Share

Ide

Julia menoleh mencari orang yang menyapa. Tampak seorang wanita berjalan menuju arahnya.

"Meliana, apa kabar? Aku tiba tadi pagi," jawab Julia.

Kedua wanita itu pun berpelukan, melepas rindu.

Julia mengajak Melia Darwin, sahabatnya untuk duduk di sudut cafe.

"Gimana perkembangan studi kamu?" tanya Meliana.

Julia pun menarik napas dan menghembuskan dengan kasar.

"Gak ada obat untuk itu Mel. Paling mentok therapi dan hormon aja," sahut Julia.

Meliana pun mengelus punggung tangan sahabatnya.

"Kalau therapist, kamu bawa aja ke klinik. Aku punya .... " Meliana belum usai dengan kalimat, terdengar suara cempreng melengking memanggil dirinya.

"Kakak!" seru suara gadis dengan suara khas yang dikenal Meliana.

Nampak gadis itu memakai kaos oblong yang tampak lusuh, celana jeans dan ransel hitam yang tak kalah kusam dengan kaosnya. Hanya sepatu kets yang nampak mahal menyelamatkan penampilan yang terkesan urakan.

Kecantikan gadis itu tidak terpengaruh dengan cara pakaiannya.

Diandra Darwin. Itu lah nama gadis yang berpenampilan sedikit ajaib itu. Diandra adalah adik Meliana berusia 22 tahun, penggemar sepeda motor dan juga berpenampilan seperti lelaki dikenal dengan istilah tomboy. Dia adalah putri bungsu Darwin dan Sisy Atmaja, salah satu pengusaha sangat terkenal di Negeri Awan.

"Kamu itu ya. Bisa ga sih berpenampilan normal layaknya gadis muda lain," gerutu Meliana kepada adiknya.

Diandra hanya tertawa lepas bak seorang lelaki. Tidak ada kesan anggun sama sekali. Kemudian dia menghempaskan tas ransel dari bahunya dan duduk di depan Julia.

Meliana memukul bahu adiknya. Wajahnya tampak kesal, bibirnya mengerucut dan menatap Diandra dengan tatapan seakan ingin menelannya bulat-bulat.

"Diandra Darwin! Kamu bisa santai ga sih? Geradak geruduk kaya maling jemuran tau ga!" seru Meliana sambil membelalakkan kedua matanya.

"Jangan sering melotot gitu, kak. Nanti matanya bisa pindah ke kuping loh." Diandra tampak duduk santai, sambil mencomot sepotong kue Red Velvet milik Meliana.

Julia pun hanya menonton kakak beradik itu ribut beradu mulut. Terlintas sebuah ide di dalam pikirannya.

"Kak, minta duit. Mau beli mie ayam di depan," pinta Diandra, sambil menyodorkan tangannya yang kosong.

Meliana pun memutar bola matanya kesal kemudian membuka tasnya, mengambil dompet lalu menyerahkan selembar uang pecahan seratus ribu kepada Diandra.

"Selesai makan kamu balik lagi kesini. Kita pulang sama-sama, paham kamu," pesan Meliana.

Diandra mengambil uang lalu mengangguk, kemudian berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meliana membuang napasnya kesal melihat ulah adiknya. Dia merasa malu kepada Julia.

"Mel. Aku ada ide cemerlang," celetuk Julia dengan mata berbinar.

Meliana mengerutkan kening. Menunggu ide dari Julia.

"Gimana ... kalau kita jodohin aja Handoko sama adikmu. Sifat mereka berbanding terbalik. Siapa tau aja malah saling mengisi trus sikap bisa ketuker karena sering ketemu," ungkap Julia.

"Kamu yakin?" tanya Meliana ragu.

Julia pun mengatakan dia yakin dan berharap perjodohan ini membawa berpengaruh besar bagi keduanya.

"Ayolah. Aku kan dokter,  kamu dokter spesialis kejiwaan terkenal di negara ini. Kita berdua sama-sama punya adik yang ajaib, kenapa gak kita gabungin aja," urai Julia.

"Adikku gak laku-laku sampe sekarang. Lihat tuh penampilannya dekil trus suka seenaknya aja. Mana ada cowok yang mau, apalagi kalian kan dari keluarga kelas atas," resah Meliana.

Satu jam kemudian, tampak Diandra menuju ke arah mereka. Tak lama muncul Adrian, kekasih Julia.

Setelah berbasa-basi sejenak, Meliana pun menyampaikan ide untuk menjodohkan Diandra dengan adiknya Julia.

"Gak, gak mau. Diandra ga suka!" tolak Diandra.

"Memangnya, Diandra sudah kenal adikku?" tanya Julia.

"Ya ... belum sih," jawab gadis itu santai.

Meliana yang geram dengan jawaban Diandra, mengacak-acak rambut hitam adiknya itu.

"Bahlul, ente. Belom juga kenal, udah bilang ga suka," tukas Meliana.

Mereka pun tergelak karena ulah Diandra. Langit mulai gelap pertanda malam akan segera meraja. Meliana dan Diandra pun pamit untuk pulang ke rumah mereka.

Pukul sebelas malam, tampak bayangan mengendap-endap dari bawah jendela kamar. Kemudian menuju pintu gerbang. Seorang penjaga membantu membuka pintu besi yang menjulang, agar gadis itu segera berlalu.

"Jangan sampai pagi, Non. Bisa kena pecat saya," pesan penjaga itu.

