***
“Apa kamu dengar kalau Pangeran Purana dan Pangeran Ragasuci akan diasingkan hari ini?”
“Mereka pantas mendapatkannya! Itu jauh lebih ringan dari hukuman eksekusi.”
“Sebaiknya kita lihat mereka di istana kerajaan.”
Pemberitaan tentang hukuman pengasingan yang didapatkan Purana dan Ragasuci menyebar layaknya wabah, setiap warga mengetahui informasi tersebut, bahkan untuk mereka yang tinggal di perbatasan sekali pun.
Tak terkecuali kepada Cantaka dan rombongannya. Mereka mengetahuinya tepat ketika tengah berbelanja di pasar rakyat, salah satu pedagang asik menceritakan satu kisah menarik yang entah kenapa Ayodya mengenal dengan betul kisah tersebut.
“Kita tidak bisa menghentikan hukuman Raja, bagaimana pun keputusannya harus dilaksanakan oleh mereka,” ucap Ayodya, ketiganya masih menempuh perjalanan dari satu daerah ke daerah lain dengan menaiki kudanya masing-masing.
“Aku tidak percaya kalau Pangeran Ragasuci akan melakukan
*** “Kemana Cantaka pergi?” tanya Saraswati. Wanita itu datang pagi-pagi untuk bertemu dengan pemuda tersebut. Namun, ketika ia sampai di depan kediaman Selir Citraloka, hanya Ayodya yang berhasil ia temui. “Cantaka pergi bersama Wunguk untuk menemui Raja,” jelas Ayodya. Tak lama, Citraloka yang mendengar perbincangan antara Ayodya dengan Saraswati keluar dari dalam rumah dan pergi menemui Saraswati. Keduanya kembali terlibat dalam adu pandang yang sengit, dibumbui dengan kebencian Citraloka pada gadis di depannya. “Apakah kamu ingin melobi Cantaka untuk tidak mengungkapkan pelaku percobaan pembunuhannya kepada Raja?” tanya Citraloka, perkataannya sungguh mengada-ngada, bukan itu tujuan awal Saraswati ingin berjumpa dengan Cantaka. “Sampai kapan pun aku tidak akan tertuduh atau tertangkap sebagai pelaku, karena aku tidak melakukannya. Namun, jika pun aku tertangkap, maka ada satu orang yang perlu kuawasi,” ujar Saraswati dengan tegas,
Di Aula Istana tersebut, hanya ada Raja dan Cantaka, serta Putri Saraswati yang menguping dan bersembunyi di lorong istana. Saraswati terkejut ketika Cantaka mengutarakan keinginannya, hal ini berbanding terbalik ingatannya tentang pemuda tersebut.Ia dikenal orang yang tahu diri, tidak pernah ikut campur dalam urusan istana dan tak pernah menyusun siasat untuk kekuasaan. Melihat perbedaan yang mencolok membuatnya yakin kalau ada yang tak beres dengan diri Cantaka.“Pangeran?” tanya Raja, kaget.Cantaka mengangguk, ia masih berjongkok di depan Raja seraya tetap menundukan kepalanya. Itulah yang ingin Cantaka raih, dengan menduduki kekuasaan yang tinggi, maka ia bisa membantu rakyatnya yang kesusahan.Ia juga berpikir, mungkin dengan melakukan kebaikan kepada rakyat, ia bisa mengetahui alasannya terlempar ke tubuh pemuda ini. Yang terpenting, ia ingin menepati janjinya kepada warga desa di lembah gunung Cireme.“Apa Anda keberatan
“Itu tidak akan terjadi,” ucap Raja.Cantaka tersentak kaget, kepalanya menengadah memandang Raja yang duduk di atas singgasana. Tubuhnya yang besar dan wajahnya yang berwibawa membuat aura khas miliknya terpancar mengisi benak Cantaka dengan kekaguman.“Tidak akan terjadi?” tanya Cantaka, memastikan.“Aku tidak akan membiarkan dia menjadi pelayanmu, kedudukannya sudah setara dengan bangsawan penguasa tanah karena dia adalah keponakanku. Bagaimana mungkin seorang keponakan Raja beralih tugas menjadi pelayan seorang pangeran yang berasal dari anak selir?” tanya Raja.Ucapan pria itu benar, tidak mungkin bagi Saraswati untuk menjadi pelayan Cantaka. Pemuda itu tak bisa berbuat apa-apa karena ia tidak punya hal yang leluasa untuk mengatur hukuman baginya.“Kalian berdua pergilah,” pinta Raja kepada Cantaka dan Citraloka.Dengan berat hati, pemuda itu segera bangkit dari posisi berlututnya, berjala
