***
Erland pulang dari rumah sakit dengan menaiki mobil mewah berwarna hitam. Operasi transplantasi lever begitu menyulitkan. Namun, Erland mampu mengatasinya dengan lancar.
Panggilan telepon masuk melalui radio mobil dan Erland langsung mengangkatnya, terdengar suara lembut dan ceria yang mengejutkan Erland. Dia adalah Alfan Fatih, anak pertama dari Erland.
“Halo, Alfan. Apa kamu sudah makan?” tanya Erland.
“Halo, Ayah. Ibu berkata kita akan makan malam di luar sekarang, Ayah kapan pulang?” tanya Alfan.
Ibu Alfan, Melisa sedang berjongkok tepat di belakang anaknya. Ia memandu Alfan yang masih bersikap polos untuk bersama mengerjai ayahnya, keduanya memang paling suka melakukan hal itu bersama.
“Makan malam? Bukannya Ibu sudah membuat makanan tadi pagi?” tanya Erland.
“Udah habis,” jawab Alfan singkat.
“Hmm yasudah nanti kita makan bareng di luar,” balas Erland, ia berpamitan dengan Alfan dan langsung melaju kencang di jalan pulang.
Alfan dan Melisa bersiap, keduanya mengenakan pakaian yang terbaik untuk momen bersama kali ini. Mereka menunggu sekitar dua puluh menit untuk Erland datang menjemput, hingga kedua mata Melisa mendapati mobil Erland datang dari ujung jalan.
“Ayah…!” sapa Alfan.
Alfan yang sedari tadi berdiri di depan pintu mulai berjalan menghampiri mobil ayahnya yang terparkir di depan rumah. Ia selalu senang ketika melihat ayahnya pulang dari rumah sakit, ia selalu suka melihat Erland datang dengan tetap mengenakan jas dokternya.
Erland membuka pintu dan memeluk tubuh Alfan yang datang menghampiri, disusul oleh Melisa yang terlihat anggun malam itu di mata Erland.
“Kemana kita akan pergi?” tanya Erland pada Melisa.
“Bagaimana kalau kita makan di restoran temanku? Kudengar dia membuat menu baru yang terdengar menarik.”
Melisa mendekatkan wajahnya pada Erland, Alfan hanya memandangi keduanya dengan sikap polosnya. Melisa tersenyum sambil mengelus pipi Alfan, anak pertamanya dengan Erland yang begitu manis dan pemberani.
“Boleh, ayo kita berangkat sekarang,” balas Erland sembari mengangguk pelan, Melisa dan Alfan langsung masuk dan duduk di kursi yang berbeda.
Segera setelah semua siap, Erland melaju pergi dengan mobilnya menerjang dinginnya malam menuju restoran milik teman Melisa yang berada di tengah Ibukota Jakarta.
“Kamu tahu, aku sudah konsultasi dengan dokter kandunganku, sepertinya kita bisa mengagendakan program kehamilan untuk anak kedua kita,” ucap Melisa.
Erland yang tengah menyetir terkejut pelan dan mulai melirik kearah istrinya. Wanita tersebut begitu menginginkan anak kedua untuk menemani tumbuh kembang Alfan.
“Baguslah kalau seperti itu, tapi apa kamu yakin tidak apa-apa? Aku takut kehilanganmu seperti waktu itu,” balas Erland.
Tangan kiri Erland memegang punggung tangan Melisa dan mencengkeramnya dengan erat. Memori ketika kelahiran Alfan beberapa hari lalu sungguh menakutkan, Erland hampir kehilangan istrinya karena pendarahan hebat yang terjadi.
“Tidak apa-apa, kamu tidak perlu khawatir. Aku sudah mempersiapkannya,” jawab Melisa, Erland senang mendengarnya.
Tibalah mereka di restoran tersebut. Ketiganya menikmati momen kebersamaan ini dengan penuh canda dan tawa, hingga tak terasa mereka sampai di penghujung malam dan terlihat Alfan tidur di sepanjang perjalanan pulang.
“Aku sangat mencintaimu, aku tidak sanggup memikirkan jika aku sampai kehilanganmu,” balas Erland, Melisa tersenyum haru sembari menitikan air matanya mendengar semua pernyataan dari pria tersebut.
“Bodoh, aku tidak akan meninggalkanmu sendirian. Setidaknya kita akan menua bersama sampai akhir hayat,” ungkap Melisa sembari menyeka air matanya dan menyandarkan kepalanya di pundak Erland.
Sepanjang perjalanan pulang, mereka terus menceritakan momen kebersamaan mereka tanpa menghiraukan Alfan yang bisa saja bangun karena suara mereka.
