***
“Apa? Raja semakin melemah?”
Cantaka yang berada di dalam kamarnya tak sengaja mendengar desas desus tentang kesehatan Raja, ia hanya tahu kalau Raja Sunda-Galuh sedang menderita sakit yang parah.
Pintu kamar Cantaka terbuka, orang-orang yang berada di depan kamar Cantaka seketika terperanjat sembari melompat, mereka berdua tak lain adalah pengawal kerajaan yang kebetulan melintas.
“Apa sebenarnya yang diderita oleh Yang Mulia Raja?” tanya Cantaka.
Mulut keduanya terpaku, isu yang mereka bicarakan terbilang sangat rahasia dan tak sembarangan orang berhak bicara seenaknya. Namun, berbeda bagi Cantaka, pasalnya Raja sendiri adalah ayahnya.
“Kami tidak tahu pasti, Tuan. Namun, kami mendengar kalau kesehatannya semakin menurun,” jawab salah satu pengawal kerajaan.
Jiwa kedokteran Erland yang berada di diri Cantaka begitu bergejolak, sebagai dokter ia tidak bisa membiarkan seseorang tewas karena sikap abainya.
Bersama kedua pengawal kerajaan, Cantaka memberanikan diri pergi menemui Raja yang sedang beristirahat. Kedua pengawal itu beberapa kali mengatakan kalau anak selir dilarang masuk ke dalam Istana tanpa seizin Raja atau Permaisuri.
Tapi Cantaka tak mengindahkannya, keselamatan Raja lebih utama daripada aturan kerajaan yang begitu mengikat. Alhasil, seluruh prajurit kerajaan datang untuk memburu Cantaka dan melumpuhkannya.
Keributan yang Cantaka ciptakan membuat seisi kompleks Istana Kerajaan gempar, bahkan Citraloka, Ibu Cantaka terkaget-kaget dan pergi untuk mencegah anaknya berbuat fatal.
Tapi Cantaka berhasil masuk ke Istana Kerajaan, ia bahkan bertemu dengan tiga Permaisuri yang tengah berbincang di Balai Utama.
Mata mereka membelalak mendapati anak selir Cantaka masuk tanpa izin, mereka bisa mengetahuinya dari pakaian yang dikenakan Cantaka.
“Kenapa anak selir bisa datang kemari?! Kemana para penjaga?” tanya Ratu Saunggalah.
Ia duduk di tengah ditemani dua Ratu Sunda, Ratu Suprabha dan Ratu Darmageng. Mereka bertiga bangkit dari posisi duduknya dan mencoba menenangkan emosi Ratu Saunggalah.
“Apa yang membawamu berani datang kemari, Cantaka?” tanya Ratu Suprabha.
Tutur kata dan nada bicaranya jauh lebih lembut dari Ratu Saunggalah, tak lama datang para pengawal kerajaan yang sedari tadi mengejar Cantaka.
Dengan lantang, Ratu Saunggalah memerintahkan penjaga untuk menyeret Cantaka keluar, tak hanya itu, ia juga memerintahkan untuk mengurung Cantaka.
“Aku datang untuk menyembuhkan Raja,” ucap Cantaka ketika kedua tangannya dicengkeram dengan kencang oleh para pengawal.
“Apa kamu bilang? Kamu akan menyembuhkannya?” tanya Ratu Saunggalah, Cantaka mengangguk.
“Jangan bercanda! Tidak ada kemampuan mengobati yang lebih hebat dari tabib kerajaan.”
Ratu Saunggalah semakin berang akan sikap Cantaka, ketika wanita itu hendak berjalan menghampiri pemuda tersebut, tangannya digenggam oleh Ratu Suprabha yang sontak langsung membuat Ratu Saunggalah menghentikan langkahnya.
“Aku melihat sesuatu yang berbeda darinya. Panggil tabib kerajaan kemari,” pinta Suprabha, pelayan yang melayaninya mengangguk pelan dan pergi meninggalkan istana tersebut.
