Share

Pesona Istri Desa sang Bupati
Pesona Istri Desa sang Bupati
Author: Celebes

BAB 1

 

“Bagaimana bisa Sera menikahi seorang Anggoro Wicaksoro?”

Salah seorang kerabat dekat membuka gosip di tengah pesta pernikahan kala pengantin wanita muncul. Meski parasnya cantik, tetapi mereka tahu sekali asal-usul gadis itu.

“Benar! Bukankah dia hanya anak seorang lelaki yang menikahi wanita hina? Kok, Simbah mau menerimanya sebagai menantu?” balas yang lain, “mana bapaknya lagi dirawat di rumah sakit,” sinis yang lain.

“Tunggu … apa mungkin Simbah ingin menghukumnya karena telah membuat cucunya kecelakaan?”

Para hadirin yang berasal dari kerabat dekat saja, masih berbisik satu sama lain kala melihat Sera Arabella menjadi pengantin dari ahli waris perusahaan multinasional nomor satu di negeri mereka. Apalagi Simbah adalah orang yang sangat terhormat dan disegani.

Bila disandingkan, status keduanya bahkan bagai langit dan bumi.

Tak ada yang dapat menahan gosip menyebar di sana tentang orang paling kaya di daerah mereka yang bahkan sedang mencalonkan diri sebagai Bupati.

Sementara itu, Anggoro Wicaksoro sedang menahan amarah. Ahli waris perusahaan multinasional itu menatap Sera dengan tajam.

Seperti para tamu yang hadir, Anggoro masih tak habis pikir; mengapa Simbah–ibunya–justru menyuruhnya menikah dengan Sera. Bahkan, wanita yang tak jelas asal-usulnya itulah yang menyebabkan anak Anggoro lumpuh beberapa hari yang lalu!

Jika saja Sera berhati-hati saat menyebrang, Anggoro tak perlu membanting kemudi untuk menghindarinya.

Sayangnya, Anggoro tak bisa menolak karena ibunya yang masih menguasai perusahaan keluarga mereka–mengancam pada pria itu.

Diliriknya Sera yang masih menunduk. Bahkan saat Anggoro setelah selesai mengucapkan janji pernikahan dan memasangkan cincin emas di jari manisnya, Sera tampak gemetar.

Anggoro sontak tersenyum sinis. "Berhentilah berdrama,” bisiknya, “kupastikan pernikahan ini menjadi neraka bagi wanita terkutuk, sepertimu."

Mendengar itu, Sera spontan mendongak. Mata beningnya bertatapan dengan suami yang baru dinikahinya, hingga membuat Anggoro tertegun beberapa saat.

Bagaimana bisa mata sejernih itu dimiliki Sera yang mengakibatkan kemalangan putranya?

‘Sial! Tahan dirimu Anggoro,’ batin pria itu mengingatkan. Segera saja, Anggoro memutus kontak mata dari Sera.

Begitu prosesi selesai, pria dingin itu pun berlalu–meninggalkan Sera begitu saja. Membuat keadaan sontak menjadi sunyi seperti di pemakaman. Tidak ada ucapan selamat ataupun tepuk tangan di sana.

Beberapa hadirin bahkan tampak sekali ingin menggosipkan kejadian ini, tetapi mereka menahannya karena segan pada Simbah yang tampak memperhatikan dari jauh dengan tatapan tajam.

 

****

 

"Sera, Pakde sudah selesai menjadi walimu. Sekarang, Pakde mau pulang dengan Bude. Ingat, kau harus menerima takdir ini dengan legowo!”

Sera tertegun kala paman dan bibinya tiba-tiba menghampiri.

Saat ini, para tamu memang sudah pulang dan suasana sudah sangat sepi. Hanya ada pegawai-pegawai Simbah di sana. Sera pun hanya bisa mengangguk pasrah–membalas ucapan Pakdenya. “Baik, Pakde.”

“Oh, iya. Soal Bapakmu, tenang saja! Dia sudah menjalankan operasi jantung. Tadi pagi, Pakde sendiri yang mengurus semuanya setelah utusan Simbah, mertuamu itu datang," tambah pria tua itu lagi tanpa perlu ditanyakan Sera.

Pakdenya itu tersenyum lebar sekali. Namun, Sera tak berani berkata apa pun. Hanya saja, dia mencoba menenangkan diri melihat pria tua yang biasanya menghina dirinya dan bapaknya itu berubah 180 derajat setelah mendapat segepok uang dari Simbah untuk jadi wali nikahnya.

"Terima kasih Pakde. Tolong jaga, Bapak, ya," balasnya pelan.

Setelah mereka berlalu, Sera kembali menunduk.

Hanya saja … semakin Sera berusaha menguatkan diri, semakin dia ketakutan. Dia berusaha mengatur napasnya yang semakin sesak. Terlebih, saat Simbah tiba-tiba berjalan mendekatinya dengan pandangan dingin.

"Setelah ini, lakukan tugasmu dengan baik sebagai istri bayangan. Jangan pernah menanyakan atau bertingkah yang tak masuk akal. Ingat, aku tidak mau mengotori tanganku karena ulahmu," ucapnya pada Sera sambil meremas tongkatnya yang berlapis emas.

“Baik, Simbah.”

"Oh, iya. Aku ingin kamu juga segera pergi ke kamar anakku dan layani dia," lanjutnya kemudian meninggalkan Sera yang masih saja menundukkan kepala dan pasrah.

Tak lama, beberapa pelayan mengarahkan dirinya menuju ruangan inti.

Kini Sera berjalan masuk ke dalam ruangan megah dipenuhi bunga mawar putih segar.

Ranjang mewah berbahan kayu jati Jepara berada di tengah ruangan menyambutnya.

Ada banyak barang antik yang sangat mahal di sana.

"Kau datang juga ke sini rupanya."

Ucapan Anggoro menyadarkan Sera dari lamunan. Suaranya menggema dalam keheningan.

"Iya, Tuan. Maafkan saya … seharusnya malam itu, saya tidak menyebrang sembarangan," balas Sera gelagapan.

Namun, tanpa diduga, tangan kekar Anggoro justru mendorong Sera, hingga tubuh wanita itu terhempas ke lantai.

"Berlutut!"

Nada suara pria itu begitu dalam membuat Sera lantas bersujud.

"Anakku tidak bisa berjalan. Dia lumpuh!" Anggoro kini menarik wajah Sera dan meremas dagunya. "Semua tidak akan terjadi jika kamu tidak muncul!"

Anggoro melepaskan cengkeramannya dengan kasar.

Spontan, pria itu membuang semua yang berada di hadapannya.

Serpihan kaca pun berserakan di lantai dan mengenai kaki Sera.

Meski berdarah, tetapi wanita itu hanya bisa menunduk dan bergetar.

"Tuan, mohon maaf. Aku …."

Hanya saja, ucapannya terhenti saat suara teriakan bocah laki-laki terdengar keras dari kamar sebelah.

"AAA! Lepaskan! Aku ingin mati. Aku benci kalian semua!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
amanda1berlian22
awal yang bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status