Share

Tunggu pembalasanku

Leofrand pun kembali melajukan mobilnya, meninggalkan rumah Diandra.

Lelaki itu kembali ke rumahnya. Hilang sudah keinginannya untuk kembali ke diskotik itu. Sesampainya di rumah, dirinya melihat ayahnya belum tidur. Masih nampak sibuk dengan pekerjaan dengan laptop di depannya.

"Dari mana kamu? Gimana dengan anak bungsu Darwin? Apa kamu sudah berhasil mendekatinya?" tanya Mahendra, ayah Leofrand.

"Sejauh ini baru aja kenalan Pa. Anak itu persis seperti informasi yang Papa berikan. Gadis aneh dan unik," jawab Leofrand.

Mahendra pun merapikan kertas-kertas yang berada di mejanya. Lalu mengajak Leofrand untuk beristirahat, karena besok ada presentasi penting, merebut tender besar untuk perusahaan mereka.

Di dalam kamar, Leofrand tidak bisa tidur. Lelaki itu selalu terbayang wajah Diandra dan tingkah konyolnya itu. Lalu tersenyum sendiri. Dua jam setelahnya akhirnya tertidur.

Matahari mulai menyembul malu-malu dari peraduannya. Beberapa burung gereja berkejaran, hinggap di balkon kamar Leofrand. Suara bising burung itu, membangunkan lelaki itu.

"Sudah pagi ternyata," gumamnya. Kemudian beranjak dari tempat tidurnya, menuju kamar mandi. Untuk membersihkan tubuhnya.

Setelah selesai, lelaki itu melangkah menuju sebuah ruangan yang masih berada di dalam kamarnya. Di dalamnya terdapat banyak sekali pakaian yang di gantung rapi. Pada bagian bawah, terdapat laci dengan kaca di bagian atasnya sehingga nampak isi dalam laci tersebut. Di dalam laci itu banyak dasi yang tersusun rapi, dua buah laci setelahnya berisi jam tangan dan tiga buah laci di sudut, berisi pakaian dalam serta kaus kaki.

Lelaki itu pun memilih pakaian yang akan dipakainya. Lalu memilih dasi, kaus kaki serta jam tangan yang akan dikenakannya. Terakhir, memilih salah satu jas dari puluhan jas yang menggantung. Lelaki itu mematut dirinya di sebuah cermin besar, mengagumi penampilan dan wajah tampannya itu. Merasa sudah puas dengan penampilannya dirinya pun keluar dari ruangan itu.

Di dekat pintu kamar terdapat sebuah lemari dengan tinggi satu meter dan panjang tiga meter. Bagian depan terdapat kaca transparan yang menampakkan banyak sekali sepatu berbagai macam jenis yang tersusun rapi. Kemudian memilih salah satu, lalu mengenakan kaus kaki dan sepatu yang sudah dipilihnya kemudian berjalan keluar dari kamar.

"Selamat pagi, Pa, Ma," sapa Leofrand, sambil mencium pipi ibunya.

Ibu Leofrand bernama Agnes. Berdarah campuran Tionghoa dan Jawa.

"Pagi juga sayang. Kamu cakep banget hari ini, mau rapat?" tanya Agnes.

Leofrand menjelaskan kepada ibunya, bahwa hari ini akan menghadiri rapat untuk presentasi tender besar yang akan dia dan ayahnya tangani.

Setelah berbincang sejenak, mereka pun mulai memakan sarapan yang sudah disajikan. Usai sarapan, Leofrand dan ayahnya, Mahendra, berjalan menuju mobil dan melajukannya ke sebuah gedung dimana mereka akan berebut tender itu.

Saat mereka memasuki ruangan, Darwin sudah duduk disana. Nampak sibuk dengan laptopnya. Mahendra memandangnya sinis, sementara yang dipandangi tidak melihat tatapan itu.

Tak lama, beberapa orang berpenampilan perlente mulai memenuhi ruangan itu. Jaka, seorang asisten pribadi dari pemilik grup Neo sebagai penyelenggara tender, mempersilahkan vendor untuk mempresentasikan tawaran mereka. Leofrand mendapat urutan kedua untuk melakukan presentasi tawarannya, sementara Darwin menjadi yang terakhir dari lima vendor yang hadir.

Menit ke empat puluh pun terlewati. Kini giliran Darwin untuk mempresentasikan tawarannya.

"Baik, terima kasih. Kami akan mengumumkan hasil pemenang tender satu jam ke depan, melalui sebuah pesan elektronik," tutur Jaka.

Kemudian satu persatu mereka meninggalkan ruangan itu. Saat Darwin keluar, nampak Mahendra sudah menunggunya.

