Angin berhenti berembus. Menjadikan kulit terasa lembab, basah oleh keringat. Di ruang tamu bercat krem itu, Kiai Salman dan Kiai Mansur sedang bercakap. Perkembangan pondok pesantren menjadi topik utama perbincangan. Kemudian, obrolan mereka mengarah pada kasus yang menimpa Akhtar. “Kita sama-sama menduga kuat, jika pihak yang menjebak Akhtar ini adalah lawan politiknya, San. Hanya saja saya tak habis pikir, kenapa mereka sejahat itu?” ucap Kiai Salman dengan pandangan menerawang lalu kembali menatap besannya. Lelaki yang tidak mau terlibat aksi mendukung secara langsung siapa pun calon penguasa dalam masa pemilu itu sudah paham jika beberapa orang akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Baru sekarang ia merasakan langsung dampaknya kala menantunya dijebak. Hingga menyebabkan putrinya menanggung pilu. Maka, begitu Arisha mengabari bahwa ia hamil, Kiai Salman dan Umi Anis bergegas datang. Mereka hendak mengajak Arisha tinggal bersama.“Saya masih kontak dengan Kiai Yass
“Mas Akhtar!” seru Arisha dengan mulut menganga. “A-aku enggak mimpi, ‘kan?” tanyanya hampir tercekat. Melihat sosok yang berada di hadapannya menggelengkan kepala, netra wanita yang telah menanggung rindu belasan bulan itu basah.Lelaki yang membuatnya terpanah kini merentangkan kedua tangan sambil bergerak pelan mendekatinya. “Assalamu’alaikum, aku pulang, Sayang.” Sapaan Akhtar terasa lembut menyapu daun telinga Arisha. Tubuh wanita itu masih kaku saat Akhtar merengkuhnya erat. Arisha hanya mampu menyandarkan kepala pada dada bidang di hadapannya. Seketika kemeja Akhtar basah terkena lelehan air mata sang istri. Lelaki itu mengangkat wajah Arisha dan mengusap air mata yang bercucuran dengan jempolnya meski percuma. Sebab buliran bening itu terus menganak sungai.“Pan-Panjenengan sudah bebas?” tanya Arisha terbata beserta raut tak percaya.Akhtar mengangguk pelan.“Bu-bukannya masih sebulan lagi?”Akhtar menggeleng. “Apakah kamu ingin sebulan lagi aku baru bebas?” tantangnya. Ari
“Wong lanang itu ya, enggak bisa apa sebentar saja menduda. Baru 100 hari istrinya meninggal, sekarang sudah nikah lagi,” cibir Yu Warni, penjual lontong kupang. Dagangannya hari ini dipesan oleh keluarga Kiai Salman, sebagai salah satu menu hidangan acara walimah akad nikah putri keduanya, Arisha Luana. “Denger-denger, Yu, ini itu bukan pernikahan biasa, loh. Tapi demi tetap mendapat dukungan Kiai Salman. Wis ngerti toh kalo Gus Akhtar itu bakal maju di pilkada sesuk?” ungkap asisten Yu Warni yang ikut menata lontong di atas piring.“Sssst …” Yu Warni menempelkan jari telunjuk di bibirnya, memperingatkan asistennya agar diam. Kedua wanita paruh baya itu kini mengunci rapat-rapat mulutnya begitu calon mempelai putri melintasi mereka. Rombongan keluarga Kiai Salman bergerak menuju masjid pondok. Tem
Raja siang perlahan terbenam di balik pepohonan pinus yang terbentang di gunung Arjuna. Sementara pria yang sekarang sudah melepas status dudanya itu, kini berdiri dalam diam di ambang jendela. Angin senja pada ketinggian 3.339 meter di atas permukaan air laut meniup rambut pria itu. Sosoknya yang keras dan visioner, membuatnya dilirik Kiai Yassir untuk mendampingi dalam bursa pemilihan kepala daerah Kabupaten Mojoasri.Pikiran Akhtar kembali pada momen sakral beberapa jam yang lalu. Saat ia dengan refleks memcium kening Arisha tanpa rasa canggung sediki tpun. Perempuan yang dilihatnya saat itu menjelma sebagai Hasna. Andai kesadarannya penuh bahwa pengantin wanita yang mencium tangannya adalah adik mendiang sang istri, tentu masih ada rasa gugup menyelimuti diri.Masih memandang keluar jendela, pria itu merutuki keadaan. Bagaimana mungkin Arisha menyediakan kamar ini untuk malam pertama mereka. Ruangan yang sama, yang dihabiskan Akhtar tiga
