Share

BAB 3

Sera melangkah mundur kala menyadari tatapan aneh sang tuan. Dia sendiri tidak percaya dengan pandangan itu. Ia pun jatuh berlutut sambil menundukkan wajah. "Saya tahu ini semua salah saya. Tolong, berikan saya waktu untuk memperbaikinya. Saya akan bertanggung jawab." Tangis Sera menetes hingga membasahi lantai.

Anggoro kembali mengusap wajahnya. Dia berkali-kali menarik napas panjang untuk mengatasi dirinya yang semakin tidak jelas.

"Diam!" balas Anggoro lalu memalingkan wajah. Entah mengapa, dia tak sanggup melihat Sera menangis.

"Tuan ..."

"Aku bilang diam!" teriak Anggoro masih membelakangi Sera dengan penuh amarah.

Sera tidak ingin membuat suaminya semakin meluapkan amarah. Ia bangkit, lalu menunduk, dan mengambil sandal yang sudah terlepas dari kaki lelaki itu. Kemudian memungut kemeja yang sebelumnya berada di lantai. Masih sambil menunduk, Sera kembali mendekati almari.

'Aku tidak boleh ceroboh lagi. Aku akan berusaha.'

Diamatinya dengan seksama semua baju itu karena tidak mau membuat kesalahan kedua kalinya. Tangannya yang masih dipenuhi goresan luka, mengambil satu piyama. Dengan bergetar, Sera kembali mendekati suaminya.

"Izinkan saya melayani Tuan," ucapnya masih menunduk dan bergetar. Dia terus berusaha mengatur dirinya yang sangat ketakutan. "Tuan ... bisakah saya ...," lanjutnya dengan sedikit melirik Anggoro.

Saat lelaki itu diam, Sera mulai membuka setiap kancing kemeja suaminya. Namun, Anggoro menepis tangannya dengan kasar.

"Kau tak berhak menyentuhku." Anggoro merebut piyama dari genggaman Sera dan mengganti bajunya sendiri.

Sera hanya menarik napas panjang sambil menunduk.

"Besok kau hanya diam saja. Jangan mengatakan apa pun," kata Anggoro kali ini dengan nada pelan. Sera hanya menganggukkan kepala.

Lelaki itu mendekati jendela dan memandang taman belakang kediaman itu yang dipenuhi berbagai macam bunga. Tatapannya masih dipenuhi kebencian.

Selama satu jam, lelaki itu hanya terdiam, hingga akhirnya menuju ranjang dan terlelap.

Sera menarik napas panjang. Perlahan dia merebahkan tubuhnya di lantai. Untung saja, lantai itu dialasi karpet di semua arah. Paling tidak, dia tidak akan kedinginan. Air mata kembali menetes deras. Napasnya pun kembali sesak. Sera harus menahan itu dan berusaha kuat. Ini adalah sebuah perjanjian dan semua yang harus dia tanggung.

"Tuhan, takdir macam apa ini? Apakah nantinya aku akan mendapatkan kebahagiaan?" batinnya masih meneteskan air mata.

Dia semakin sedih mengingat sang ayah. "Bapak, bagaimana kabarmu? Maafkan, Sera," lanjutnya membatin hingga akhirnya dia terlelap.

Tanpa disadari, matahari sudah naik dan membuat tubuhnya hangat.

"Nduk, bangun."

Sera perlahan terbangun ketika seseorang menggoyang tubuhnya.

"Nduk, ayo. Sudah saatnya kamu bangun." Mbok Wati, kepala pelayan di sana tersenyum saat Sera membuka kedua matanya. "Mbok diperintah untuk membantumu bersiap."

"Mbok," ucap Sera terkejut melihat wanita yang pertama kali menolongnya saat masuk ke dalam rumah itu dua hari lalu.

“Ada apa, Mbok?” tanyanya kembali.

"Hari ini akan ada pertemuan besar keluarga. Lalu, ada sahabat Tuan Anggoro dari Belanda," ucap wanita tua itu, “jadi, kamu harus melakukan perawatan agar terlihat sangat cantik dan pantas. Bukan berantakan dan mata sembab seperti ini."

"Pertemuan keluarga?"

Meski tak mengerti, Sera mengikuti Mbok dan beberapa pelayan yang menemaninya menuju kamar. Sebuah kamar yang sebelumnya dia gunakan sebelum menikah. Namun, kedua matanya melotot saat menatap kebaya berwarna biru dan jarit bermotif batik Parang Kusumo.

"Mbok, ini batik yang digunakan untuk para raja zaman dulu. Mana bisa aku menggunakannya?" ucap Sera dengan mengernyit. Dia mendekati jarit itu dan menyentuhnya dengan gemetar.

"Itu zaman dulu. Sekarang ‘kan sudah zaman modern dan batik ini biasa digunakan para pejabat. Sebagai istri pejabat, kamu harus membiasakan diri.”

Lagi-lagi, Sera hanya bisa mengangguk.

Tak lama, Mbok bersama dua pelayan wanita itu memberikan perawatan yang biasanya digunakan para putri zaman dulu.

Rempah-rempah dengan bau khasnya yang sangat harum tercium, hingga Sera sendiri tak percaya akan merasakannya.

Terlebih, saat perawatan selesai dan Sera melihat fitur wajah yang selama ini tak dia sadari. Sera terus menatap dirinya di depan cermin. Dia sangat berbeda dan cantik. Wajahnya seperti campuran kaukasian.

Matanya abu-abu, hidung mancung, dan kulitnya seputih salju. Bibirnya sangat merah merona, walaupun polesan bibir tidak pernah dia berikan.

"Sangat cantik," ucap Mbok tersenyum, lalu membantu Sera memasang kalung berbandul berlian biru.

"Sekarang, ikuti Mbok."

Wanita itu bersama beberapa pelayan wanita menggandeng Sera ke luar ruangan.

'Aku ... mana bisa bertemu semua orang itu?' Hati Sera semakin tak menentu. Sera menarik napas panjang kala mendekati pintu berwarna cokelat tua berukiran Jawa bergambar Garuda. Ruangan inti kediaman mewah itu jika menerima tamu terhormat ataupun acara penting keluarga.

Sera mendadak menghentikan langkah ketika Mbok akan membuka pintu. Spontan dia menarik jemari Mbok.

"Aku belum siap, Mbok," ucapnya gemetar.

"Simbah mengundang seluruh keluarga untuk memperkenalkan kamu, sebagai Nyonya baru. Mbok yakin kamu bisa membawa diri dengan baik," ucap Mbok kemudian perlahan membuka pintu ruang utama, “ikuti saja semua dengan tenang.”

"Mbok, aku ..."

Mbok lalu menarik lengan Sera, hingga dia tak punya pilihan. Meski menundukkan kepala, dia dapat merasakan semua mata tertuju padanya. Kakinya terus perlahan melangkah sampai di tengah ruangan.

"Kenalkan. Dia menantu di rumah ini dan pendamping Anggoro saat pelantikan Bupati nanti." Simbah berbicara lalu mendekati dirinya. "Sera, angkat wajahmu."

Sera melakukan apa yang diperintahkan sang mertua. Diperhatikannya semua orang yang tengah hadir.

"Dia ..."

Namun ... Sera terpaku dengan sosok di hadapannya tengah menatap sangat tajam.

"Kenapa dia di sini?” batinnya kala melihat Bima–pria yang menodainya–ada di tengah keluarga besar Tuan Anggoro!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status