Share

Perburuan masa lalu

***

“Jangan beritahu siapa pun tentang keadaanku,” pinta Raja kepada Cantaka, keduanya berada di ruangan kamar Raja, Cantaka ditugaskan untuk memeriksa kesehatan Raja untuk terakhir kalinya.

“Memangnya kenapa, Yang Mulia?” tanya Cantaka.

Raja menghela napas sambil kedua tangannya memegang lututnya, ia bersila di atas kasur dengan hanya mengenakan pakaian panjang serba putih, bisa dibilang pakaian tidur bangsawan zaman ini.

“Ketika seekor singa yang malang jatuh sakit seorang diri, maka anak singa yang cakap pasti sudah bersiap menggantikan posisinya,” jawab Raja, tangannya menunjuk-nunjuk kearah Cantaka yang berada di hadapannya dengan penuh keseriusan.

“Apa Yang Mulia berencana untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang menginginkan takhta Raja?” tanya Cantaka, Raja itu mengangguk, ia menengguk teh ramuan yang telah dibuatkan oleh tabib kerajaan.

“Aku sama sekali belum menentukan siapa yang berhak menyandang Pangeran Mahkota, jika keadaanku terus saja memburuk, satu di antara keempat pangeran itu akan terus mendesakku,” balas Raja.

Tersirat rasa khawatir dan cemas dari wajah Raja di depan Cantaka. Perebutan kekuasaan di lingkungan istana kerajaan selalu berakhir dengan tragedi berdarah, mengingat keempat pangeran memiliki kekuatan yang berimbang.

Jika melihat dari urutan lahir para pangeran, Purana yang lebih berpotensi untuk naik takhta meneruskan perjuangan Raja Dharmasiksa. Namun, sikap dan kepribadian Purana yang buruk menjadi alasan Raja belum mengumumkan pangeran mahkota.

“Jadi Yang Mulia sengaja tidak memberitahukan kabar ini agar bisa memancingnya untuk keluar?” tanya Cantaka.

“Benar.”

Tampak Raja sudah selesai menghabiskan ramuan herbal yang diberikan oleh tabib kerajaan. Ketika hendak pergi meninggalkan ruang kamar tersebut, langkah Cantaka terhenti ketika Raja memanggil namanya lagi.

“Jangan lupa pikirkan apa permintaanmu, aku akan menunggu.”

Cantaka mengangguk tanpa berkata sepatah kata pun, ia kemudian pamit dan berjalan menyimpan nampan tersebut di pelayan wanita yang sedari tadi berdiri di depan kamar Raja.

Ketika langkah Cantaka yang besar terayun pergi dari koridor kamar Raja, kedua matanya terpesona melihat kecantikan Saraswati yang baru saja keluar dari kamar Ratu Suprabha.

Sungguh wanita yang anggun dan santun, pantas saja Purana begitu menyukai dan ingin memiliki Saraswati seutuhnya.

Ia menundukan kepalanya, memberi hormat kepada Cantaka yang mana justru tidak sebanding dengan kedudukan yang dimiliki Saraswati.

“Bagaimana keadaan Raja?” tanya Saraswati.

Cantaka kembali teringat dengan nasihat yang diberikan Raja, ia perlu menyembunyikan keadaan kalau Raja sudah membaik.

“Suhu tubuhnya masih tinggi dan gerakannya masih lemah, mungkin butuh beberapa minggu lagi untuk sembuh total,” jawab Cantaka.

“Begitu, yah? Paman pasti tersiksa dengan penyakit yang ia rasakan saat ini,” balas Saraswati.

Terukir kesedihan dari wajah wanita tersebut, perasaannya begitu lembut dan hatinya cukup peka melihat situasi di sekitarnya.

“Aku akan pergi ke kuil untuk berdoa demi kesembuhan Paman, apa kamu mau ikut bersamaku?” ajak Saraswati.

Sebuah senyuman mengambang dan terlukis jelas dari raut wajah Saraswati, sudah cukup lama ia tidak pergi bersama dengan teman masa kecilnya tersebut.

Kuil berada di dalam kompleks istana, seluruh penghuni istana dalam, seperti Raja hingga anggota keluarga Ratu yang lain dilarang pergi keluar istana. Mereka akan dihukum keras hingga diasingkan jika ketahuan pergi keluar istana.

Berbeda dengan Ratu, untuk anak selir dibebaskan untuk keluar istana, bahkan mereka diperbolehkan melakukan perjalanan jauh ke kerajaan lain untuk berdagang. Komoditas pangan Kerajaan Sunda-Galuh begitu unggul dari kerajaan lainnya di Pulau Jawa.

Ketika keduanya tengah berjalan bersama, Pangeran Purana datang dari sebuah tempat di sebelah kanan Cantaka. Pria itu tersenyum sinis melihat kedekatan Saraswati dan Cantaka yang kembali terjalin.

“Tidak ada yang bisa mengalahkan perasaan dari teman semasa kecil, bukan benar begitu, Nona Saraswati?” tanya Purana.

“Teman masa kecil? Tunggu, kamu dan aku adalah teman sejak dulu?” tanya Cantaka, matanya membelalak kaget mendengar perkataan dari Purana.