“Kak Musthofa,” gumam Arisha. Ia cepat-cepat menutup mulutnya agar tak ada yang mendengar apa yang keluar dari lisannya barusan. Melihat Arisha syok atas kehadirannya, Musthofa melonggarkan pelukan Akhtar. Sehingga dua pria itu hendak duduk kembali di karpet motif bunga mawar merah. Saat hendak mengambil posisi duduk, Akhtar baru menyadari jika istrinya berdiri di belakangnya. “Duduk sini, Dik.” Akhtar meraih pergelangan tangan Arisha, seolah menunjukkan kepada Musthofa bahwa hubungan dengan istri barunya layaknya pengantin pada umumnya, sudah saling menautkan rasa. “Tamunya ternyata temanku pas mondok dulu. Musthofa namanya, barusan lulus juga dari al-Azhar,” ucap Akhtar memperkenalkan M
Akhtar berkata apa adanya jika ia sebenarnya belum terpikir untuk menikah lagi. Tiga bulan tanpa istri bukanlah waktu yang terlalu lama baginya. Namun, jawaban Arisha yang sangat bijak, melebihi usianya yang masih 24 tahun, menjadikan Akhtar menaruh simpati. Mestinya gadis itu marah jika dirinya masih menyimpan nama wanita lain, kendati itu almarhumah istri.Bukankah Aisyah radiyallahu ‘anhu juga cemburu kepada ummul mukminin –Siti Khadijah– tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memuji mendiang istrinya itu? Ataukah Arisha juga tersinggung hanya saja ia gengsi mengakuinya sehingga ia justru memuji sikap Akhtar yang masih belum move on dari Hasna? Akhtar masih belajar memahami karakter Arisha. “Oke, balik ke pernyataanmu tadi, ya. Kuakui pernikahan ini lebih dilatarbelakangi karena aku akan maj
“Sudah. Tangan Arisha dicium, Mik,” sahut Arisha sambil ketawa. Ia ingin mengerjai uminya yang terlalu serius. “Ih, Ning, jangan bercanda, lah. Umi serius ini. Jadi kalian belum ehem … ehem ….?” Arisha menggeleng masih dengan tawanya. Hingga gigi-giginya yang putih tampak. Ia benar-benar merasa lucu melihat ekspresi wanita yang sudah dianggapnya sebagai sahabat itu. Karena kepedulian Umi Anis pada hal-hal sepele hingga urusan perasaannya, selalu ditanyakan. “Kenapa … kenapa … ada masalah apa? Sini cerita sama umik.” Umi Anis menggeret tangan Arisha dan mengarahkannya duduk di kursi meja makan. 
“Mboten, Gus. Saya malah senang.” Saat menjawab demikian, Arisha melirik ke arah uminya. Umi Anis langsung menggelengkan kepala sambil netranya melotot. Sebuah kode agar Arisha menyatakan keberatan. “Iya, kalo tanya Arisha jelas dia tidak keberatan, Gus. Wong dia memang suka sama anak-anak, tapi kami ini loh Gus yang masih belum siap. Paling lama dua minggu lagi lah, insyaallah. Biar kami siap dulu, inggih, Bah?” Kini Umi Anis ganti menatap suaminya, meminta persetujuan. Kiai Salman manggut-manggut. Kakeknya Keisha itu sudah mendapat penjelasan dari Umi Anis jika Arisha dan Akhtar belum melakoni kewajiban suami istri semestinya. Makanya, Umi Anis ingin pengantin baru itu bisa bersama tanpa gangguan tangisan Keisha. Jadilah dibuat alasan yang mengada-ada ini dan Kiai Salm