Leher Cantaka terselamatkan, Ratu Suprabha tampaknya menyadari kalau ada sesuatu yang berbeda dari tatapan Cantaka. Ratu Saunggalah masih berang, ia tidak suka melihat orang melanggar peraturan seenaknya sendiri di istananya.
“Kenapa kamu malah mendukungnya, Ratu Suprabha?” tanya Ratu Saunggalah.
Suprabha tersenyum sambil berbalik menatap kedua mata Putri Saunggalah tersebut, tidak ada maksud tertentu kenapa ia membiarkan Cantaka masuk. Ia hanya ingin yang memberikan yang terbaik bagi Raja.
“Tentu dia akan dihukum, hal itu bisa kita putuskan setelah kita melihat cara dia mengobati Yang Mulia, kan?” tanya Suprabha.
Ratu Saunggalah kesal, wanita itu langsung pergi dengan sendirinya ke ruang perawatan Raja. Cantaka masih menunggu tabib kerajaan, karena dengan merekalah Cantaka akan pergi menyembuhkan sang Raja.
“Terima kasih sudah menolongku,” ucap Cantaka.
Ratu Suprabha tersenyum sambil berjalan mendekati Cantaka, kedua matanya masih memandang pemuda yang seketika bangkit dari posisi berlututnya.
“Aku tidak menolongmu, aku mendekatkan macan kepadamu. Kini, tinggal dirimu putuskan, apa kamu akan menjinakan macan itu atau memilih diterkam olehnya,” jelas Suprabha, wanita itu berjalan melewati Cantaka dan keluar melalui lorong istana sebelah kanan.
Kata-katanya sangat menohok, tak heran banyak penjaga dan pelayan kerajaan yang ketakutan ketika Ratu Suprabha sudah berbicara. Tak lama, tabib kerajaan itu muncul dan Cantaka langsung dibawa bersama mereka.
Pintu kamar Raja terbuka, Cantaka melihat di dalamnya sudah berada empat orang pria berpakaian mewah, mereka memiliki ciri khas masing-masing, salah satunya Prabu Purana yang selalu mengenakan pakaian merah maroon.
“Siapa dia?” tanya Jayadarma.
Cantaka menundukan kepalanya di hadapan mereka, Ratu Saunggalah dan Darmageng menjelaskan identitas Cantaka kepada keempat pangeran tersebut. Alhasil dua dari mereka langsung menarik pedang dan mengacungkannya pada Cantaka.
“Aku tidak bisa membiarkan orang asing menyentuh Raja. Ia harus dihukum dengan segera!” ancam Prabu Purana, sikapnya jauh lebih tegas dan kasar dari yang Cantaka duga.
Jayadarma dan Jayagiri menghentikan pertikaian tersebut, hanya Ragasuci yang kembali menyarungkan pedangnya, berbeda dengan Purana yang masih keras kepala.
“Jika Raja sampai meninggal, aku akan pastikan kamu dan keluargamu terpenggal hari itu juga!” ancam Purana.
Keadaan yang sungguh tegang, Cantaka tidak pernah menduga akan berada di situasi seperti ini ketika hendak menyelamatkan nyawa seseorang.
Cantaka berjalan menghampiri Raja yang tengah terbaring lemah di atas pembaringan. Ia menggenggam nadi Raja dan merasakan memang lemah tapi tidak lambat. Tangan Cantaka juga ia letakan di atas dahi Raja dan memperkirakan suhu tubuhnya langsung.
“Apa yang dia lakukan?” tanya Ragasuci kepada Purana.
“Orang bodoh itu tidak tahu apa yang diperbuatnya,” cela Purana, membuat Jayadarma dan Jayagiri sontak memandang Purana dengan tajam.
Cantaka membuka mulut Raja dan dengan sengaja menarik lidah Raja keluar, sontak saja hal itu mengundang murka dari seluruh pangeran hingga Purana menarik baju Cantaka dan menjatuhkannya ke atas lantai.