***
“Taruh gelas itu di atas meja,” titah Erland dari balik tenda kain yang telah ia dirikan, Melisa langsung menyimpan gelas yang ia genggam sesuai arahan suaminya.
Ketiganya sepakat untuk mengadakan kemah di bukit hijau di Bogor. Erland mendapat hari libur untuk hari ini dan esok saja, jadi ia berencana memanfaatkan waktu yang ia miliki untuk bersenang-senang dengan keluarga kecilnya
Erland keluar dari dalam tenda dan berjalan menghampiri Melisa, terlihat wanita itu cukup sibuk mempersiapkan daging yang terpanggang di atas panggangan besi.
“Kapan lagi kita makan daging barbeque seperti ini, kan?” Erland memeluk tubuh Melisa dan sesekali mengecup pelan leher istrinya yang mulus tersebut.
“Kita udah sering, terutama waktu pacaran dulu. Alfan yang baru pertama kali,” balas Melisa.
Tangan wanita itu sesekali mencubit pinggang suaminya dengan wajah menggoda, selepas itu mereka kembali tertawa sambil Erland memakan daging yang baru saja matang.
“Ayah makan apa?” tanya Alfan, penasaran.
“Oh ini? Daging sapi, kamu mau?” tanya balik Erland, ia menusuk daging yang baru saja dibolak-balik oleh Melisa dan memberikan ke Alfan setelah Erland meniupnya perlahan.
“Gimana? Enak?” tanya Erland.
Alfan tampak mengernyitkan dahi sembari memejamkan mata, pandangan kedua pasutri itu mulai memerhatikan raut wajah Alfan dengan perasaan khawatir.
“Pedas…,” ucap Alfan, lirih.
Erland justru tertawa melihat tingkah Alfan yang kepedasan, seolah-olah pria itu merasa tidak bersalah atas apa yang terjadi pada anaknya.
Berbeda dengan Erland, Melisa langsung sigap menyediakan susu putih untuk diminum oleh Alfan.
Tak lama, anak laki-laki itu mulai tersenyum dan secara mengejutkan mulai memberanikan diri untuk memakan daging pedas itu sekali lagi.
“Jangan banyak-banyak, nanti perutmu sakit,” saran Erland, Alfan mengangguk patuh.
Melisa mengangkat wajahnya dan menatap Erland, “Aku ingin makan mie seduh, apa kamu tidak keberatan membelinya di toko kecil di bawah situ?”
Erland langsung mengangguk dan segera berjalan mengunjungi toko kecil tersebut.
Tempat toko itu berada di atas tebing yang cukup curam, Erland tidak menduga toko itu akan berdiri di atas tempat menyeramkan seperti itu.
Dua buah mie seduh berada di tangan Erland, ia berjalan ke jalan setapak yang sebelumnya. Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi pada tanah yang ia pijak, jalanan yang ia lalui begitu licin karena berpasir sehingga Erland tak mampu mengontrol keseimbangannya.
“AWAS, PAK!” teriak salah satu pria yang melihat kejadian Erland yang terjatuh.
“Akh!”
Erland kini berada di ujung tanduk, tangannya masih memegang sebuah akar pohon yang menjalar dari dalam tanah.
“Ambil tali!”
“Tenang, Pak. Jangan panik.”
Para pengunjung toko mulai berhamburan membantu Erland. Namun, tangan Erland tak mampu menahan bobot tubuhnya dengan hanya bertopang pada akar pohon tersebut.
Lama kelamaan, tangannya mulai melemah dan ia terjatuh ke jurang yang cukup dalam.
Teriakan orang-orang mengagetkan Melisa, hatinya begitu was-was karena teriakan itu berasal dari arah toko. Segera Melisa berlari meninggalkan Alfan sendirian di dalam tenda.
Melisa melihat kerumunan orang tersebut dan mencoba merangsek masuk ke dalamnya, ia tidak mendapati suaminya berada di kerumunan tersebut.
“S-Siapa yang jatuh?” tanya Melisa, cemas.
“Seorang pria, sepertinya sepatu yang ia kenakan licin sehingga jatuh terguling ketika menanjak tadi,” jelas pria penjual di toko tersebut, Melisa membelalakkan matanya sambil memeriksa ke jurang tersebut.
“Apa dia … sedang memegang dua buah mie seduh?” tanya Melisa, ucapannya terbata-bata, takut sewaktu-waktu orang yang jatuh ternyata adalah suaminya sendiri.
“Iya, tadi dia beli dua buah mie di warungku.”
Wajah Melisa berubah pucat pasi, matanya melotot tajam dan seketika air mata mulai membasahi kedua matanya.
Ia terjatuh di atas tanah dengan lemas, syok, dan tidak percaya atas apa yang terjadi pada suaminya.
“ERLAND!”
