Share

Orkes di pagi hari

Rendi tersenyum misterius. Tanpa menjawab pertanyaan kemudian mengajak Diandra dan Brandon pulang.

Gadis itu menyerahkan tas kepada Rendi dan Brandon. Ketiganya nampak berjalan keluar meninggalkan diskotik itu.

Dua puluh menit berselang, mereka sudah sampai di rumah gadis itu. Tampak seorang lelaki membuka pintu pagar dan gadis itu pun masuk. Lalu mengendap-endap menuju jendela, kemudian menghilang.

"Ah ... Nyampe rumah juga. Lumayan, dapet tambahan uang satu juta. Buat uang jajan si Bejo," ujarnya.

Diandra merebahkan dirinya dan tertidur, tanpa mengganti pakaian atau membersihkan tubuh terlebih dahulu.

Pukul sepuluh pagi, gadis itu mulai menggeliatkan tubuhnya. Setelah mendengar riuh di depan kamar yang di mulai dari satu jam yang lalu.

Gadis itu pun membuka pintu kamar. Tampak seorang wanita muda, seorang wanita paruh baya dan lelaki muda sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Masing-masing mereka membawa panci, kuali, tutup panci lengkap dengan sendok berbahan stainless. Mereka bertiga adalah ibu, kakak perempuan dan kakak lelaki Diandra.

"Aduuuh, apaan sih ini? Pagi-pagi buta begini udah ada orkes di depan kamar, maaf ga ada uang receh," gerutu gadis itu saat membuka pintunya.

"Pagi-pagi buta dari mana? Tuh liat, udah jam berapa? Anak perawan bangunnya kok siang. Rejeki di patok ayam nanti baru tau rasa," sungut ibunya.

Sisy kemudian menjewer telinga anak bungsunya itu.

"Sakit, Ma, aduuuh duh ampun. Ya kalau rejekinya di patok ayam tinggal potong aja ayamnya. Jadi ga matok lagi kan, gitu aja kok repot," kilah Diandra sambil menggosok telinga yang terasa panas karena jeweran ibunya.

Kakak laki-laki Diandra tak kalah cerewet. Lelaki muda itu mengomentari kamar sang adik yang menurutnya mirip terkena badai.

"Hih, anak perawan kok kamarnya begini. Kaos kaki di lempar kemana-mana, handuk kok bisa ada di dekat tong sampah. Ini lagi, tas sudah berapa abad gak di cuci? Seprainya, astagaaaa, ini warna krem loh aslinya kenapa jadi berubah warna jadi kehitaman begini," cemooh Aris, kakak lelaki Diandra.

Begitulah kegaduhan di kamar Diandra dan itu terjadi setiap hari. Catat.

Setelah memastikan bahwa Diandra masih berada di dalam kamarnya, mereka pun bubar.

Meliana berangkat menuju klinik, Aris menuju bengkel motor, Darwin ayah mereka sudah berangkat ke kantor sejak jam delapan pagi tadi, sedangkan ibunya, Sisy, di rumah saja.

Dua jam berlalu, kini waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Diandra keluar dari dalam kamar lalu menuju meja makan. Nampak ibunya sudah berada di sana. Setelah berbasa-basi, Diandra pun makan siang. Gadis itu menyendok makanannya sendiri.

"Diandra, astaga. Kamu itu perempuan kenapa makannya banyak banget sih. Papa aja makan ga banyak gitu, itu turunin kakinya," gerundel Sisy.

Sisy tidak habis pikir dengan tingkah anak bungsunya itu.

"Maklum aja, Ma, ini kan porsi tukang gitu loh. Lagian kan Diandra masih dalam masa pertumbuhan," sahut Diandra.

Gadis itu menyahuti ibunya dengan mulut yang masih berisi makanan.

"Itu makanan yang di mulut abisin dulu baru menjawab. Ga sopan banget kamu ini lagian, masa pertumbuhan dari mana? Umur kamu itu sudah 22 tahun," cibir Sisy kesal.

Meski sering ribut dengan anak bungsunya, Sisy sangat menyayangi Diandra rumah terasa sangat sepi jika tidak ada gadis itu.

Satu jam kemudian, Diandra berpamitan akan ke bengkel Aris, kakaknya.

Diandra pun menuju garasi yang terpisah dari rumah. Tampak sepeda motor berwarna merah dengan jenis Pigson. Gadis itu mengelus sepeda motor dan memeluknya bak memeluk seseorang.

"Halo, Bejo. Apa kau merindukanku? Tentu tidak. Yuk kita jajan ke bengkel Kak Aris, aku ada uang nih," kata Diandra bermonolog.

Tak perlu merasa aneh dengan tingkah Diandra yang suka bicara sendiri itu, Sedikit ajaib memang.

