu tidak ada di sana? Ini tidak masuk akal. Sebab, tadi aku melihat televisi dan di situ ada kamu dan Tom yang sedang naik mobil. Bagaimana mungkin sekarang kamu justru ada di sini?"

Alena duduk bersandar di sofa. Di pangkuannya ada sebuah bantal tebal berwarna biru. Gadis itu nampak sedang mencabuti  benang yang keluar dari bordiran di bantal tersebut.

Ruby menghempaskan bokongnya di samping Alena. Lalu ia menghembuskan napas kasar.

"Panjang ceritanya. Apa kamu yakin mau mendengar semua itu?" tanya Ruby sambil menatap Alena dengan intens.

"Jangan kamu lupakan fakta bahwa kita pernah tidak tidur semalaman hanya karena saling bercerita tentang mantan-mantan kita, okey?" timpal Alena sambil tertawa renyah.

Ruby tertawa kecil lalu ia menyandarkan kepala ke belakang. Ingatannya berkelana pada kenangan yang dirajutnya bersama sahabatnya itu.

"Ini mungkin akan jadi cerita terpanjang dan mungkin akan belum selesai kisahnya meski aku ceritakan padamu semalaman lagi. Jadi … bagaimana kalau sekarang kamu membantuku mengemas barang-barangku saja? Aku harus segera pergi dari sini." Ruby memalingkan kepala ke arah Alena.

"Kamu mau pindah? Serius?" Alena menggelengkan kepalanya berkali-kali. Makin heran dengan sikap Ruby yang diluar dugaan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status