Sedangkan Erland tak sadarkan diri di atas semak belukar yang lebat. Tubuhnya penuh dengan luka akibat sayatan dan tusukan dari dahan pohon.
“Aku ingin kamu membantuku.”
Sebuah suara yang tak Erland ketahui membisikan sesuatu di telingannya, sesuatu seperti seorang yang membutuhkannya. Ia sadar, dirinya sudah diambang batas kehidupan.
***Pakuan (kini menjadi Bogor) tahun 1220Erland terbangun dari tidurnya yang panjang, ia merasa berada di tempat yang berbeda dari sebelumnya.Terbesit ingatan singkat dari kejadian sebelumnya di mana ia terjatuh dari atas tebing, hal itu sontak mengejutkan Erland yang langsung panik dan cemas.Beberapa pelayan datang, mereka masuk dengan berpenampilan baju kebaya berwarna biru muda, ditambah kain samping yang membelit bagian pinggang ke bawah. Mereka adalah pelayan kerajaan yang mengurusi kebutuhan Selir Citraloka.Mereka menundukan kepalanya, rambut mereka terikat rapi dengan gaya sanggul. Erland sontak terperanjat kaget sembari bangkit dari atas kasurnya.“Siapa kalian? Kenapa kalian kemari?” tanya Erland.Salah satu pelayan memajukan tubuhnya dan berlutut dengan sopan, “Kami sangat bahagia Tuan bisa tersadar.”“Memangnya aku kenapa? Tunggu! Kenapa kalian memanggilku Tuan?” tanya Erland.
*** Cantaka tersadar dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh orang yang terbaring. Ruangan kesehatan yang mirip seperti bangsal rumah sakit membuat Cantaka serasa nostalgia, meski perbedaan zaman jauh terlihat di matanya. Kepalanya diperban dengan benar, bibir dan matanya cukup nyeri ketika digerakan. Luka yang didapatkan akibat dari pertarungan tangan kosong tersebut sungguh menyiksa Cantaka. Seorang tabib kerajaan masuk, wajahnya terlihat cemas dan panik, keringat mengucur deras dari ujung kepalanya. “Apa yang terjadi?” tanya salah satu rekan tabib. “Paduka Raja, tubuhnya semakin lemas, begitu juga dengan denyut nadinya yang mulai melemah,” jawab tabib tersebut. Tak sengaja Cantaka yang mendengar perbincangan keduanya langsung mengarahkan atensinya kepada mereka. Ia juga bertanya sakit apa yang dialami oleh Raja, tetapi keduanya justru menutupi apa yang mereka ketahui. “Aku mungkin bisa membantumu, d
*** “Apa? Raja semakin melemah?” Cantaka yang berada di dalam kamarnya tak sengaja mendengar desas desus tentang kesehatan Raja, ia hanya tahu kalau Raja Sunda-Galuh sedang menderita sakit yang parah. Pintu kamar Cantaka terbuka, orang-orang yang berada di depan kamar Cantaka seketika terperanjat sembari melompat, mereka berdua tak lain adalah pengawal kerajaan yang kebetulan melintas. “Apa sebenarnya yang diderita oleh Yang Mulia Raja?” tanya Cantaka. Mulut keduanya terpaku, isu yang mereka bicarakan terbilang sangat rahasia dan tak sembarangan orang berhak bicara seenaknya. Namun, berbeda bagi Cantaka, pasalnya Raja sendiri adalah ayahnya. “Kami tidak tahu pasti, Tuan. Namun, kami mendengar kalau kesehatannya semakin menurun,” jawab salah satu pengawal kerajaan. Jiwa kedokteran Erland yang berada di diri Cantaka begitu bergejolak, sebagai dokter ia tidak bisa membiarkan seseorang tewas karena sikap abainya. Bersama ke
“C-Cacing?! Apa kamu bercanda?! Raja tidak mungkin mengkonsumsi hewan seperti itu!” bentak Purana. Pria itu kembali berjalan mendekati Cantaka dan dengan cepat mencekik leher pemuda asing tersebut. Semua orang yang berada di ruangan tersebut tersentak dan beberapa ada yang mencegah Purana. “Kenapa kamu menyuruhnya makan cacing?” tanya Ragasuci. Pemuda itu memegang tangan Purana dan menyuruh kakaknya untuk menenangkan diri. Purana melepaskan cengkeraman pada leher Cantaka begitu Ragasuci menyuruhnya. “Uhuk!” “Bicaralah! Jika perkataanmu meyakinkan, maka aku tidak akan keberatan memakan apa yang kamu suruh,” tegas Raja. Cantaka merasakan kalau tatapan seluruh penghuni ruangan terpusat padanya, beberapa ada yang begitu penasaran, ada juga yang masih berang seperti Purana. Namun, perintah dari rajanya membangkitkan semangat Cantaka untuk menjelaskan khasiat dari cacing tanah tersebut. “Maaf, Yang Mulia. Hanya satu jenis cacing yang