Sementara yang diajak bicara, hanya mengacungkan ibu jari saja, sambil berlari menuju sebuah mobil yang sudah menunggunya.

"Jalan, Bro!" Perintah Diandra saat masuk kedalam mobil berwarna gelap.

Dua puluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah area diskotik. Tiga orang keluar dari dalam mobil kemudian menghilang masuk ke dalam.

Terdengar dentuman suara musik yang memekakkan telinga. Namun indah bagi para penikmat musik berjenis house itu.

Ketiganya memilih duduk di sofa. Tepat berada di tengah. Sehingga bisa menikmati tarian para wanita dan bebas menggoyangkan tubuh mereka jika sudah mulai mabuk.

"Ra, seperti biasa. Kamu jagain tas, ya. Nih upahnya sejuta," kata Rendi.

Diandra pun segera mengambil uang yang di sodorkan kepadanya, kemudian mengambil tas dan menghilangkan di dada.

Tepat pukul dua belas malam, para penari berpakaian minim mulai menaiki panggung. Penampilan di awali dengan tarian pole dance. Namun di tempat ini hanya memadukan tari dan akrobat saja.

Diandra merasa kantung kemihnya penuh. Gadis itu pun berjalan menuju toilet. Setelah berdesakan dengan para kaum hawa yang menikmati tarian, akhir sampai di toilet.

Toilet itu nampak bersih rapi dan sedikit sepi. Diandra pun bergegas menunaikan panggilan alam. Setelah selesai, Diandra mencuci dan mengeringkan tangannya dengan tisu yang telah di sediakan.

Bruuuuk.

Diandra menabrak seseorang. Tubuh mungil yang membawa tiga buah tas itu hampir saja terjengkang . Beruntung ada tubuh yang menahannya dari belakang.

"Terima kasih, atas ... " Diandra menghentikan ucapan saat menatap seseorang di depannya.

"Looooh, kamu ... Domo kan? Widiiih, cosplay jadi apa nih? Cakep bener." Diandra sok akrab sambil menepuk bahu seseorang yang jauh lebih tinggi darinya itu.

"Domo itu siapa, ya? Maaf, sepertinya Anda salah orang, permisi," elak wanita itu, kemudian beranjak pergi meninggalkan Diandra.

Gadis itu tak percaya jika dirinya salah mengenali lelaki ah bukan wanita yang dipanggil sebagai Domo. Hingga mengejar keluar dari wilayah toilet, suara bising musik kembali terdengar.

"Hei, tunggu!" seru Diandra.

Diandra berusaha mengejar orang yang dikenalnya itu. Namun sayang, lantai menjadi licin karena sepatu ketsnya yang menginjak air di toilet tadi. Tubuh Diandra mendarat dengan sukses di lantai.

Seseorang membantunya bangun.

"Lain kali hati-hati ya," lontarnya.

Diandra nampak sibuk memungut tas yang terlepas dari dadanya. Lelaki tadi membantu mengambil tas yang terlempar.

"Namaku Leofrand, panggil saja Leo," cakap lelaki itu setengah berteriak.

"Oh, makasih deodoran. Aku Diandra," balas gadis itu acuh.

'Hah? Deodoran? Budeg ni anak,' batin Leo.

Lelaki berkulit putih, tampan dengan perpaduan wajah oriental dan lokal itu pun menarik Diandra menuju mejanya.

"Kamu sama siapa? Kok berani amat sendirian?" tanya Leofrand.

Kali ini lelaki itu mendekatkan bibirnya ke arah telinga Diandra, supaya tidak salah mendengar.

"Aku sama si Rendi dan Brandon, tuh mereka," tunjuk Diandra.

Lelaki muda  pun mengangguk. Entah mengapa ada perasaan menghangat di hatinya. Namun Leo menepis itu, dia merasa itu adalah pengaruh alkohol yang sudah diminum tadi.

Diandra pamit untuk kembali menuju sofa, di mana teman-temannya berada. Leo mengatakan akan mengantar.

"Aduuuh ...  Hati-hati dong, kaki aku keinjek nih!" pekik seorang wanita, yang dikenal Diandra sebagai Domo.

"Wooooh, cengeng amat kamu Domo. Biasanya juga jatuh dari sepeda kamu biasa aja," sahut Diandra.

Gadis itu menepuk dada orang yang kakinya tidak sengaja terinjak.

"Hei, singkirkan tangan kotor mu dari bidadariku ini!" bentak seorang pria kekar kepada Diandra.

"Heh sembarangan! Tanganku udah  dicuci tadi di toilet, nih cium aja sendiri kalau ga percaya," sanggah Diandra sambil menyodorkan tangannya ke arah hidung lelaki itu.

Leofrand pun menarik tangan Diandra dan membawa ke sofa di mana teman-temannya sudah menunggu.

"Maaf, apakah teman saya ini mengganggu Anda?" tanya Rendi.

Leofrand pun menjawab jika dia hanya mengantarkan Diandra menuju meja saja. Khawatir akan di goda oleh lelaki hidung belang.

"Baik. Terima kasih, Tuan. Sebentar, saya akan menuliskan sebuah nomor ponsel," ujar Rendi.

Kemudian dia menuliskan nomor ponsel Diandra di kertas, lalu menyerahkannya kepada Leofrand.

Lelaki itu pun menerimanya kemudian meninggalkan mereka bertiga.

"Kamu ngasih nomer ponsel siapa, Ren?" tanya Diandra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status