"Sudahlah, Darwin. Sebaiknya kamu mundur saja, proyek ini terlalu besar untukmu," cibir Mahendra.

Darwin hanya tersenyum lalu berjalan mengabaikan mereka berdua. Lalu membetulkan celana bagian belakangnya, seperti ada yang terselip. Sepertinya kita sudah tahu dari mana sumber sikap Diandra yang ajaib itu.

Mahendra nampak kesal dengan ulah Darwin yang dianggap mengejeknya itu.

"Huh, tunggu saja. Sebentar lagi, anakku akan menghancurkan hati anak kesayangan mu itu, hahahaha," cetus Mahendra.

Keduanya pun tertawa.

* * *

Sementara itu di tempat lain, di sebuah taman tepatnya. Nampak dua orang gadis sedang yang sedikit aneh. Bagaimana tidak, seorang gadis membonceng yang lainnya, sementara gadis yang di bonceng, nampak memegangi sepeda, bukan di naiki.

"Stop. Kita berhenti di sini yuk, tepat di depan danau," saran seorang gadis yang sedang di bonceng.

Gadis itu menghentikan sepedanya. Kemudian berjalan, lalu duduk meninggalkan temannya yang nampak kesusahan turun dari sepeda itu.

"Dasar ga punya perasaan! Udah tau repot begini bukannya di bantu, malah di tinggal, semprul," gerutu Diandra.

Setelah selesai dengan sepeda, Diandra pun mendekati Dara sahabatnya itu dan duduk di sebelahnya. Tak lama penjual kue mendekati mereka, dan menawarkan dagangannya. Mereka berdua pun memilih makanan kesukaan masing-masing. Tak lupa membeli air mineral juga.

Dara Kadita Saraswati, begitulah nama sahabat Diandra yang cantik itu. Sikapnya dingin, sulit tersenyum, acuh tetapi di balik itu, Dara gadis yang cerdas dan berhati lembut. Diandra dan Dara sedang menikmati makanan mereka. Tiba-tiba sepeda meluncur dengan kencang ke arah mereka. Dara terkejut dan menendang sepeda itu sekuat tenaga. Hasilnya sepeda itu kini tenggelam di danau.

Nampak seorang lelaki berenang ke tepi danau. Kemudian berjalan ke arah Diandra dengan marah.

"Hei! Kamu mau bunuh aku ya!" hardik lelaki itu.

"Heh, Domo. Itu mulut di kepang dulu sebelum ngomong. Kamu itu hampir aja bikin kami celaka tau ga," keluh Diandra.

Sementara Dara duduk kembali menikmati makanannya. Domo dan Diandra yang sedang bertengkar itu seperti musik pengiring baginya.

"Kamu itu dimana-mana selalu saja membuat kekacauan!" bentak Domo, bukan, Handoko marah.

"Heloooow, bukannya kamu yang doyan cari masalah? Pake acara cosplay segala," balas Diandra.

Handoko malas beradu mulut dengan Diandra. Lelaki itu kini kembali menuju pinggiran danau, memeriksa sepedanya, apakah masih bisa di selamatkan atau tidak.

Tepat saat Handoko melihat ke arah danau dengan membungkukkan tubuhnya, Dara kembali menendang Handoko hingga tercebur ke dalam danau itu sekali lagi.

Dara bergegas menaiki sepedanya dan mengayuhnya dengan cepat. Melihat sahabatnya kabur, Diandra juga segera menuju sepedanya dan pergi dari tempat itu.

Mereka berdua akhirnya sampai di tempat yang mereka rasa aman.

"Dasar gila kamu, kasian tau si Domo, pantas saja tidak ada lelaki yang mau mendekati mu, hahaha," seloroh Diandra.

"Cih, bukankah kita memiliki persamaan? Hingga kita bisa sedekat ini," balas Dara.

Diandra pun tertawa. Benar apa yang dikatakan sahabat nya itu. Tidak ada lelaki yang mau mendekati mereka karena tingkah dan penampilan mereka yang di luar nalar. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Dara mengantar Diandra menggunakan mobilnya.

"Dasar cewek gila. Aku selalu saja sial jika bertemu gadis tomboy urakan itu," gerundel Handoko.

Kemudian dirinya kembali pulang ke rumahnya, dalam keadaan basah kuyup. Sepanjang jalan, Handoko cemberut. Hatinya merasa sangat kesal bukan main.

"Gadis tomboy, lihat saja pembalasan ku nanti!"  tekadnya Handoko sambil memukul stir mobilnya dengan tangan kirinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status