***
Ayodya datang bersama dengan pria pejabat biro dan seorang pria bernama Wunguk. Pria tersebut bertubuh biasa, tidak berotot tidak pula gendut. Wajahnya terukir banyak kerutan dan rambut belakangnya mulai memutih seiring usianya yang bertambah.
Cantaka terbaring pingsan di sebuah ruang khusus rumah biro tersebut, tempat yang biasa dipakai oleh para pejabat untuk bersenang-senang dengan para wanita panggilan.
Tubuhnya tak lagi mengenakan seragam militer, melainkan kain halus yang terbuat dari sutra berwarna biru langit, cocok dengan kepribadiannya yang dingin dan misterius.
Pintu terbuka dan terlihat oleh Ayodya, Cantaka masih belum tersadar dan ia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga pria itu dari masalah apa pun, itu membuat hatinya gusar dan khawatir.
“Apa dia benar-benar mendapatkan kutukan?” tanya pria dari biro, matanya masih terpaku melihat Cantaka yang terbaring dengan wajah yang bersinar karena pantulan cahaya matahari
***“Kita akan istirahat di desa ini,” balas Cantaka.Malam itu, udara cukup dingin dan angin terasa berhembus dengan kencang dari arah perbukitan gunung Cireme. Untungnya ia menemukan desa kecil di kaki gunung, berjumlahkan kepala keluarga yang kurang dari 50 orang dan mayoritas bekerja sebagai petani.“Apa kamu tidak keberatan, Wunguk?” tanya Ayodya.Ia berbalik dan menatap Wunguk yang berada di kuda yang berbeda, ia mengangguk pelan tanda setuju.Cantaka meminta Wunguk untuk kembali karena hanya dia seorang yang mungkin mampu mengembalikan ingatan tentang kehidupan Cantaka yang lalu. Tak hanya itu, ia juga bisa dijadikan saksi kunci terkait percobaan pembunuhan dengan racun terhadap Cantaka.Ayodya berjalan mendekati Cantaka, ia bertanya tentang keadaan desa yang keduanya datangi. Namun, keanehan yang ia rasakan perlahan memudar ketika melihat seorang pria berjalan sembari menenteng cangkul di bahunya.Pendu
*** Ketiganya berpamitan kepada pemilik rumah, Cantaka sadar apa yang ia lakukan sebenarnya salah. Namun, perkataan Ayodya dan Wunguk ada benarnya juga. Cantaka membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menumpaskan kejahatan yang ada di desa tersebut. Mereka mengambil jalan memutar dengan menuruni perbukitan, beberapa desa terlewati karena ketiganya bertekad untuk mengambil langkah cepat menuju istana. Hingga Wunguk meminta beristirahat ketika sampai di salah satu lapang sabana yang luas. Ia benar, sudah dua belas jam ketiganya berada di perjalanan, beristirahat beberapa jam saja tak membuat Cantaka keberatan. Dengan bermodalkan api unggun dari kayu-kayu yang mereka dapatkan, ketiganya mengelilingi api unggun itu dengan jarak yang cukup renggang satu sama lain. Cantaka bisa merasakan tubuhnya mulai menghangat di malam hari yang dingin, hanya ditemani suara jangkrik yang memecah kesunyian di hamparan karpet rumput yang sangat luas. “Hanya membutuh
Pintu istana tiba-tiba terbuka, seluruh Menteri datang dengan senyum sumringah, beberapa ada yang berubah kecut ketika melihat kondisi Raja yang benar-benar bugar layaknya seekor kuda di pagi hari. “Apa Yang Mulia sudah mendingan?” tanya salah satu sekretaris kerajaan, Bayuputra. Raja mengangguk, ia duduk di atas singgasananya sembari menyarungkan kembali pedang yang sebelumnya ia acungkan ke hadapan Ragasuci. Para menteri tidak boleh melihatnya agresif seperti ini, bisa bahaya dan mengancam kelangsungan pewaris tahta kerajaan selanjutnya. Mereka berbaris menghadap Raja, diawali dengan kepala kementrian hingga diikuti perbarisan oleh anggota per kementriannya. Ragasuci masih berlutut di atas lantai, tak mengindahkan beberapa menteri yang menatapnya bingung. Isu terkait Purana da Ragasuci yang berkomplot untuk mengkudeta Raja semakin nyaring terdengar, tak hanya di kalangan istana, tetapi mulai beranjak ke rakyat ibukota. Seorang Menteri Pertah