“CUKUP! Kamu sudah menghina kehormatan Raja!” bentak Purana, ujung bilah pedangnya berada di leher Cantaka dan hanya sedikit saja lehernya tertebas membuatnya mati.
“Tidak, aku hanya memastikan saja apakah penyakitnya berasal dari makanan yang ia makan,” jelas Cantaka.
“Makanan?” tanya Jayadarma, ia berjongkok di depan Cantaka dengan wajah penuh keseriusan.
“Iya, lidahnya cukup pucat dan demamnya tinggi. Ini menandakan gejala tifus,” balas Cantaka, tapi sepertinya keempat Pangeran itu tidak tahu menahu tentang penyakit tifus.
“T-Tifus? Kutukan apa itu?” tanya Jayagiri.
“Itu bukan kutukan, sejenis penyakit perut yang disebabkan oleh bakteri,” balas Cantaka, lagi-lagi ucapannya tak dapat masuk ke pikiran mereka semua, bahkan tabib kerajaan baru pertama kali mendengarnya.
“Dia gila! Bawa dia keluar,” titah Purana, pengawal yang berada di luar kamar sontak menarik tangan Cantaka dan menyeret tubuh pemuda itu untuk keluar.
Langkah para pengawal terhenti ketika Ragasuci, Pangeran kedua mengangkat tangannya. Sontak Purana semakin berang karena masih ada yang mau menyelamatkan Cantaka.
“Kamu sudah mendiagnosa penyakit Raja, maka beritahu kami apa yang perlu kita siapkan untuk penyakitnya,” jawab Ragasuci.
“Pangeran Ragasuci!” erang Purana, ia sangat tidak suka jika ada orang yang menentang perintahnya.
“Orang gila tidak akan segigih itu, jika pun kamu mengetahuinya, kamu hanya mencoba menjaga kewibawaanmu sebagai Pangeran pertama, kan?” tanya Ragasuci, pertikaian keduanya semakin menjadi-jadi, tak ayal hal itu membuat tidur Raja terusik.
Pandangan Raja langsung tertuju kepada seorang pemuda yang tengah tercengkeram oleh kedua orang penjaga, Cantaka tentu mengenal sang Raja, tapi ia segan untuk memanggilnya Ayah.
“Kenapa anak selir ada di sini?” tanya Raja, Jayadarma langsung mengatakan yang sebenarnya.
“Begitu? Kemarilah, mungkin dia tahu penyakitku seperti apa,” pinta Raja.
Kedua penjaga itu melepaskan Cantaka dan membiarkan pemuda itu berjalan menghampiri sang Raja. Ia berlutut sambil sesekali memohon ampun, ia mengetahui ilmu ini dari film kolosal yang dulu pernah ia tonton.
“Apa yang harus aku makan?” tanya Raja, Cantaka mengangkat kepalanya dan memandang wajah Raja sekaligus ayahnya tersebut.
“Cacing.”
