Share

Lika liku istana

***

Cantaka tersadar dan mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang dipenuhi oleh orang yang terbaring. Ruangan kesehatan yang mirip seperti bangsal rumah sakit membuat Cantaka serasa nostalgia, meski perbedaan zaman jauh terlihat di matanya.

Kepalanya diperban dengan benar, bibir dan matanya cukup nyeri ketika digerakan. Luka yang didapatkan akibat dari pertarungan tangan kosong tersebut sungguh menyiksa Cantaka.

Seorang tabib kerajaan masuk, wajahnya terlihat cemas dan panik, keringat mengucur deras dari ujung kepalanya.

“Apa yang terjadi?” tanya salah satu rekan tabib.

“Paduka Raja, tubuhnya semakin lemas, begitu juga dengan denyut nadinya yang mulai melemah,” jawab tabib tersebut.

Tak sengaja Cantaka yang mendengar perbincangan keduanya langsung mengarahkan atensinya kepada mereka. Ia juga bertanya sakit apa yang dialami oleh Raja, tetapi keduanya justru menutupi apa yang mereka ketahui.

“Aku mungkin bisa membantumu, dulu aku….”

Ucapan Cantaka terhenti, ia sadar tidak mungkin menceritakan kehidupannya di masa lalu. Kedua tabib itu justru semakin mencurigai Cantaka karena perkataannya yang belum tuntas.

“Dulu kamu apa? Jangan berhenti berbicara atau kamu akan dituduh menyebarkan desas desus tidak benar,” ancam tabib tersebut.

Cantaka menggelengkan kepala, bukan sesuatu yang perlu dibahas olehnya. Tak lama, kedua tabib itu mulai beranjak pergi menuju ruang obat dan mulai meracik ramuan untuk kesehatan Raja.

Pintu terbuka, terlihat seorang pria masuk sambil tetap memperhatikan Cantaka. Pakaiannya jauh lebih mewah dari Cantaka, hal itu menandakan kalau status sosialnya lebih tinggi darinya.

“Apa keadaanmu sudah membaik?” tanya pria bernama Jayagiri tersebut.

Cantaka mengangguk pelan, ia sama sekali tidak mengenal siapa nama pria di depannya. Jayagiri adalah teman semasa kecil Cantaka, pria itu terkenal sebagai pria tertampan di Kerajaan Sunda-Galuh.

“Iya, terima kasih. Namun, siapa namamu?” tanya Cantaka.

Semua orang yang tersadar di ruangan tersebut tersentak kaget tak percaya, pasalnya semua orang di Sunda-Galuh pasti mengenal Jayagiri.

Tentu hal itu cukup menganehkan, mengingat Jayagiri dan Cantaka dulu adalah sepasang sahabat yang tidak terpisahkan.

“Tabib,” panggil Jayagiri, tabib muda datang sesuai perintah dari pangeran tersebut.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Jayagiri tanpa memalingkan wajahnya dari Cantaka.

“Maaf, Tuan Pangeran. Sepertinya setelah tersadar dari koma, ingatannya belum sepenuhnya kembali,” jelas tabib tersebut.

Ia berdiri di samping Jayagiri dengan tetap menundukan kepalanya, seseorang yang memiliki status sosial rendah tidak boleh memandang langsung ke mata orang yang berstatus tinggi atau bangsawan.

“Begitu, yah?”

“Beri dia perlakuan khusus untuk kesehatannya, jangan biarkan aku mendengar ia terluka atau sakit lagi,” sambung Jayagiri.

Tabib di sampingnya mengangguk paham, ia melirik kepada Cantaka dengan melotot. Isyarat yang ingin ia tunjukan agar Cantaka merendahkan pandangannya pada Jayagiri.

Tapi apalah daya, ia tidak ingat siapa itu Cantaka dan kehidupannya, jikalau pun begitu ia juga tidak akan mengetahui tata krama yang berlaku di istana kerajaan.

Jayagiri berpamitan dan pergi dari ruang tersebut, tabib muda tersebut langsung menghampiri Cantaka dan menjewer telinga pria tersebut dengan keras.

“Dasar tidak sopan, kamu harusnya menundukan matamu ketika berbicara dengannya.”

“Akh! Baik, baik, lain kali aku akan menundukan mataku,” ucap Cantaka.

Tabib muda itu terlihat gemas seperti hendak membuat wajah Cantaka lebih merana lagi dari sebelumnya. Namun, ia teringat pesan Pangeran Jayagiri dan memilih melepaskan jeweran pada telinga Cantaka.

“Aish! Dasar menyebalkan,” keluh tabib sambil pergi meninggalkan Cantaka.

***

Jayagiri datang menghampiri ruang kamar tempat ayahnya terbaring lemas. Setelah mendengar berita dari tabib istana, seluruh Pangeran dan Putri dari Sunda-Galuh diperintahkan untuk kembali ke istana.

Pintu terbuka dan terpampang jelas Pangeran Jayadarma, kakaknya yang baru saja datang setelah penugasannya di daerah Galunggung.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Jayadarma.

Jayagiri berdiri sambil menatap kedua mata kakaknya tersebut, “Tabib mengatakan kalau keadannya semakin memburuk hari ke hari, sepertinya kia harus berdiskusi terkait kekuasaan selanjutnya di—”

“Jangan membicarakan tentang tahta di depan Ayah!” sela Jayadarma, ia mengangkat tangan kanannya sembari menatap tajam adiknya tersebut.

“Maafkan aku, Kak,” jawab Jayagiri sembari menundukan kepalanya di hadapan Jayadharma, “Aku akan pergi memanggil tabib itu kembali.”