Gadis itu sebenarnya sangat cantik. Hanya saja penampilannya seperti lelaki. Namun bukan berarti tidak menyukai lawan jenis. Belum ada pikiran mencari pasangan begitu lah alasannya. Padahal lelaki takut dan menjauh karena sikapnya yang tidak menunjukkan bahwa dirinya itu perempuan.

Sepuluh menit berlalu, Diandra sudah sampai di bengkel milik kakaknya. Bengkel itu cukup besar juga luas karena dilengkapi tempat pencucian mobil. Suara bising kendaraan yang diservis, tak menganggu di telinga Diandra.

"Kak, aku mau ganti lampu si Bejo. Mau yang LED biar silau," pinta Diandra.

"Ya udah sana, Parman sebentar lagi selesai tuh, inget jangan ikut membongkar motor. Kamu ini taunnya bikin kacau aja, aku juga yang rugi nanti!" perintah Aris.

Diandra hanya tertawa mendengar omelan Aris. Sudah lebih dari dua kali dia membuat ulah. Satu minggu yang lalu, seorang pelanggan ingin mengganti oli sepeda motor. Dengan semangat gadis itu meminta ia saja yang mengerjakan. Hasilnya, sepeda motor itu di bongkar seluruhnya dan lupa memasang kembali knalpotnya. Setelah terpasang, ternyata tertukar dengan milik sepeda motor yang lain.

Diandra kini mematuhi perintah Aris. Gadis itu duduk sambil menunggu motor selesai. Untuk menghabiskan waktu dia mengajak pegawai bengkel berbincang agar tidak bosan.

Bejo alias sepeda motor kesayangan Diandra sudah selesai. Gadis itu pun membayar tagihan motornya itu di kasir, lalu berpamitan kepada kakaknya.

"Kamu mau kemana, Dek?" tanya Aris.

"Biasa, Kak. Ke butik sapa tau ketemu pangeran ngondek," jawab Diandra sambil beranjak pergi.

Diandra menghabiskan waktunya di toko itu hingga sore. Seorang wanita tinggi dengan penampilan elegan masuk ke dalam butik lalu melihat-lihat beberapa dress dan pakaian dalam.

Nampak plastik belanja sudah terisi beberapa potong pakaian dan pakaian dalam. Kini, wanita itu berjalan melihat tas tangan lalu memilih beberapa. Kemudian menuju kasir untuk membayar barang yang akan dibeli.

Diandra keluar dari butik dan menyalakan sepeda motornya. Wanita itu memakai kaca mata hitam lalu keluar menuju mobilnya.

Wanita itu memundurkan mobilnya tanpa melihat bahwa ada sepeda motor di samping yang juga akan keluar.

Braaaaak.

"Aduuuh," terdengar suara Diandra.

Diandra terjatuh dari sepeda motornya sendiri. Sementara wanita itu turun dari mobil.

Gadis berusaha bangkit. Kemudian wanita tadi berjalan mendekati Diandra yang susah payah berdiri, dan menyilangkan kedua tangan di dada.

"Heh! Liat tuh kelakuan kamu sama si Bejo. Terkulai lemah tak berdaya dan merebahkan tubuhnya ke bumi. Tanggung jawab ga! Bangunin tuh si Bejo!" sembur Diandra.

Wanita itu membuka kacamata hitamnya, lalu melepaskan sepatu hak tinggi dan letakkan di bagian belakang mobil, lalu membuat motor Diandra kembali berdiri.

"Loh?! Domo, ngapain kamu di sini? Ngikutin aku ya!" sergah Diandra.

Wanita yang dipanggil Domo itu tidak mengacuhkannya, dia mengambil kacamata dan sepatu yang di letakkan di bagian belakang mobil, lalu meninggalkan Diandra tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Sial banget aku, kenapa sih ketemu anak itu lagi. Tadi malem dia injek kaki aku, hari ini nabrak mobil, apa sih maunya itu anak!" hardik Handoko, sambil memukul stir mobilnya.

Diandra pun segera memeriksa keadaan Bejo, motor kesayangannya.

"Bejo, untung aja kamu cuma lecet dikit doang. Ga papa lah namanya juga laki," ujar gadis itu.

Gadis itu kemudian memeluk lalu menghidupkan sepeda motornya, kemudian pulang menuju rumah.

Setibanya di rumah, tampak sang ayah tengah berada di ruang keluarga, sedang berbicara santai dengan ibunya. Diandra berusaha menghindar.

"Diandra, sini sebentar, Nak," panggil Darwin.

Gadis tomboy nan cantik itu dengan langkah gontai mendekati ayahnya.

