Anggoro masih saja tidak mengerti. Sahabat sekaligus musuhnya Willem saat ini datang dengan tiba-tiba. Namun ini adalah salah satu hal yang membuatnya merasa beruntung. Dia memang ingin sekali bertemu dengan lelaki Belanda itu. Mereka membawa Anggoro kembali ke ruangan. Kelima pengacara itu sudah pergi dari sana. Ruangan itu kosong sekarang. Willem duduk tepat dihadapan Anggoro. Mereka saling menatap tajam satu sama lain. "Aku ingin berdua saja dengan Pak Bupati," ucap Willem sambil menatap kedua polisi yang menganggukkan kepala. Lelaki Belanda itu memiliki pengaruh yang sangat tinggi di kota. Dia mampu membuat siapapun tunduk kepadanya karena kekayaan yang dia dapatkan dari orang tuanya. Kekayaan berupa warisan yang sangat besar. "Jadi kau sekarang adalah manusia yang bisa menguasai semuanya?" tanya Anggoro pelan sambil sedikit terkekeh. Dia bersedekap dan terus menatap Willem dengan tajam. "Kamu tahu kan, waktu itu kita sudah bertaruh. Kau ingin sekali menambah kekayaanmu.
Willem menatap Bima dengan serius. Kedua alisnya mengerut sangat dalam. Dia juga merasakan sesuatu yang sangat aneh. Wajah Sera benar-benar mirip sekali dengan kakaknya yang sudah meninggal karena kecelakaan. "Apakah kau tidak menyelidiki siapa sebenarnya dia? Ayahnya yang sekarang berada di rumahnya itu sepertinya bukan ayah kandung Sera. Karena wajahnya tidak mirip tapi mirip dirimu," lanjut Bima dengan tertawa kecil kemudian membalas Willem dengan menepuk pundak kanan lelaki itu. "Dunia ini memang sempit. Kadang kita tidak mengerti apa yang terjadi di hadapan kita. Tapi tentu saja kau harus memikirkan hal itu." "Apa yang kau inginkan Bima?" tanya Willem dengan tegas. "Aku tahu sesuatu. Saat kau berada di villa itu bersama Sera dulu, kau tidak menidurinya. Pamela sendiri yang mengatakan hal itu kepadaku. Kau tidak meniduri Sera tetapi meniduri Pamela. Benar bukan? Bukankah itu adalah suatu hal yang sangat memalukan? Bagaimana jika aku membukanya di depan umum?" "Silakan saja.
Jantung Sera berdebar dengan kencang. Seketika dia memegang perutnya yang tiba-tiba bergerak. Mungkin sang anak mengetahui jika ayahnya sedang terpuruk. Sera masih tidak bisa menuju ke sana. Dia hanya terdiam dan terus mengamati Anggoro dari kejauhan. "Apakah aku harus ke sana? Aku sudah membuat dia menceraikan aku. Seharusnya, dia sudah tidak ada hubungannya lagi denganku," gumam Sera masih terus memandang Anggoro dengan wajah yang sendu. Tetes air mata perlahan keluar dari kedua matanya yang sangat indah itu. "Heh kamu Bupati berengsek!" ucap salah satu narapidana yang tiba-tiba menendang Anggoro dan membuatnya kembali tersungkur ke lantai. Sera melebarkan kedua matanya. Dia menggelengkan kepala dan tidak ingin Anggoro mengalami hal itu. Namun dia yang tidak memiliki keberanian hanya terdiam. Sera tidak berani mendekati sel penjara Anggoro karena jika dia ketahuan mendekatinya, keselamatan Anggoro bisa terancam. "Pindah posisimu karena aku mau duduk di sini! Aku sudah bos
Anggoro mencengkeram jeruji besi dengan sangat kuat kemudian berteriak," Jangan sentuh dia! Jika kau menyentuhnya aku akan benar-benar mematahkan jeruji ini. "Hei kau itu polisi. Kenapa beraninya menyentuh seorang wanita?" Tanpa dia sangka Santoso mendekat dan menunjuk ke arah polisi itu dengan sangat santai. Mendengar perkataan Santoso, polisi itu melepaskan cengkramannya. Dia segera menunduk ke arah Santoso kemudian menatap Sera. "Maafkan saya nyonya. Tapi kehadiran Anda di sini bisa membuat saya dipecat. Jadi saya harap anda jangan seperti ini. Sekarang lebih baik anda keluar. Setelah itu saya tidak akan pernah mempersulit apa pun." Sera hanya menganggukkan kepala. Dia menatap Anggoro sejenak dan tersenyum dengan sangat cantik, kemudian bergegas meninggalkan ruangan. Anggoro sangat lemas. Dia tidak lagi bisa menumpu tubuhnya, membuatnya hampir terjatuh. Santoso segera mendekati dan menangkap tubuh Anggoro, kemudian membantunya untuk terduduk di dekat tembok dan menyandar