*** “Apa kamu dengar kalau Pangeran Purana dan Pangeran Ragasuci akan diasingkan hari ini?” “Mereka pantas mendapatkannya! Itu jauh lebih ringan dari hukuman eksekusi.” “Sebaiknya kita lihat mereka di istana kerajaan.” Pemberitaan tentang hukuman pengasingan yang didapatkan Purana dan Ragasuci menyebar layaknya wabah, setiap warga mengetahui informasi tersebut, bahkan untuk mereka yang tinggal di perbatasan sekali pun. Tak terkecuali kepada Cantaka dan rombongannya. Mereka mengetahuinya tepat ketika tengah berbelanja di pasar rakyat, salah satu pedagang asik menceritakan satu kisah menarik yang entah kenapa Ayodya mengenal dengan betul kisah tersebut. “Kita tidak bisa menghentikan hukuman Raja, bagaimana pun keputusannya harus dilaksanakan oleh mereka,” ucap Ayodya, ketiganya masih menempuh perjalanan dari satu daerah ke daerah lain dengan menaiki kudanya masing-masing. “Aku tidak percaya kalau Pangeran Ragasuci akan melakukan
*** “Kemana Cantaka pergi?” tanya Saraswati. Wanita itu datang pagi-pagi untuk bertemu dengan pemuda tersebut. Namun, ketika ia sampai di depan kediaman Selir Citraloka, hanya Ayodya yang berhasil ia temui. “Cantaka pergi bersama Wunguk untuk menemui Raja,” jelas Ayodya. Tak lama, Citraloka yang mendengar perbincangan antara Ayodya dengan Saraswati keluar dari dalam rumah dan pergi menemui Saraswati. Keduanya kembali terlibat dalam adu pandang yang sengit, dibumbui dengan kebencian Citraloka pada gadis di depannya. “Apakah kamu ingin melobi Cantaka untuk tidak mengungkapkan pelaku percobaan pembunuhannya kepada Raja?” tanya Citraloka, perkataannya sungguh mengada-ngada, bukan itu tujuan awal Saraswati ingin berjumpa dengan Cantaka. “Sampai kapan pun aku tidak akan tertuduh atau tertangkap sebagai pelaku, karena aku tidak melakukannya. Namun, jika pun aku tertangkap, maka ada satu orang yang perlu kuawasi,” ujar Saraswati dengan tegas,
Di Aula Istana tersebut, hanya ada Raja dan Cantaka, serta Putri Saraswati yang menguping dan bersembunyi di lorong istana. Saraswati terkejut ketika Cantaka mengutarakan keinginannya, hal ini berbanding terbalik ingatannya tentang pemuda tersebut.Ia dikenal orang yang tahu diri, tidak pernah ikut campur dalam urusan istana dan tak pernah menyusun siasat untuk kekuasaan. Melihat perbedaan yang mencolok membuatnya yakin kalau ada yang tak beres dengan diri Cantaka.“Pangeran?” tanya Raja, kaget.Cantaka mengangguk, ia masih berjongkok di depan Raja seraya tetap menundukan kepalanya. Itulah yang ingin Cantaka raih, dengan menduduki kekuasaan yang tinggi, maka ia bisa membantu rakyatnya yang kesusahan.Ia juga berpikir, mungkin dengan melakukan kebaikan kepada rakyat, ia bisa mengetahui alasannya terlempar ke tubuh pemuda ini. Yang terpenting, ia ingin menepati janjinya kepada warga desa di lembah gunung Cireme.“Apa Anda keberatan
“Itu tidak akan terjadi,” ucap Raja.Cantaka tersentak kaget, kepalanya menengadah memandang Raja yang duduk di atas singgasana. Tubuhnya yang besar dan wajahnya yang berwibawa membuat aura khas miliknya terpancar mengisi benak Cantaka dengan kekaguman.“Tidak akan terjadi?” tanya Cantaka, memastikan.“Aku tidak akan membiarkan dia menjadi pelayanmu, kedudukannya sudah setara dengan bangsawan penguasa tanah karena dia adalah keponakanku. Bagaimana mungkin seorang keponakan Raja beralih tugas menjadi pelayan seorang pangeran yang berasal dari anak selir?” tanya Raja.Ucapan pria itu benar, tidak mungkin bagi Saraswati untuk menjadi pelayan Cantaka. Pemuda itu tak bisa berbuat apa-apa karena ia tidak punya hal yang leluasa untuk mengatur hukuman baginya.“Kalian berdua pergilah,” pinta Raja kepada Cantaka dan Citraloka.Dengan berat hati, pemuda itu segera bangkit dari posisi berlututnya, berjala
***“Upacara penobatan Selir Citraloka menjadi Ratu sudah selesai. Ratu Citraloka berpesan untuk memintamu istirahat total,” ucap salah satu pria pengawal Ratu Citraloka.Cantaka patuh dan tunduk terhadap perintah Citraloka. Itulah yang penting dilakukan baginya agar mereka tidak mencurigai Cantaka, pasalnya mereka mengetahui dengan jelas kalau Cantaka adalah pemuda yang sangat menyayangi ibunya.“Kemana sekarang Ratu akan pergi?” tanya Cantaka, penasaran.“Dia sedang berjalan menuju Istana Purahayu,” ujar pengawal tersebut.Cantaka mengkerutkan alisnya, bukan karena kesal atau marah. Namun, lebih kepada tidak tahu apa itu Istana Purahayu dan di mana. Ia sungguh harus banyak belajar tentang denah kerajaan dan semuanya tentang dunia ini.Tiba-tiba, empat orang pelayan masuk dengan dipimpin oleh seorang kepala pelayan, total mereka berjumlah lima orang.Selain kepala pelayan, keempat wanita itu datang