"Sore, Pa," sapa Diandra.

Gadis itu kemudian duduk di samping ayahnya dengan menggeser paksa sang ibu.

"Papa perhatikan, kamu makin sering sama si Bejo. Kapan kami lihat gadis bungsu ini dengan lelaki sungguhan?" tanya Darwin.

"Gimana laki-laki ada yang mau, Pa. Lihatlah penampilannya yang kumal seperti gak diurus. Seandainya Mama masih muda dan menjadi laki-laki, ga bakalan mau sama Diandra," seloroh Sisy.

"Mama kejam amat sama anak sendiri. Jangan-jangan Diandra boleh nemu di tong sampah," rajuk Diandra.

Darwin memeluk putri bungsunya. Lelaki itu membelai lembut rambut Diandra dengan penuh kasih sayang.

"Papa dan Mama jangan khawatir. Mel akan menjodohkan Diandra dengan adik Julia Hutomo," tukas Meliana yang mendengar pembicaraan mereka.

Sisy dan Darwin tercengang lalu saling bertukar pandang dengan raut wajah heran sambil melipat kening. Kemudian keduanya menatap Melianna dengan tatapan meminta penjelasan.

"Kamu ngomong apa barusan, Mel?" tanya Darwin.

Meliana pun menjelaskan bahwa Julia memiliki ide agar menjodohkan Diandra dengan adiknya, juga mengatakan jika Diandra juga tahu akan hal itu. Kini tinggal menunggu kabar dari keluarga Hutomo saja.

Diandra pamit menuju kamarnya. Sesampainya di kamar gadis itu pun membersihkan tubuh lalu melempar handuk begitu saja di sembarang arah.

Gadis itu pun memakai kaos oblong dan celana cargo pendek. Kemudian menuju meja makan.

Satu jam kemudian, meja makan sudah ramai dengan keluarga inti. Mereka makan malam dengan tenang. Setengah jam kemudian, makan malam pun usai. Diandra kembali berpamitan untuk ke kamar.

Pukul sepuluh malam, suasana rumah sudah sepi. Seperti biasa Diandra mengendap-endap untuk keluar. Sebuah mobil sudah menunggunya di luar pagar, mereka langsung berangkat ketika gadis itu sudah berada di dalam.

Melalui sebuah pesan singkat tadi sore, Leofrand memberitahu Diandra akan menunggu mereka di ruang tunggu diskotik. Tentu saja Rendi yang memberikan nomor ponsel Diandra.

Tak butuh waktu lama mereka bertiga akhirnya sudah sampai. Tampak Leofrand sudah menunggu. Wajahnya berbinar dan mengulas senyum saat melihat gadis tomboy itu datang.

Mereka duduk di tempat yang sudah di pilih Leofrand. Penari mulai berada di atas panggung. Seperti biasa, Rendi dan Brandon menitipkan tas mereka dan Brandon memberi upah untuk menjaga tas.

Leofrand tetap duduk di samping Diandra. Sesekali dia mencuri pandang menatap wajah gadis yang duduk tak jauh darinya.

Tampak seorang gadis berpenampilan minim di depan mereka. Menari seolah mengundang lelaki untuk datang kepadanya. Beberapa lelaki mulai berdatangan seperti semut yang mengerubungi gula. Namun wanita itu tetap menjaga jarak. Hingga salah seorang lelaki meremas bokong wanita itu.

Wanita itu menepis tangan lelaki kurang ajar dengan sopan. Namun diulangi kembali.

Buuugh.

"Aduuuh," teriak lelaki itu.

Terdengar suara gaduh. Ternyata Diandra memukul lelaki kurang ajar yang meremas bokong wanita. Lelaki itu tidak terima, bersiap akan memukul gadis itu. Namun Leofrand lebih dulu memukulnya.

Suasana diskotik itu sedikit gaduh. Sebagian ada yang tidak peduli, ada juga yang berusaha melerai.

Leofrand akhirnya mengajak Diandra pulang dengan terlebih dahulu berpamitan dengan kedua teman Diandra.

"Kamu ngapain cari ribut di sana?" tanya Leofrand, sambil menghidupkan mobilnya dan melajukannya.

"Siapa suruh melecehkan. Memang cara pakaian perempuan itu mengundang lelaki berbuat kurang ajar, tapi kan jangan begitu aku paling gak suka lihat yang gak adil. Lagian dia itu pelanggan butik aku," sahur Diandra.

Lelaki tampan itu menoleh sejenak, kemudian kembali fokus mengemudi.

'Cewek tomboy yang menarik. Tidak sia - sia aku mendekatinya,' batinnya.

Siapa sebenarnya Leofrand? Apakah ada niat tersembunyi dengan Diandra?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status