Share

RF6

Tanpa mengetuk, Tom membuka apartemen Ruby. Wajahnya berubah begitu pintu itu terbuka. 

Ada dua orang wanita berada di dalam sana. 

Tom mengedarkan pandang ke penjuru apartemen, lalu mengeryit. Kemudian lelaki itu melongok keluar pintu. Melihat lagi angka yang tergantung di pintu.

32 E.

Tom tertegun sejenak. Ini kamar apartemen Ruby. Apa yang sedang terjadi?

"Ini nomor 32 E kan?" tanya Tom pada kedua wanita yang ia jumpai di sana. Ingin memastikan.

Kedua wanita tersebut berpandangan. Kemudian tanpa dikomando, mereka kembali melihat Tom.

"Benar. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?"

"Bukankah ini apartemen Ruby?" tanya Tom heran.

Salah satu wanita itu menjawab, "iya, tadinya, Tuan. Tapi sekarang Nona Ruby sudah pindah."

"Pindah? Bagaimana mungkin? Tadi pagi saya menjemput dia ke sini. Dia tidak bilang kalau mau pindah hari ini," jawab Tom. Ia berusaha terlihat tenang agar dua wanita yang ada di depannya tidak curiga.

"Memang Nona Ruby nampak sangat buru-buru tadi, Tuan."

"Begitu ya?" timpal Tom. Diliriknya meja di dekat tivi yang nampak kosong, lalu kembali menatap wanita di depannya. "Apa dia bilang mau pindah kemana?"

Wanita tersebut menggeleng. "Tidak, Tuan. Nona Ruby tidak bilang apa-apa. Omong-omong, Tuan siapa?"

Tom menautkan kedua alisnya. "Memangnya kenapa?"

"Apa Tuan yang bernama Tuan Tom, tunangan Nona Ruby?" Wanita yang tadi hanya memperhatikan interaksi antara dua manusia di depannya itu, ikut menimpali. 

Tom mendengkus. "Iya benar."

Wanita yang sedang memegang kemoceng memandang temannya itu sekilas lalu merogoh saku celemeknya.

"Ini ada surat dari Nona Ruby. Kalau Tuan yang bernama Tom. Mungkin Tuan adalah orang yang dimaksud Nona Ruby." Wanita tersebut menjelaskan sambil memberikan sebuah kertas yang terlipat pada Tom.

Dengan pikiran yang kacau Tom menerima surat yang diberikan kepadanya.'

"Terima kasih," jawab Tom.

Kedua wanita tersebut mengangguk dan Tom pun menutup pintu apartemen Ruby.

Tom menyandarkan punggung di dinding. Pria itu kemudian membuka sebuah kertas dengan tulisan yang acak-acakan di dalamnya. Sebuah cincin jatuh menggelinding di lantai bersamaan dengan terbukanya surat itu.

Tom berjongkok dan mengambil cincin itu. Kemudian tanpa merubah posisinya, lelaki itu membaca rangkaian kata-kata yang tertulis di sana.

Dear Tom,

maaf aku pergi buru-buru. Tidak perlu mencariku, Tom. Silakan kamu cari penggantiku saja.

Ruby.

Singkat. Surat itu begitu singkat tapi isinya membuat Tom ingin pingsan saja.

Ruby pergi dan dia tidak ingin bertemu denganku lagi. Apakah dia mengetahui sesuatu? Bagaimana dengan rencanaku selanjutnya yang sudah pasti akan gagal. Tom membatin.

Genggaman tangan lelaki itu melemas. Surat yang ada di tangannya  jatuh ke tangga. Melayang tertiup angin dan berakhir di anak tangga paling bawah.

"Ruby ….," lirih Tom. 

Ia mendongak. Tetiba matanya terasa penuh oleh cairan bening. Beberapa kali lelaki itu mengerjap, demi mencegah cairan itu menganak sungai.

Ya, benar. Tom patah hati.

Biar bagaimana pun, Tom sangat mencintai Ruby. Sekian lama lelaki itu menahan diri, menjaga hatinya agar tidak jatuh cinta, akhirnya dia gagal juga.

Pesona Ruby begitu memikat. Gadis itu begitu sederhana dengan pandangan hidup yang begitu bersahaja. 

Akan tetapi karena Tom dibesarkan dalam kemewahan George Smith, lelaki itu begitu mengagungkan status sosial, meskipun dia bukan anak kandung George sendiri, melainkan anak sahabatnya. 

Cinta Tom membuatnya lupa saat ada banyak wartawan datang ke rumah George. Dia membual begitu  hebat. Begitu ingin Ruby dipandang tinggi secara status sosial, agar sepadan dengannya. Agar tidak ada yang meremehkan dan membuatnya bernasib  sama seperti kedua tunangan Tom sebelumnya. Namun Tom lupa bahwa Ruby bukan wanita yang gila status sosial maupun materi. Tunangannya itu ingin dicintai apa adanya.

Memandangi cincin pertunangan milik Ruby yag tadi pagi baru saja ia sematkan di jari manis wanita itu - yang kini ada di tangannya - Tom bermonolog. "Ruby, kamu salah paham. Kamu pasti salah paham."