“C-Cacing?! Apa kamu bercanda?! Raja tidak mungkin mengkonsumsi hewan seperti itu!” bentak Purana. Pria itu kembali berjalan mendekati Cantaka dan dengan cepat mencekik leher pemuda asing tersebut. Semua orang yang berada di ruangan tersebut tersentak dan beberapa ada yang mencegah Purana. “Kenapa kamu menyuruhnya makan cacing?” tanya Ragasuci. Pemuda itu memegang tangan Purana dan menyuruh kakaknya untuk menenangkan diri. Purana melepaskan cengkeraman pada leher Cantaka begitu Ragasuci menyuruhnya. “Uhuk!” “Bicaralah! Jika perkataanmu meyakinkan, maka aku tidak akan keberatan memakan apa yang kamu suruh,” tegas Raja. Cantaka merasakan kalau tatapan seluruh penghuni ruangan terpusat padanya, beberapa ada yang begitu penasaran, ada juga yang masih berang seperti Purana. Namun, perintah dari rajanya membangkitkan semangat Cantaka untuk menjelaskan khasiat dari cacing tanah tersebut. “Maaf, Yang Mulia. Hanya satu jenis cacing yang
*** “Jangan beritahu siapa pun tentang keadaanku,” pinta Raja kepada Cantaka, keduanya berada di ruangan kamar Raja, Cantaka ditugaskan untuk memeriksa kesehatan Raja untuk terakhir kalinya. “Memangnya kenapa, Yang Mulia?” tanya Cantaka. Raja menghela napas sambil kedua tangannya memegang lututnya, ia bersila di atas kasur dengan hanya mengenakan pakaian panjang serba putih, bisa dibilang pakaian tidur bangsawan zaman ini. “Ketika seekor singa yang malang jatuh sakit seorang diri, maka anak singa yang cakap pasti sudah bersiap menggantikan posisinya,” jawab Raja, tangannya menunjuk-nunjuk kearah Cantaka yang berada di hadapannya dengan penuh keseriusan. “Apa Yang Mulia berencana untuk mengungkapkan siapa sebenarnya yang menginginkan takhta Raja?” tanya Cantaka, Raja itu mengangguk, ia menengguk teh ramuan yang telah dibuatkan oleh tabib kerajaan. “Aku sama sekali belum menentukan siapa yang berhak menyandang Pangeran Mahkota, jika kead
*** “Apa maksudmu?” tanya Cantaka. Citraloka memberikan secarik kain yang bernodakan darah merah yang sudah mengering, kain itu terlihat bersih dan terjaga dengan baik. Tidak mungkin jika Saraswati mencoba melakukan pembunuhan terhadap Cantaka, semuanya tidak berdasar jika tidak ada bukti yang membenarkan. “Aku yang menjagamu dengan baik selama kamu terkena racun, bukan penyakit yang kamu alami, bukan juga kutukan. Melainkan racun yang ditemukan di sebuah mangkuk kayu yang sebelumnya kamu pakai minum,” jawab Citraloka. “Tapi bagaimana kamu bisa menyimpulkan kalau Saraswati adalah pelakunya?” tanya Cantaka. Ia tidak ingin membuat keputusan dengan mendadak, ia ingin segalanya berdasarkan rencana yang matang. Jika pun benar Saraswati mencoba meracuni Cantaka, pasti ada alasan mendesak kenapa wanita itu sampai mau melakukannya. “Dulu, Saraswati adalah kepala dari juru masak kerajaan. Semuanya mulai menuduh Saraswati, tetapi entah k
*** Setengah perjalanan dari Pakuan menuju Cirebon, Ayodya sudah menyadari kalau mereka diikuti oleh seseorang. Hal ini diketahui tepat ketika Ayodya melihat orang yang sama ketika menginap di salah satu rumah yang ia sewa. “Sudah dua kali aku mendapati mereka berada di desa yang sama dengan kita,” jawab Ayodya. Keduanya tengah duduk bersama di ruang tengah rumah tersebut sembari menikmati teh hijau yang disediakan oleh Ayodya. Ia mengenal betul Cantaka seperti apa karena Ayodya sudah lama mengabdi kepada Citraloka. “Apa kamu tahu siapa mereka?” tanya Cantaka, Ayodya menggelengkan kepala. “Ini mencurigakan, jika dia adalah utusan dari pelaku yang meracuniku, kemungkinan mereka datang untuk membunuh kita berdua,” jawab Cantaka. Hal seperti itu masuk akal jika dipikirkan baik-baik. Namun, kepala Ayodya jauh lebih luas dari Cantaka, pengetahuannya tentang strategi dan siasat juga jauh melampaui pemuda tersebut. “Tidak, bukan itu t
“Apa kamu mengira aku akan mengkudeta posisi Raja?” tanya Purana.Pangeran pertama itu berjalan menuruni undakan tangga dengan posisi tubuh yang tegap dan pandangan mata yang lurus ke depan. Serdadu yang kedua pangeran bawa sama besar dan kekuatannya jika hal buruk pertumpahan darah harus terjadi.