***“Upacara penobatan Selir Citraloka menjadi Ratu sudah selesai. Ratu Citraloka berpesan untuk memintamu istirahat total,” ucap salah satu pria pengawal Ratu Citraloka.Cantaka patuh dan tunduk terhadap perintah Citraloka. Itulah yang penting dilakukan baginya agar mereka tidak mencurigai Cantaka, pasalnya mereka mengetahui dengan jelas kalau Cantaka adalah pemuda yang sangat menyayangi ibunya.“Kemana sekarang Ratu akan pergi?” tanya Cantaka, penasaran.“Dia sedang berjalan menuju Istana Purahayu,” ujar pengawal tersebut.Cantaka mengkerutkan alisnya, bukan karena kesal atau marah. Namun, lebih kepada tidak tahu apa itu Istana Purahayu dan di mana. Ia sungguh harus banyak belajar tentang denah kerajaan dan semuanya tentang dunia ini.Tiba-tiba, empat orang pelayan masuk dengan dipimpin oleh seorang kepala pelayan, total mereka berjumlah lima orang.Selain kepala pelayan, keempat wanita itu datang
***“Jangan berprasangka buruk seperti itu dulu. Mungkin saja Saraswati benar-benar ingin bertemu dan mengucapkan selamat atas penobatanmu,” jelas Cantaka.Citraloka terdiam, ia mungkin tahu bagaimana perasaan Cantaka kepada Saraswati sebelumnya sehingga pria itu mengatakan demikian dengan mudahnya. Namun, keteguhan dan sikap keras kepalanya membuat pikirannya tidak mau mendengarkan kembali perkataan Cantaka, anaknya.“Tidak, Cantaka. Kamu tidak mengerti,” jelas Saraswati, ia masih bersikukuh berpegang teguh kepada prinsipnya, membenci Saraswati.“Aku mengerti, Ibu. Kasus terkait percobaan pembunuhan yang terjadi padaku bukan dilakukan olehnya, tapi oleh orang lain,” jawab Cantaka, tegas.“Jangan membahas ini lagi. Obrolan seputar ini anggap saja tidak pernah ada,” balas Saraswati, menutup inti pembicaraan keduanya dan berpaling meninggalkan Cantaka seorang diri.Wanita itu melenggang pergi den
“Pangeran,” panggil Ayodya.Cantaka memutarkan tubuhnya, memandang Ayodya yang berdiri tepat di belakangnya. Ia berdiri berdampingan dengan pemuda petugas dari biro pemerintah.“Ada apa?” tanya Cantaka.“Apa Tuan ingin membahas terkait pungli yang dilakukan pejabat pemerintahan di biro tersebut?” tanya Ayodya.Kedua mata Cantaka membelalak, ia yakin belum memberitahu siapa pun terkait pungli tersebut. Lirikan matanya langsung menyorot tajam pemuda yang berdiri di sisinya dengan pandangan marah.“Apa kamu yang memberitahunya?” tanya Cantaka, tegas.“M-Maafkan aku.”Cantaka menghela napas panjang, kedua matanya masih memandang pemuda tersebut dengan kesal. Tak lama, kekesalannya berhenti ketika Ayodya justru membela pemuda tersebut.“Akulah yang bersalah, karena akulah yang memaksanya berbicara,” jawab Ayodya, kini pandangan Cantaka beralih kepada Ayodya.
“Aku ingin membayar iuran milik wanita itu. Jadi, kamu tidak boleh menyentuhnya lagi,” ujar Cantaka, tegas.Pria itu bangkit dan membersihkan pakaiannya yang kotor karena debu, terlihat pakaian bagian belakangnya tampak sobek karena tarikan dari tangan Cantaka yang cukup kuat padanya.Ia menatap Cantaka dengan tatapan yang memberung. Kedua matanya melirik dari kaki hingga ke kepala pemuda tersebut, terbesit niat licik untuk menipunya di pikiran petugas biro tersebut.“Kamu akan membayarnya? Iuran wanita itu cukup besar, loh,” ujar petugas tersebut, melipat kedua tangannya dan memejamkan mata dengan sikap angkuh.“Tentu, berapa banyak yang harus kubayar?” tanya Cantaka, datar.Ia merogoh saku celananya ketika petugas itu hendak mengatakan nominal bayaran wanita tadi. Petugas itu tersenyum menyeringai, ia berpikir kalau dia akan mendapatkan koin banyak hari itu dan pergi ke rumah bordil untuk melanjutkan kesenangan
Tiba-tiba, pintu ruangan yang berada di ujung lorong mulai terbuka. Saraswati segera bangkit dan pergi meninggalkan tempat tersebut, melangkah dengan tergesa hingga ke luar kediaman Ratu.Wanita itu berhasil selamat dari kejadian buruk tertangkap basahnya dia menguping pembicaraan Citraloka dan Ayodya. Mentari mulai tergelincir dari puncak ubun-ubun menuju arah barat, tanda pulang bagi semua makhluk yang sudah bekerja keras.Han keluar dari dalam kediaman Citraloka. Ia menyapa Putri Saraswati dan tetap menundukan kepalanya dengan ramah.“Apa Putri ingin bertemu dengan Pangeran Cantaka?” tanya Han.Saraswati memutar kepalanya, memandang pria yang tengah hormat patuh padanya. Saraswati tidak perlu menjawab pertanyaan Han, ia sendiri sudah tahu kalau pun mengiyakannya, Han pasti memintanya untuk menunggu beberapa menit.“Tidak perlu. Ada sesuatu yang musti kukerjakan,” jelas Saraswati, pergi meninggalkan Han yang masih berdiri