“Lihat! Dia sendiri lupa kalau kamu adalah temannya, bagaimana dengan perasaannya? Kupikir hal itu sudah jelas kalau—”

“Selamat Sore, Pangeran Purana,” jawab Saraswati menyela perkataan dari Purana, ia berjalan dengan cepat meninggalkan Cantaka dan Purana berdua di tengah jalan.

Saraswati mencoba sedini mungkin menghindari kontak dengan Purana, kenangan buruk ketika Purana hampir memperkosanya membuat seluruh tubuh Saraswati bergetar ketakutan tatkala mendengar atau melihat Purana secara langsung.

Pikirnya, Cantaka akan melindungi Saraswati mengingat dulu Cantaka jago bela diri. Namun, pria itu bukanlah pria yang dahulu, ia jauh berbeda dari Cantaka yang Saraswati kenal.

Ada apa dengannya?, batin Cantaka tatkala melihat Saraswati berjalan bergegas meninggalkan Purana.

“Ia benar-benar kecewa,” ucap Purana.

“Kenapa?” tanya Cantaka, penasaran.

Purana melirik pelan kearah pria di sampingnya, sebuah senyum menyeringai terulas jelas di wajahnya yang tegas.

“Masa lalunya telah hilang,” balas Purana.

Ia berjalan menghampiri Cantaka sambil membisikan sesuatu di telinga kiri pria tersebut, “Aku kenal baik dengan Saraswati, sekali kecewa, dia akan selamanya kecewa.”

Cantaka yang terkejut langsung berlari meninggalkan Purana seorang diri, ia melangkah dengan cepat menghampiri Saraswati yang sudah berada di dalam kuil untuk berdoa.

Terlihat Saraswati tengah terduduk di atas lantai yang beralaskan karpet merah berbulu, kedua telapak tangannya menyatu sambil matanya terpejam. Terdengar ia merapalkan mantra khusus yang digunakan untuk berdoa kepada Tuhan.

“Apa dia sudah pergi?” tanya Saraswati kepada Cantaka tanpa meliriknya.

“Iya, aku meninggalkannya.”

Saraswati berdiri dari posisi duduk tersebut dan berbalik memandang Cantaka yang ada di depannya. Secara mengejutkan Saraswati langsung memeluk tubuh Cantaka dan mendekap erat punggung pria tersebut.

“Entah aku harus senang atau sedih melihatmu tersadar saat ini,” balas Saraswati.

“Apa kamu kecewa padaku?” tanya Cantaka, Saraswati melepaskan pelukannya dan menatap kedua mata Cantaka, sendu.

“Tak pernah ada rasa kekecewaan yang tumbuh padamu di hatiku, aku yakin kamu pasti memiliki alasan di balik sikapmu yang berubah seperti ini,” jawab Saraswati.

Tangan-tangannya yang lentik mengusap pelan pipi Cantaka dengan lembut, suaranya terdengar lirih dan napasnya berhembus wangi. Tubuhnya jauh lebih ramping dari yang Cantaka duga, mungkin karena wanita di zaman ini banyak mengkonsumsi sayuran hijau yang masih segar.

“Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu,” balas Saraswati, matanya sayu menatap Cantaka mengharapkan kepedulian dari pria tersebut.

“Silakan, apa yang ingin kamu katakan?” tanya Cantaka.

“Apa kamu benar-benar lupa ingatan? Apa kamu tidak tahu apa saja yang terjadi selama ini?” tanya Saraswati.

Cantaka menghembuskan napas pelan sambil berkacak pinggang di hadapan Saraswati, sungguh ia tidak mengingat apa pun berkaitan dengan sang pemilik tubuh asli. Ia hanya bisa mengandalkan informasi yang diberikan pelayan atau ibunya, Citraloka, untuk kembali mengingat masa lalunya.

“Aku tidak mengingatnya sama sekali,” balas Cantaka.

Terlihat Saraswati sedikit membelalakkan matanya selepas mendengar perkataan dari Cantaka, kemudian ia tersenyum simpul sambil memegang pundak kanan pria tersebut.

“Jangan terlalu dipikirkan, ingatan itu pasti akan kembali lagi padamu, hanya masalah waktu saja,” jelas Saraswati, selepas berdoa wanita itu berjalan pergi meninggalkan kuil tersebut, ia berjalan seorang diri di tengah senja yang hampir gelap.

Tiba-tiba di tengah kesunyian kuil tersebut, muncul dari koridor lain Citraloka yang berjalan menghampiri Cantaka, putranya.

Ia tentu senang melihat anaknya kembali beraktivitas dan bergaul dengan teman-temannya, tetapi ada kekhawatiran yang terasa di hati Citraloka, ini berkaitan dengan tugas sementara Cantaka untuk menyembuhkan penyakit Raja, pasalnya penyakit itu sulit disembuhkan.

“Apa kamu yakin bisa menyembuhkan penyakit Raja?” tanya Citraloka dengan lembut, Cantaka mengangguk.

Pria itu berpaling dan memandang ibunya yang berdiri di samping tubuhnya, “Ibu, beritahu aku semuanya tentang masa laluku, tentang para pangeran, bahkan tentang Nona Saraswati.”

Citraloka tersenyum sambil menjulurkan tangannya, mempersilakan Cantaka berjalan berdampingan di sampingnya.

Cantaka mengangguk saja tanpa tahu kebenaran yang akan diberitahu oleh Citraloka padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status