Ketika Jayagiri membukakan pintu kamar Raja, terlihat Ratu Dewi Suprabha datang dan melihat kedua anaknya berada di ruangan yang sama.

Ia menghela napas sambil memandang keduanya secara bergantian. Baik Jayadarma atau pun Jayagiri, keduanya serentak menundukan kepalanya, memberi hormat kepada ibunya yang masih seorang Ratu.

“Bagaimana keadaan Galunggung, Jayadarma?” tanya Ratu Suprabha.

“Galunggung sudah kembali stabil, kekurangan pangan sudah teratasi dengan baik. Rakyat sudah kembali bekerja seperti semula,” jawab Jayadarma, suaranya jauh lebih berat dan pikirannya jauh lebih dewasa dari pangeran-pangeran yang lainnya.

“Baguslah, Ibu senang mendengarnya.”

Pandangan Ratu Suprabha kini beralih ke putra bungsunya, Jayagiri. Jika dibandingkan dengan kakaknya, Jayagiri jauh terlampaui untuk kapabilitasnya sebagai pangeran kerajaan.

“Bagaimana dengan keadaanmu, Jayagiri?” tanya Ratu Suprabha.

Jayagiri mengangguk pelan, “Keadaanku baik, bagaimana denganmu, Ibu?”

“Hmm, semenjak Yang Mulia Raja sakit, aku tidak bisa tidur semalaman. Aku terus dihantui kecemasan dan kekhawatiran padanya,” jawab Ratu Suprabha.

“Jangan khawatir, Ibu. Kami akan berusaha menyembuhkan penyakit Ayah dan membuatnya kembali sehat,” jelas Jayadarma.

Pria itu berjalan keluar meninggalkan Jayagiri dan ibunya yang masih berada di dalam ruang kamar raja, ia berjalan sembari menggenggam pedang di tangan kanannya.

Ketika Jayagiri hendak pergi mengejar kakaknya, langkah pemuda itu terhenti ketika Ratu Suprabha memintanya untuk tetap tinggal. Ia mengangguk pelan dan melaksanakan perintah dari ibunya tanpa membantah.

“Duduklah,” pinta Suprabha sambil menepuk kursi kosong di sampingnya, Jayagiri mengiyakan dan duduk dengan perlahan.

“Mereka akan datang kemari, apa kamu sudah berbicara pada Saraswati?” tanya Suprabha, mereka yang ia maksud adalah rombongan dari Pangeran ke-1, Purana.

“Aku belum sempat menemuinya, Ibu. Namun, aku pikir ia sudah mengantisipasi hal ini,” balas Jayagiri.

Ratu Suprabha bisa langsung yakin ketika bicara dengan Jayagiri, mengingat ia banyak menghabiskan waktu dengannya dari pada dengan Jayadarma.

Terlihat Ratu Suprabha mengambil kain basah yang tertempel di dahi suaminya, mengganti airnya menjadi air hangat dan kembali menempelkannya di dahi suaminya dengan lembut.

Terlihat raut kesedihan tertampak jelas dari wajah Suprabha, ia tidak menyangka jika pria yang ia kenal sebagai pria tangguh nan bijaksana bisa jatuh tak berdaya seperti di hadapannya.

“Harus. Kita tidak bisa membiarkan Pangeran Purana berlaku sewenang-wenang lagi kepada keluarga kerajaan yang lain, apalagi raja belum menentukan siapa pangeran mahkota selanjutnya,” jawab Ratu Suprabha.

Wanita itu menggenggam tangan suaminya dengan hangat, pakaian gaun panjang yang terbuat dari sutra terbaik membuat penampilannya jauh lebih anggun dari sebelumnya. Andai raja melihatnya, ia mungkin akan senang dan beruntung memiliki istri secantik Dewi Suprabha.

“Kudengar anak dari selir Citraloka sudah tersadar, apa itu benar?” tanya Ratu Suprabha, Jayagiri mengangguk sambil tersenyum.

“Iya, tapi ingatannya tiba-tiba menghilang, mungkin karena efek dari kutukan yang menimpanya,” jawab Jayagiri, Suprabha berdeham pelan.

“Anak yang malang, ia harus menanggung akibat dari kecerobohan Pangeran pertama.”

“Aku akan mengunjunginya lain waktu, aku harap kamu bisa menemaniku,” ucap Suprabha, wanita itu bangkit dari duduknya sambil tangan kanannya yang lentik mengusap pipi Jayagiri.

Ia hanya tersenyum tanpa bicara apa pun, tak lama Jayagiri berpamitan kepada Suprabha dan pergi ke pintu keluar kamar.

Setelah beberapa langkah keluar dari istana kerajaan, ia melihat seorang wanita yang berjalan dengan diiringi pelayan di belakangnya, dia adalah sepupu dari Jayagiri, Nona Ayu Dyah Saraswati.

“Kebetulan aku bertemu denganmu di sini,” ucap Jayagiri, Saraswati menghentikan langkahnya dan menundukan kepala, memberi hormat.

“Apa Kak Jayagiri ada perlu denganku?” tanya Saraswati, polos.

Jayagiri mengangguk pelan sambil menatap kedua mata Saraswati, “Hmm, Pangeran Purana akan segera kembali. Berhati-hatilah.”

Saraswati tampak terkejut, matanya membelalak dan tubuhnya seketika gemetar mendengar nama Pangeran Purana. Pria itu telah memberikan kenangan buruk bagi Saraswati, meski Pangeran Purana sendiri mengakui kalau dia mencintai Saraswati.

“Apa yang harus kulakukan?” tanya Saraswati, cemas.

Jayagiri memegang pundak Saraswati dan tersenyum padanya, “Jangan dekati istana kerajaan sebelum kupastikan ia kembali ke Saunggalah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status