Tom mencium cincin itu selama beberapa saat. Kedua matanya terpejam. Nampak pundakn

ya turun naik saat ia melakukannya.

Tom memutuskan untuk duduk selama beberapa saat. Mengenang pertemuan pertamanya dengan Ruby.

Kenangan yang nyaris membuat hidupnya berubah 180 derajat. Seandainya tidak ada drama kaburnya Ruby 

***

Hari sudah larut. Jalanan mulai sepi. Hilir mudik kendaraan berpacu dengan kabut yang perlahan turun menyelimuti.

Kota Woodstock malam itu tampak lebih lengang dari biasanya. Awal musim dingin mengantarkan angin dingin bertiup menusuk tulang.

Seorang pria berjalan gontai dengan kepala tertunduk. Mantel abu-abu yang ia pakai sesekali melambai tertiup angin. Membuat pria itu merapatkan mantel tersebut guna melindungi dirinya dari hawa dingin. 

Tom Smith nama lelaki itu.

Ia baru saja diskors oleh sang ayah - George Smith - yang notabene adalah pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Kata-kata sang ayah saat mengusirnya dari kantor terngiang-ngiang di telinganya.

"Bagaimana kamu bisa memimpin perusahaan kalau kamu tidak bisa memimpin dirimu sendiri? Sekarang keluar dan cari wanita ini! Aku ingin kamu menikah dengannya. Hanya dengan cara itu kamu akan bisa kembali ke perusahaan dan menduduki jabatan yang sama. Bahkan bila pernikahan kalian lancar, aku akan memberikan warisan 80 persen dari semua aset milikku."

George melemparkan sebuah foto yang menempel pada kertas berisi catatan.

Tom memungut foto itu, lalu bertanya, "siapa dia?"

"Kau tidak perlu bertanya. Temukan saja gadis itu dan nikahi dia. Pengetahuanmu sudah cukup sampai situ!"

Tom tersenyum sinis.

"Kau ingin aku membeli kucing dalam karung? Menikahi wanita yang bahkan aku sendiri tidak tahu siapa dia."

"Jangan lupakan statusmu yang hanya anak angkat, Tom! Aku bisa dengan serta merta mencoret namamu dari daftar keluarga. Kalau bukan karena aku berutang budi pada ayahmu, mungkin sudah sejak bertahun lalu aku mendepakmu dari kartu keluarga."

Wajah George memerah. Pria paruh baya itu tak kalah murkanya dengan Tom.

Tangan Tom mengepal. Lelaki itu ingin berteriak, memprotes jalan hidupnya yang begitu rumit. Tapi apa daya? Sifat dasar Tom yang begitu peduli dengan status sosial dan uang menghalanginya.

"Oke, sekarang katakan dimana dia?" Tom membuang muka saat mengatakan itu.

"Dia ada di kota ini. Aku ingin kau mendekatinya secara alami. Jangan buat dia curiga akan dirimu. Buatlah dirimu seolah-olah pria biasa yang tak punya kekuatan apa-apa. Baik harta maupun jabatan. Nanti ada waktunya semua rahasia itu akan terbuka. Bersikap normal dan jangan katakan apapun tentang keluarga kita!" 

"Apakah dia satu orang dengan dua nama? Catherin Willow dan Ruby Thompson?"

"Ya," sahut George datar.

Ingatan Tom kembali ke masa sekarang. Dipandanginya lampu-lampu gedung yang menyala memperindah kota.

Tom mengusap peluh yang hadir di kening. Hal yang aneh, sebab udara saat itu begitu dingin namun Tom berpeluh.

Tangan kiri Tom memegangi mantel yang ia kenakan. Tangan kanannya terjulur masuk saku mantel dan mengeluarkan selembar foto dan secarik kertas berisi catatan.

"Dimana aku bisa menemukanmu, Catherine Willow atau Ruby Thompson?" bisik Tom menyebut dua nama yang tertera dalam catatan itu.

"Catherine Willow. Ruby Thompson." Tom menyebut kedua nama itu sekali lagi. Lalu dia mengangkat kepala, menatap awan di angkasa yang malam itu berarak pelan di langit.

Langkah gontai Tom membawanya ke persimpangan. Persimpangan yang sudah ratusan bahkan ribuan kali ia lewati dengan kendaraannya. Persimpangan yang biasa saja dengan lampu lalu lintas menggantung di atas jalan.

Tom berdiri menunggu lampu penyebrangan untuk pejalan kaki berganti warna menjadi hijau. Setelahnya ia akan melangkah menyusuri zebra cross yang ada di sana menuju sisi jalan lainnya.

Beberapa saat kemudian lampu bagi pejalan kaki itu pun brubah menjadi hijau. Saatnya Tom menyebrang jalan.

Tom berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Otaknya yang kusut terlupa untuk memberinya instruksi agar dia mengecek keadaan lalu lintas dengan menoleh ke kanan dan kiri.

Saat Tom baru saja melangkah, tiba-tiba ada sebuah jip melaju zigzag ke arahnya. Lelaki yang sedang sibuk dengan pikkirannya sendiru itu tidak menyadari bahaya yang sedang mengincarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status