“Semua orang akan berkata demikian, hanya perbedaan sudut pandang ketika melihat kejadian ini,” balas Ragasuci.Purana tertawa, ia benar-benar mengagumi kecerdasan dan kemampuan Ragasuci yang sangat bijak dan cerdik. Dengan hati yang kesal, ia berjalan melewati Ragasuci dan meninggalkan istana dalam dengan raut wajah kecewa.Pintu terbuka, terlihat beberapa pelayan dan penjaga istana yang terkejut tatkala melihat Purana keluar dari dalam istana dengan mengenakan seragam militer lengkap. Purana melihat keberadaan Saraswati yang berdiri di belakang saudara-saudaranya, Jayadharma dan Jayagiri.Jenderal pasukan Sunda datang, ia adalah
***Ayodya datang bersama dengan pria pejabat biro dan seorang pria bernama Wunguk. Pria tersebut bertubuh biasa, tidak berotot tidak pula gendut. Wajahnya terukir banyak kerutan dan rambut belakangnya mulai memutih seiring usianya yang bertambah.Cantaka terbaring pingsan di sebuah ruang khusus rumah biro tersebut, tempat yang biasa dipakai oleh para pejabat untuk bersenang-senang dengan para wanita panggilan.Tubuhnya tak lagi mengenakan seragam militer, melainkan kain halus yang terbuat dari sutra berwarna biru langit, cocok dengan kepribadiannya yang dingin dan misterius.Pintu terbuka dan terlihat oleh Ayodya, Cantaka masih belum tersadar dan ia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga pria itu dari masalah apa pun, itu membuat hatinya gusar dan khawatir.“Apa dia benar-benar mendapatkan kutukan?” tanya pria dari biro, matanya masih terpaku melihat Cantaka yang terbaring dengan wajah yang bersinar karena pantulan cahaya matahari
***“Kita akan istirahat di desa ini,” balas Cantaka.Malam itu, udara cukup dingin dan angin terasa berhembus dengan kencang dari arah perbukitan gunung Cireme. Untungnya ia menemukan desa kecil di kaki gunung, berjumlahkan kepala keluarga yang kurang dari 50 orang dan mayoritas bekerja sebagai petani.“Apa kamu tidak keberatan, Wunguk?” tanya Ayodya.Ia berbalik dan menatap Wunguk yang berada di kuda yang berbeda, ia mengangguk pelan tanda setuju.Cantaka meminta Wunguk untuk kembali karena hanya dia seorang yang mungkin mampu mengembalikan ingatan tentang kehidupan Cantaka yang lalu. Tak hanya itu, ia juga bisa dijadikan saksi kunci terkait percobaan pembunuhan dengan racun terhadap Cantaka.Ayodya berjalan mendekati Cantaka, ia bertanya tentang keadaan desa yang keduanya datangi. Namun, keanehan yang ia rasakan perlahan memudar ketika melihat seorang pria berjalan sembari menenteng cangkul di bahunya.Pendu
*** Ketiganya berpamitan kepada pemilik rumah, Cantaka sadar apa yang ia lakukan sebenarnya salah. Namun, perkataan Ayodya dan Wunguk ada benarnya juga. Cantaka membutuhkan kekuasaan yang besar untuk menumpaskan kejahatan yang ada di desa tersebut. Mereka mengambil jalan memutar dengan menuruni perbukitan, beberapa desa terlewati karena ketiganya bertekad untuk mengambil langkah cepat menuju istana. Hingga Wunguk meminta beristirahat ketika sampai di salah satu lapang sabana yang luas. Ia benar, sudah dua belas jam ketiganya berada di perjalanan, beristirahat beberapa jam saja tak membuat Cantaka keberatan. Dengan bermodalkan api unggun dari kayu-kayu yang mereka dapatkan, ketiganya mengelilingi api unggun itu dengan jarak yang cukup renggang satu sama lain. Cantaka bisa merasakan tubuhnya mulai menghangat di malam hari yang dingin, hanya ditemani suara jangkrik yang memecah kesunyian di hamparan karpet rumput yang sangat luas. “Hanya membutuh