Spontan Sera melepaskan tangannya yang semula digenggam oleh Maya. Dia membuka jendela mobil dan menatap kaca spion dari luar. Dia terus menatap wajahnya yang sangat berbeda dari wajah lokal. Tidak ada orang Indonesia yang memiliki kedua mata abu seperti yang dimiliki oleh orang luar. "Aku ingin pulang. Antar aku pulang sekarang," ucapnya sambil menatap tegas ke arah Maya yang akhirnya kembali mengendarai mobil itu. Sera masih saja terdiam sepanjang perjalanan. Dia terus menatap jalanan dengan pandangan tajam sambil terus memikirkan perkataan Maya barusan. Selama ini dia memang diasuh oleh ibunya. Seorang wanita warga negara Indonesia. Kemudian ayahnya Sobar yang sangat mencintainya. "Apa yang terjadi sebenarnya? Ibu dan ayah tidak memiliki wajah seperti diriku. Apakah aku ini sebenarnya anak orang lain atau bagaimana?" gumamnya pelan, hingga membuat Maya menolehkan pandangan ke arahnya. "Apa yang kau katakan itu benar. Bahkan semua orang selalu berkata seperti itu," balas Ma
Pamela sangat kesal sekali. Satria sudah mengancamnya. Dia berjalan cepat menuju ke halaman, agar pembicaraan itu tidak didengar oleh semua temannya. "Satria. Ibu sangat mencintaimu. Ibu saat itu pergi karena, Ibu harus mencari sesuatu untuk membebaskan kita dari belenggu ini semua. Sekarang kau lebih baik belajar di rumah dan menjadi anak yang baik." Pamela semakin kesal ketika mendengar Satria tertawa keras. Namun dia mencoba untuk tenang karena anak itu menjadi ancaman besar baginya. "Ayolah Satria sayang. Ibu harus memenjarakan ayahmu agar kita bisa hidup dengan tenang. Kau tahu kan Ibu tidak memiliki apa pun. Kalau ayahmu di penjara, kita nanti akan mendapatkan segalanya," lanjut Pamela masih terus berusaha untuk tenang walaupun dia sendiri emosi kepada Satria. Dia tidak mungkin membiarkan sang anak menggagalkan semua rencananya hanya karena Satria menyimpan sebuah video saat dia berusaha meracuni Anggoro. "Ayolah Ibu. Sebelum Ibu keluar dari rumah bersama dengan lelaki
Sera kemudian masuk begitu saja ke dalam kamarnya. Maya yang seketika itu berdiri dan akan mengikuti, segera menghentikan langkah ketika Sobar menggelengkan kepala. "Biarkan dia sendiri dulu. Masalahnya sangat rumit. Mungkin jika dia tidak mencintai Anggoro, semua tidak akan terjadi seperti ini." "Ya ... tapi jujur. Aku memang melihat Anggoro mencintainya," balas Maya sambil berkacak pinggang, menatap pintu kamar Sera yang kini tertutup rapat. Sobar semakin menatap Maya. Lelaki itu mengernyitkan kedua alisnya dan berkata, "Kenapa tiba-tiba kau berubah menjadi seperti ini? Padahal dulu, kau menertawakan dia saat Bu Broto dan suaminya, serta Bima menginjak-injak harga dirinya." Sobar menarik Maya untuk menjauh dari kamar Sera. "Aku tidak mau Sera mendengar apa yang kita omongkan. Dia itu sangat menderita ketika kau melakukan itu. Kau kan tahu juga, gara-gara Bima dia akhirnya menjadi seperti orang gangguan jiwa. Apalagi menyebabkan kecelakaan yang membuat anak bupati menjadi lu
Pamela semakin mengangkat kertas itu. Simbah berdiri dan menatap mantan menantunya itu. Dia sudah tidak menganggap Pamela sebagai menantunya lagi. Tersirat rasa marah di sana. "Keberatan yang mulia. Sebuah bukti bisa dikeluarkan jika memang diperlukan. Ini sama saja menghina persidangan," teriak salah satu pengacara Anggoro sambil menunjuk Pamela. "Keberatan diterima. Seharusnya kita bisa melakukan prosedur dengan baik di persidangan ini," ucap hakim. Pengacara Pamela mendekati wanita itu dan berusaha untuk menenangkan Pamela. Pamela pun kembali duduk sambil memperlihatkan senyuman sinis. Anggoro sangat paham dengan Pamela. Wanita itu sangat pintar berakting. Namun, dari mana dia bisa mendapatkan surat itu? Pasti ada orang dalam yang membantunya dan ini sangat tidak baik. Persidangan terjadi dengan sangat menegangkan dan runyam. Anggoro semakin terpojok. Sampai setelah 2 jam berlalu, persidangan itu pun selesai dan akan dilanjutkan 2 hari lagi. Di dalam ruangan Anggoro ter