*** “Jangan beritahu siapa pun tentang keadaanku,” pinta Raja kepada Cantaka, keduanya berada di ruangan kamar Raja, Cantaka ditugaskan untuk memeriksa kesehatan Raja untuk terakhir kalinya. “Memangnya kenapa, Yang Mulia?” tanya Cantaka. Raja menghela napas sambil kedua tangannya memegang lututnya, ia bersila di atas kasur dengan hanya mengenakan pakaian panjang serba putih, bisa dibilang pakaian tidur bangsawan zaman ini. “Ketika seekor singa yang malang jatuh sakit seorang diri, maka anak singa yang cakap pasti sudah bersiap menggantikan posisinya,” jawab Raja, tangannya menunjuk-nunjuk kearah Cantaka yang berada di hadapannya dengan penuh keseriusan. “Apa Yang Mulia berencana untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang menginginkan takhta Raja?” tanya Cantaka, Raja itu mengangguk, ia menengguk teh ramuan yang telah dibuatkan oleh tabib kerajaan. “Aku sama sekali belum menentukan siapa yang berhak menyandang Pangeran Mahkota, jika kead
*** “Apa maksudmu?” tanya Cantaka. Citraloka memberikan secarik kain yang bernodakan darah merah yang sudah mengering, kain itu terlihat bersih dan terjaga dengan baik. Tidak mungkin jika Saraswati mencoba melakukan pembunuhan terhadap Cantaka, semuanya tidak berdasar jika tidak ada bukti yang membenarkan. “Aku yang menjagamu dengan baik selama kamu terkena racun, bukan penyakit yang kamu alami, bukan juga kutukan. Melainkan racun yang ditemukan di sebuah mangkuk kayu yang sebelumnya kamu pakai minum,” jawab Citraloka. “Tapi bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau Saraswati adalah pelakunya?” tanya Cantaka. Ia tidak ingin membuat keputusan dengan mendadak, ia ingin segalanya berdasarkan rencana yang matang. Jika pun benar Saraswati mencoba meracuni Cantaka, pasti ada alasan mendesak kenapa wanita itu sampai mau melakukannya. “Dulu, Saraswati adalah kepala dari juru masak kerajaan. Semuanya mulai menuduh Saraswati, tetapi entah k
*** Setengah perjalanan dari Pakuan menuju Cirebon, Ayodya sudah menyadari kalau mereka diikuti oleh seseorang. Hal ini diketahui tepat ketika Ayodya melihat orang yang sama ketika menginap di salah satu rumah yang ia sewa. “Sudah dua kali aku mendapati mereka berada di desa yang sama dengan kita,” jawab Ayodya. Keduanya tengah duduk bersama di ruang tengah rumah tersebut sembari menikmati teh hijau yang disediakan oleh Ayodya. Ia mengenal betul Cantaka seperti apa karena Ayodya sudah lama mengabdi kepada Citraloka. “Apa kamu tahu siapa mereka?” tanya Cantaka, Ayodya menggelengkan kepala. “Ini mencurigakan, jika dia adalah utusan dari pelaku yang meracuniku, kemungkinan mereka datang untuk membunuh kita berdua,” jawab Cantaka. Hal seperti itu masuk akal jika dipikirkan baik-baik. Namun, kepala Ayodya jauh lebih luas dari Cantaka, pengetahuannya tentang strategi dan siasat juga jauh melampaui pemuda tersebut. “Tidak, bukan itu t
“Apa kamu mengira aku akan mengkudeta posisi Raja?” tanya Purana.Pangeran pertama itu berjalan menuruni undakan tangga dengan posisi tubuh yang tegap dan pandangan mata yang lurus ke depan. Serdadu yang kedua pangeran bawa sama besar dan kekuatannya jika hal buruk pertumpahan darah harus terjadi.“Semua orang akan berkata demikian, hanya perbedaan sudut pandang ketika melihat kejadian ini,” balas Ragasuci.Purana tertawa, ia benar-benar mengagumi kecerdasan dan kemampuan Ragasuci yang sangat bijak dan cerdik. Dengan hati yang kesal, ia berjalan melewati Ragasuci dan meninggalkan istana dalam dengan raut wajah kecewa.Pintu terbuka, terlihat beberapa pelayan dan penjaga istana yang terkejut tatkala melihat Purana keluar dari dalam istana dengan mengenakan seragam militer lengkap. Purana melihat keberadaan Saraswati yang berdiri di belakang saudara-saudaranya, Jayadharma dan Jayagiri.Jenderal pasukan Sunda datang, ia adalah